Aku membuka mata perlahan. Tirai itu masih tertutup rapat, tapi biasan sinar itu seperti berlomba merusak mimpiku. Akhirnya aku memilih untuk mengalah, kepada pagi yang masih basah. Sayup sayup kudengar kesibukan itu di luar. Sebuah keseharian yang sangat akrab di hidupku. Dulu. Suara tukang roti yang menjajakan dagangannya. Suara pembantu yang menyapu dedaunan kering. Suara piring. Suara gelas. Suara burung. Suara anjing. Dengan sekuat tenaga, kukumpulkan sisa kesadaranku yang terpendam dari tidur yang nyaris mati semalam. Jam delapan. Apa yang dapat membuatku terbangun dari lembabnya dipan empuk ini? Secangkir kopi hitam. Kolom olahraga di koran pagi. Sebatang rokok kretek. Berita politik termutakhir. Alangkah sederhananya Aku merasa hidupku mendekati taraf kontra produktif yang kronis. Karenamu.

KAU BILANG AKU NAPASMU
TAPI TIDAK PERNAH ADA AKU
DI PARU PARUMU, DADAMU,
HIDUNGMU, MULUTMU, KAMU

Dadaku sakit. Ingatan itu kembali melumpuhkan kesadaranku di pagi ini :
KAU MENGENAKAN SELENDANG BERWARNA DAUN YANG DILILITKAN SEKENANYA DI LEHERMU.
Aku sedang mengagumi sosokmu di sudut itu, ketika seperti teringat sesuatu yang penting, kau tiba tiba berbalik dan menuju rak buku best seller. Lalu kau berdiri tepat di sampingku, diam. Matamu bergerak lamban, menuruni rak itu satu demi satu. Aku mematung. Menikmati setiap hembusan napasmu yang wangi, dalam guratan wajahmu yang sedih. Aku bahkan mencium kepedihan itu. Aku menciumnya.
�Flandy� kataku tak tertahan.
Kau mengalihkan wajahmu ke arahku. Ternyata kau cantik.
Diam.
�Deswita.�
Begitu kau menyebut namamu. Pelan. Hangat. Malu.
Kutatap matamu. Kau menunduk lembut.
�Namamu indah.�
Kau tidak menjawab. Tapi matamu mengerjap terlalu indah. Oh, kau memang cantik.

Kuhela napas panjang. Seakan helaan napas itu dapat menghalau kesakitan ini di dadaku. Kuseret langkahku menuju ruang makan. Pembantu tua itu rupanya sudah meletakkan koran dan surat suratku dengan rapi di sana. Kuraih dengan malas tumpukan amplop itu, dan kubuka amplop teratas. Kucoba untuk membacanya. Hanya empat detik. Aku tak mampu menghalau guratan wajahmu dari kertas ini..
Gerimis turun. Seluruh jendela kaca di gedung itu tertutup tetesan airnya yang jatuh rupawa jarum. Tapi aku menikmatinya. Aku menunggumu, melakukan semua proses pembayaran di kasir. �Habis ini kamu mau ke mana?� Matamu tersenyum. �Mau minum kopi. Kamu?�

Kutatap jam dinding di ruang makan. Jarum jamnya seakan berhenti berdetak seiring kepedihan ini membunuh hatiku dengan perlahan. Segelas kopi sudah siap di hadapanku. Menggiring otak kananku pada ingatan akan secangkir kopi yang tak sempat kuminum, ketika kau di hadapanku..
�Kopi kamu belum kamu minum tuh.�
Kau mengucapkan sederet kalimat itu dengan intonasi yang lucu, sambil mengerjapkan mata. Haruskah? Dengan jengah kuangkat cangkir kopi itu mendekati bibirku. Aku tidak menambahkan gula atau apapun. Aku lupa.

Pagi ini aku tidak ingin minum kopi. Kudengar kedua anjingku menggonggong bersahutan, bermain. Lalu langit menghitam dan menurunkan gerimis dengan tiba tiba. Pagi ini gerimis turun..
Gerimis masih turun. Kau tertawa. Matamu menyipit. Hidungmu pun tertawa. Aku terpesona. Kau melenggang dengan sempurna di tengah gerimis yang menyakitkan batok kepala. Menoleh ke arahku. �Terima kasih ya, Flan.� Sebuah taksi berhenti di hadapanmu. Masih kulihat kerling cahaya di mata itu, sebelum pemiliknya masuk dan menutup pintu mobil. Ah, hatiku terbawa di taksi itu. Kau tidak meninggalkan apapun untukku. Tidak pula sederet nomor untuk kuhubungi, seandainya aku ingin meminta kembali hatiku yang terbawa olehmu. Aku biarkan hatiku tetap terbawa olehmu. Sampai aku menemukanmu di manapun.

Kusingkirkan gelas kopi itu menjauh dari hadapanku, kugeser tumpukan koran dan surat. Tanganku menyentuh buku dengan tebal seratus lima puluh delapan halaman di bawah tumpukan itu. Bukumu..
Toko buku itu lebih penuh dari biasa. Rupanya ada peluncuran buku baru. Aku sudah nyaris menutup kembali pintu kaca itu, ketika kulihat seorang perempuan sedang membaca buku yang baru diluncurkan itu. Aku melihat wajahmu di sampul belakang buku itu Dadaku bergetar. Aku menemukanmu. Menemukan hatiku yang terbawa olehmu. Kutunggu hingga antrian di depanku habis. Akhirnya kau ada di dekat mukaku. Nyaris sama seperti dulu, seandainya aku juga ikut duduk di hadapanmu. Kau menunduk. Kusodorkan buku yang aku beli ke hadapanmu. �Untuk Flandy� kataku datar. Kau tidak menoleh. Tidak mendongak. Tidak ingin memastikan apapun. Kau hanya membuka halaman depan dan menorehkan tanda tanganmu dengan spidol coklat. Lalu kau tulis sederet kalimat di bawahnya : UNTUK FLANDY, GERIMIS INI TURUN UNTUKMU.

Dadaku bertambah sakit. Kuputuskan untuk menyeret langkahku menuju sofa di ruang duduk. Aku perlu tempat untuk merebahkan diri sambil memandang pagi yang gerimis. Aku perlu rokok. Sebatang. Dua batang. Sekotak..
�Rokok?� Kau tersenyum. Mengambil sebatang, menjepitnya di antara bibirmu yang marun. Kusorongkan pemantik dan kunyalakan rokok itu. Kau menghisapnya. Sebuah hisapan pertama yang tidak senikmat seharusnya. Biasa saja. �Aku harus pergi� katamu, di hisapan ke tiga. �Harus?� Aku begitu terpukul, suaraku keluar dengan kegetiran yang sempurna. �Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku sudah pernah bersumpah. Tak akan pernah kuingkari itu. Aku tak mungkin berada di tengah perkawinan manapun di muka bumi ini.� Kau bicara terlalu panjang. Terlalu dalam. Sesak di dada ini.

Suara pintu kamar mandi dibuka. Seorang perempuan, isteriku, keluar dengan piyama batik dan rambut panjangnya yang terbungkus handuk coklat. �Sudah bangun? Tumben.� Aku tidak menjawab. Perempuan itu mendekat ke sofa, membelai rambutku dengan sayang. Ia memakai cincin kawinnya. Cincin kawin bertuliskan namaku. Ia memang nyaris tidak pernah melepaskan cincin itu. Seolah mencoba meyakinkan dirinya, bahwa cincin itu bisa mengikat hatinya untuk tetap ada di sini. Ia selalu memakai cincin itu, walaupun aku tidak pernah memakainya..
�Kamu tidak pakai cincin kawin.� Matamu menari indah memandang ke sepuluh jariku. �Aku juga tidak pakai. Sudah tidak aku pakai lagi,� lanjutmu pahit, sambil membentangkan ke sepuluh jarimu yang elok. Aku tidak pernah suka dengan pembicaraan ini. Kurengkuh ragamu yang telanjang, kucium lembut bibirmu. Aku tak ingin melepaskanmu. Ingin kuhirup wangi tubuh dan napasmu hingga tandas.

Kutatap jendela besar yang tertampar gerimis. Gerimis menampar pintu. Menampar halaman. Menampar aku.
�Ia sudah tidak ada, nak, sudah pergi.� Mata ibumu menatapku tajam. Cahaya hitamnya menusuk sampai ke batas terakhir di ujung terdalam ulu hatiku. Nyeri. Dan aku segera mengerti. Kali ini, kau benar benar telah berangkat.

Suara mesin pengering rambut sayup sayup sampai ke telingaku. Isteriku sedang mengeringkan rambutnya yang legam dan cantik. Kutatap jendela besar yang tertampar gerimis. Kau sudah pergi.

�

Jakarta, 24 Juni 2004
untuk flandy

========================================
Pengirim : lia soetadi
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *