Hasrat

Sep 8, 2003

Keinginan itu muncul lagi—walau sudah kucoba untuk menguburnya dalam dalam.
Tapi, ia rupanya tak mudah menyerah, kali ini. Tiba tiba saja ia datang
mengahmpiri benakku. Begitu lama ia menari di pikiranku. Memaksa aku agar
menuruti keinginannya. Ia begitu lincah bergerak, setiap aku mau
menghindarinya—mencoba untuk sembunyi tak pernah lepas dari sergapannya.
Meneteskan secuil mimpi yang indah—lepas di awan, terbang di hamparan langit
biru. Kurasa sudah cukup sampai disini saja, ia menguasai jalan pikiranku. Aku
harus berbuat sesuatu guna mengambil keputusan agar ia tidak terus terusan
meracunkan jalan hidup yang bakal ku tempuh. Apalah artinya secuil hasrat ? Ia
hanya membuat seseorang mengabaikan jalan yang hendak ia ambil, mengacaukan
segala yang pernah direncanakan sebelumnya.
Suatu malam—yang dingin, ia masuk ke dalam dada dan berkata kepada nuraniku :
“Pokoknya kita harus membunuh orang itu..� “Mengapa?�, tanyaku “Ya, lihat saja
wajahnya. Mukanya memang terlihat bersih, seakan akan tak pernah berbuat dosa
sedikit pun—bercahaya. Tapi, apa kau tahu perbuatannya. Berapa banyak Ibu yang
dibuat menangis karena kehilangan anak mereka. Berapa banyak istri yang
memendam amarah karena sudah berpredikat janda—kehilangan suami yang mereka
cintai. Berapa banyak orang orang yang frustasi lainnya.� “Bukan, urusanku..�,
aku menjawab sekenanya “Apa ? Bukan urusanmu, tentu ini semua urusanmu. Kau
satu satunya penyelamat jutaan manusia lainnya. “No comment�, aku bergaya
seperti pejabat sehabis rapat. “Ooo, begini caramu sekarang� �Mengapa?� “Ini
demi kepentingan orang banyak..� ia terus terusan memburuku—mengejarku agar
takluk pada keinginannya. “Orangnya yang mana ?�, aku pura pura tertarik pada
tawarannya “Ya, itu dia yang sering berjabat tangan di televisi. Yang sering
membuat perdamaian, perjaa karena hal sepele : nasi. Tubuh mereka memang
buncit, tapi karena busung lapar. Mereka sekarang tinggal di pelosok seluruh
pelosok negeri ini. Tersebar—di kamp kamp pengungsian, di pinggiran kota,
bahkan di dalam istana. Untuk itu, kita harus memutus yang menyebabkan semua
ini terjadi. Harus Kalau perlu setelah mereka mati, kuliti saja mereka biar
aroma kejahatannya tidak lagi menyebar ke manusia lainnya� “Tapi, tunggu dulu.
Siapa mereka ?� “Cobalah berpikir sebentar, mereka ada di sekelilingmu. Bisa
jadi ada di dalam dirimu sendiri�“Kalau memang ada di diriku. Apa harus juga
di matikan?� “Ya, harus…� “Aku tak akan rela. Masak kamu ngasih pilihan seperti
itu, sih. Wong, diriku sendiri, koq mau dimati in. nggak sudi. Dan, aku akan
membelot dari rencanamu… seharusnya aku, dong yang tampil menjadi superior. Aku
yang bakal jadi penyelamat jutaan manusia� Ia mengambil sebuah sajak dibacanya
kuat kuat di telingaku. “Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat, dan di langit…duaga—seolah berada di hutan rimba.
Hasrat itu terus menerus datang, walau aku tak mengharapkan kehadirannya. Apa
boleh buat kedatangannya tak dapat kutolak. Barangkali, aku terlalu sentimen
terhadap hal yang satu ini. Ya, barangkali. Apa harus kuhindari saja? Tak
pernah bisa. Bayangannya selalu menghantui, tak berhenti. Ia ada di setiap
langkahku, bergerak di sekujur tubuhku. Membuat aku jadi amnesia. Barangkali
harus kuacuhkan saja apabila ia datang kudiamkan agar ia jadi bosan sendiri.
Tapi, itulah masalahnya. Setiap ia berada dekat denganku ada ada saja yang
dikerjakannya. Membuat aku jadi bingung sendiri. Memaksaku untuk menyapanya.
Ber say Hello ria. Gombal sih. Habis bagaimana lagi.?
Setiap malam jam berputar lambat sekali, seolah tak bergerak. Detik detik yang
berupa jarum ketika kupandangi terlihat diam. Apa aku sudah gila sekarang ?
Gila melihat kenyataan hidup bahwa dunia tak pernah menyisakan satu ruang pun
untuk orang seperti aku ? Dan, nyatanya keinginan semakin kuat dan deras.
Bertempur menghadapi hidup. Berjudi sedikit sedikit terhadap masalah. Apa hidup
memang cuma jadi arena taruhan ? Sehingga diwajibkan untuk kita agar terus
melakoni sandiwara yang kita perani. Ah, betapa fananya hidup ini.
Setiap hari pula, berita berita tentang negeri ini terdengar begitu miris.
Sudahlah, aku tak mampu lagi menulisnya lewat kata kata. Barangkali, memang
benar kata orang : Politik itu kotor. Tak pernah ada kawan abadi, musuh abadi
hanya kepentingan abadi yang tersisa di arena. Namun, hasrat kita guna
mengetahuinya juga besar, sangat sangat besar. Tentu, kita tak akan pernah
bosan disuguhi hiburan di tengah tengah jerat kemiskinan yang terasa menganga
begitu besar dan deras. Kita tak dapat lagi memecahkan masalah ini. Entah,
berapa tahun ke depan.
Lagi lagi, ia datang meronta ronta layaknya anak kecil yang kehilangan Ibunya
di pasar. Kuat sekali ambisinya seperti narapidana yang ingin segera
melepaskan diri dari sel yang dingin, beku. Bebas, terbang melayang kemanapun
angin berhembus. Terperosok ke dalam jurang atau rumpunan yang menghijau. Aku
tak lagi mampu menahannya, barangkali juga otakku yang berfungsi memilah milah
sudah jebol. Nanar dan layu. Semakin kuat aku membantahnya semakin kuat pula ia
menawarkan resep resep aneh. Ide ide gila yang tidak relevan dengan kenyataan.
“Aku harus membunuhnya. Sekarang. Malam ini juga. Tak ada kesempatan di lain
waktu.. akan kuikat dia, kukarungi. Setelah itu, aku gebuk dengan rotan agar ia
tersiksa terlebih dahulu sebelum mati. Setelah tidak menjerit jerit lagi,
karung akan kubuang ke sungai. Biarlah ia mengalir bersama tumpukkan sampah.
Biarlah ia menjadi berita di koran esok pagi. Yang jelas detik ini juga aku
harus membunuhnya. Buntu juga sih. Tapi, tak apa apa yang jelas aku harus
memenuhi batinku agar puas. Agar bersemi lagi, ceria bagai kanak kanak berapa
puluh tahun ke belakang”
O. Tidak Ia datang lagi malam ini, aku harus suguhi ia tawaran perdamaian.
Gencatan senjata sejenak. Berbicara dari hati ke hati berbagi perasaan sesama
manusia. Tidak asal asalan menerpakan darurat perang untuk situasi bagaimana
pun sekondusif pun. Kemana hasrat itu ? Ia tak pernah datang datang lagi. Apa
ia kecewa ? Karena tidak selalu kuturuti yang diinginkannya. Tak tahulah. Dar
malam ke malam kunanti kedatangannya. Dari rembulan ke rembulan aku harapkan
kehadirannya. Ah, barangkali ia sekarang sudah tampil independen. Berdiri di
atas kaki sendiri. Atau, ia berpikiran tanpa diriku saja ia dapat melaksanakan
semua ambisinya. Mudah mudahan saja.. kalau memang itu yang terjadi..
dannbsp;dannbsp;(alex.r/minahasaraya.net)

========================================
Pengirim : Conan
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *