“Kok kini kamu nggak berminat lagi pada politik, Noy?” tanya Oji suatu hari.

“Bosan, Ji. Bikin pengen muntah saja Politik sudah banyak peminat, penikmat, pengamat dan pengkhianatnya,” jawabku santai. “Itu itu melulu. Omong kosong doang.”

Aku mengerti, pertanyaan yang dilontarkan kawanku itu merupakan pertanyaan murni. Murni dari keheranannya atas sikapku sekarang. Bukan mempertanyakan, menggugat atau memprotes perubahan sikapku akhir akhir ini.

“Aku memilih untuk realistis, Ji, bekerja demi masa depan anak anakku.”

“Itu pun salah satu sikap politik, Bung ”

Mau dianggap semacam “sikap politik” atau apa kek, terserah. Yang jelas, bagiku, politik tidak lebih dari panggung sandiwara. Para politikus itu hanya memerankan tokoh sesaat demi kepentingan sesaat. Lantas berubah lagi menjadi tokoh lain dalam episode episode dan tema tama lainnya, tergantung siapa sutradaranya. Mudah mencampakkan atau menggandeng, menjadi kawan atau lawan. Bongkar pasang dan gonta ganti rekanan. Yang penting, kesempatan dan kepentingan, serta aman di masa tua.

Oji memang tahu masa mudaku dulu. Aku selalu bangga mengenakan kaos bertuliskan “Di sini Bebas Ngompol (Ngomong Politik)”, “Jangan Takut Bicara Politik” dan “Sak Beja Bejane Uwong Urip, Luwih Beja Uwong Edan Ning Kuasa”, di saat rezim otoriter mencengkramkan kuku kuku tajamnya pada setiap sendi kehidupan sosial masyarakat yang seolah memproklamirkan “Politik adalah Panglima”.

Memang, semasa muda, semasa mahasiswa, aku paling getol berceloteh soal politik, meski aku bukan mahasiswa fakultas ilmu politik. Aku sendiri sudah berlangganan koran dan majalah sosial terkemuka di saat kawan kawan kos lebih tertarik pada pacaran, keluyuran di mal, diskotik, bilyar, nonton vcd serta judi kecil kecilan di salah satu kamar kos kawanku.

Tak jarang aku tiba tiba berkomentar mirip komentator di televisi. Bagiku, menjadi komentator politik, tidak usah susah susah bersekolah di jurusan politik atau berkecimpung langsung sebagai praktisi politik. Bahkan tidak usah susah susah sekolah di jurusan komentator.

Waktu itu politik merupakan topik yang agak tabu, lebih tabu daripada bacaan cabul serta gambar porno yang bertebaran di kalangan orang muda. Ketika era internet melanda pergaulan masyarakat, mahasiswa mahasiswa mencari informasi informasi yang tidak termuat di media massa umum. Semakin kuat tindakan represif penguasa, semakin kuat naluri keingintahuan mahasiswa.

Aku pun tidak mau ketinggalan informasi. Kawan kawanku selalu datang dengan membawa beberapa fotokopian berita berita “tak tersensor”. Majalah Independen menjadi salah satu sumber obrolan kami. Namun aksi sempat surut ketika terjadi kasus pembredelan media massa yang dicap PKI, dan mahasiswa mengadakan aksi tiarap.

Menjelang reformasi, kepada kawan kawanku kukatakan, “Maaf, aku mendahului kalian menyambut reformasi. Inilah reformasi sesungguhnya bagiku, Kawan kawan.”

Reformasi versiku adalah segera menikah, setelah lulus dan menunggu panggilan kerja. Aku menikahi seorang gadis yang sama sekali tidak peduli soal politik. Aku tidak menuduhnya buta politik. Dan salah satu sebab kenapa aku menikahinya adalah karena aku tidak mau membiarkan hiruk pikuk perpolitikan itu hanya akan menggerogoti usiaku.

Bersamaan dengan masa bulan maduku, saat itu pula gerakan mahasiswa bangkit lagi. Tindakan aparat lebih ngeri lagi. Aparat yang berjubah zirah, berhelm, bersenjata dan berperisai itu garang sekali mengganyang para mahasiswa yang mengadakan unjuk rasa seraya membakar ban ban bekas di jalanan. Ngeri aku melihat itu semua. Bahkan pernah suatu malam terjadi “jam malam” dan malam terkelam tanpa lampu. Aku pun harus mematikan lampu vespaku agar tidak tiba tiba disergap orang orang misterius.

Aku ingat sekali. Jalan Gejayan gelap gulita. Lampu lampu jalan bertumbangan. Batu batu dan kayu bertebaran. Kaca jendela bekas gedung Bank Harapan Sentosa hancur lebur. Itulah malam paling mencekam yang mengotori bulan maduku.

Aku menganggapnya sebagai sebuah teror sesungguhnya. Subyeknya murni diperankan aparat dan rakyat. Obyek pelengkap penderitanya adalah para korban, entah seberapa jauh keterlibatan korban tersebut. Semalam suntuk pasukan pengendali kerusuhan menyisiri rumah rumah penduduk dan kos kosan mahasiswa di sepanjang jalan Gejayan. Beberapa mahasiswa ditangkap, digebuk dan diculik. Bayang bayang ketakutan, kengerian, kebringasan, kebencian melanda setiap sudut jalan. Moses Gatotkaca gugur.

Waktu itu dari kampung Sri Pemandang Pucuk ayahku mengirim pesan, menyuruh aku dan istriku pulang saja ke Bangka. Kata ayahku, setiap hari emakku gelisah memikirkan nasib aku dan istriku. Daripada ada apa apa di Jogja, mending pulang saja ke kampung halaman dan memulai kehidupan baru. Namun aku tetap bertahan.

Sampai ketika reformasi ramai digaungkan, berita dan ulasan politik semakin banyak peminatnya. Menu lezat harian sebagian orang. Bahkan mereka kecanduan seperti halnya kecanduan narkotika. Barangkali politik sudah menjadi semacam pil ektasi, yang dapat membuat pemakainya senang sepanjang waktu sampai sampai lupa waktu.

Keluargaku terbangun atas kesadaran aku dan istriku. Tidak terbangun atas kepentingan kepentingan sepihak. Dua pribadi, yaitu aku dan istriku, sepakat bersatu dalam satu tujuan utama sebagaimana sebuah keluarga. Anak anak yang kumiliki bukanlah supaya mereka bisa menafkahi keluarga ibarat pepatah jawa “kebo nyusu gudel” alias “induk kerbau menyusu pada anaknya”. Kalau aku punya utang, aku dan istriku harus mencari tambahan penghasilan untuk melunasinya, bukannya mewariskan utang pada anak anakku. Jika anak anakku kelak memang mampu, tetap saja aku dan istriku malu kalau anak anakku yang harus membayar utang keluarga di masa lalu.

Media langganan kami sekeluarga pun sudah naik harga, menyusul kenaikan harga tarif listrik, telepon dan bahan bakar minyak. Belum lagi biaya harian rumah tangga, seperti pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Kenaikan rupiah atau penurunan nilai tukar uang Amerika ternyata tidak kemudian menurunkan harga harga yang sudah telanjur naik itu. Yang namanya keuntungan atau laba, siapa pun tergiur dan memakai berjuta alasan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan keuntungan. Apalagi kondisi gaji yang tak jua dientaskan.

Seringkali aku menggerutu pada koran langgananku itu. Isinya berita politik melulu. Isinya kerusuhan melulu. Isinya teori nihil melulu. Isinya omong kosong belaka. Aku membayar uang langganan bukan untuk menikmati simpang siur siaran politik atau juga berita berita yang menakutkan keluargaku. Politik tidak menyajikan kemajuan apa pun terhadap kesejahteraan keluargaku. Menambah wawasan sosial politik tidaklah menambah pendapatan keluargaku. Banyak mengerti perkembangan politik, tidak lantas banyak meringankan beban biaya penghidupan keluargaku.

Aku ingat, dulu betapa jengkelnya orangtuaku melihat aku ikut ikutan anti monopoli partai besar jaman itu, sampai sampai emakku bilang, “Kita selama ini makan dari partai pemerintah, bukan dari partai lainnya.”

Tak pelak nyaliku ciut mirip kura kura manyun kehilangan rumahnya. Emakku lebih berpikir kenyataan tentang rumah tangga beserta kebutuhan harian keluarga, daripada membentuk oposisi di rumah.

Tak pelak politik menjadi topik yang paling menjijikkan bagiku. Bukan sebatas tayangan harian media kaca di rumahku, baik dari berita maupun dialog dialognya. Kebetulan anak anakku lahir saban tahun, sehingga aku ada kesibukan di rumah. Setiap hari selalu kupasang lagu anak anak. Televisi jarang kunyalakan. Istriku senang sekali.

Di lingkungan tinggal kami, saban malam “politikus politikus” muda mengudarakan obrolan politik. Pemuda pemuda itu asyik masyuk berembuk soal politik, bahkan seolah melebihi pakar politik. Minat mereka sangat menggebu gebu pada politik beserta isu isunya. Reformasi memungkinkan politik tak lagi tabu.

Ah, mungkin mereka cikal bakal politikus besar, kendati kesempatan belum sempat mengundang mereka tampil. Mungkin obrolan politik sekadar obat begadang setelah seharian suntuk didera pekerjaan mereka. Maklum, mereka cuma pekerja kasar dengan gaji yang selalu disertai bonus muka kecut bos mereka. Mungkin persaingan mereka dalam pengetahuan umum. Mungkin mengasah kepekaan setelah membaca, mendengar atau melihat sajian berita, entah dari mana mereka memperoleh sumbernya.

Kulihat sisi baiknya pembicaraan tersebut lebih menyita waktu dan pikiran mereka, daripada terlibat kegiatan merusak akhlak, merusak fasilitas umum dan tindakan kriminal malam. Di samping itu, acara kumpul kumpul itu pun bersamaan dengan aneka kegiatan pemuda. Dari olahraga, kesenian, budaya, membuat spanduk, bagi bagi kerjaan maupun sekadar meramaikan obrolan, semuanya bercampur aduk dengan politik. Terlebih sejak daerah kami dibanjiri pendatang, yakni mahasiswa yang kos.

Kawan kawan kantor pun terus saja bicara tentang politik, melebihi pekerjaan rutin mereka. Setiap sebentar membaca judul berita halaman muka koran, segera mereka berkomentar. Pekerjaan belum juga selesai, pembicaraan mereka sudah sampai mengenai rumah para politikus.

Kupikir, mungkin mereka salah bidang pekerjaan. Mungkin mereka kecewa karena tidak kesampaian menjadi politikus. Mungkin untuk gengsi antarpegawai. Mungkin sekadar selingan, mencari hiburan, yang bagi mereka politik itu seringkali menyuguhkan kelucuan kelucuan dan dihiasi kening kening berkerut untuk mempertahankan argumentasi mereka.

Makanya, aku bosan bicara atau sekadar mendengar obrolan seputar hiruk pikuk politik. Sekarang ini perhatian, tugas dan tanggung jawabku sebagai kepala keluarga, warga biasa dan pegawai kantor tidak boleh diserongkan pada urusan politik milik orang orang. Mengurusi rumah dan pekerjaanku saja aku sudah kelabakan, apalagi perpolitikan Bangsa ini selalu berubah ubah serta belum berhasil menemukan formasinya.

Suatu hari Minggu siang sepulangnya kami sekeluarga dari kebaktian di gereja, Makcikku (adiknya emakku) dan kedua anaknya berkunjung ke rumah kami. Beliau datang dari kampung pelosok Bangka, bersama tetangga beserta tiga anaknya pun ikut, karena ingin menikmati kehidupan ini, bahwa memang dunia ini tidak seluas kampung halaman mereka belaka. Rencananya mereka akan tinggal beberapa hari di rumah kami.

Tak lupa Makcikku membawa oleh oleh dari kampung, oleh oleh khas Bangka, yang membuat hatiku terseret ke suasana kampung halaman yang sedap. Sahang sekarung kecil, sisa tuai bulan lalu. Lempuk cempedak, manisan rukem, asinan klubi, asinan jambu bandar, keranji, kemunting, sambel binjai, juga ada selai nanas. Sedap tentunya. Ya, suasana kampung yang hanya menyuguhkan pola pikir sederhana, tidak susah susah berpikir urusan selain makan dan pergaulan sekampung.

Makcikku berkisah pula tentang kemajuan kampung semenjak harga harga sahang melambung dan kebun kebun kelapa sawit dibuka. Dibarengi pula dengan pelebaran jalan, penambahan angkutan umum lintas kecamatan dan pembangunan rumah rumah baru bagi pekerja perkebunan kelapa sawit.

Kata Makcikku, para pemuda di sekitar kebun sudah tersalurkan. Tidak ada pemuda menganggur. Aku jadi malu, sebab jauh berbeda dengan di daerah kami. Di daerah kami, bukan kampung tapi kota pun bukan, sebagian besar pemudanya memilih menganggur seraya terus menghidupkan sejuta khayalan setinggi tingginya kendati pendidikan mereka lebih tinggi dibanding pemuda pemuda kampung Makcikku.

Kata Makcikku lagi, di kampungnya saban awal bulan selalu ada keramaian, seperti pasar malam, pentas kesenian rakyat, teater dan pagelaran musik. Tokoh masyarakat kampung mengundang beberapa seniman daerah lainnya. Kalau soal hiburan berteknologi mutakhir, mereka tidak mau ketinggalan. Hampir setiap rumah memiliki televisi, perangkat parabola, vcd player dan playstation.

“Eh, mana tadi anak anak itu?” celetuk tetangga Makcikku.

“Main di luar dengan anak kami. Paling paling mereka main game internet di depan itu,” sahut istriku sambil menunjuk ke arah jendela depan.

“Main gem? Wah, anakku pilih nggak makan sehari kalau sudah main gem,” serobot Makcikku.

“Sama dengan anakku ” sela tetangga Makcikku pula. “Kalau sudah ketemu gem, bisa bisa nggak belajar dia. Maunya main geeeeeeeeem terus.”

“Aku sih curiga. Ini mungkin salah satu akal akalannya politik warisan orde lalu. Anak anak sengaja dijejalkan dengan permainan permainan modern. Lihat aja. Buku buku bermutu dilarang beredar dan media massa kritis diberangus. Tapi kalau permainan ketangkasan macam itu, justru tumbuh subur berhamburan semacam jamur di musim hujan. Apa lagi kalau bukan untuk membodohi generasi muda.”

Akal akalannya politik warisan orde lalu? Untuk membodohi generasi muda? Aku menoleh ke arah istriku. Kebetulan istriku pun menoleh ke arahku. Aku dan istriku saling berpandangan. Air mukaku kubikin agak runyam, sebagai isyarat bahwa aku agak risih pada bincang bincang seputar politik. Istriku mengangkat bahunya. Apa boleh buat. Aku dan istriku kembali diam dan melongo mendengar diskusi mereka.

“Iya, benar. Persewaan playstation di kampung kita selalu dipadati oleh anak anak setiap jam jam pulang sekolah. Berjam jam duduk bermain gem, boros waktu. Malas bikin PR. Belajar jarang. Dalam otak hanya ada gem gem aja ”

“Nggak kayak jaman kita dulu, ya,” kata Makcikku. “Jaman kita dulu anak anak sudah dibiasakan membuat apa apa. Menjahit, pelihara kembang, berkebun, bikin kerajinan, membantu ibu di dapur. Para cowoknya juga rajin. Bikin mainan sendiri, melukis, main bola, berkebun. Pokoknya, nggak ada yang duduk sembari menghadap kotak kaca dengan hati penuh kepenasaran yang cuma memboroskan hari.”

“Makanya, akal akalannya orang orang tua yang berambisi mempertahankan status mereka sekaligus merusak daya nalar generasi muda bahkan anak anak. Dasar politikus, banyak tikus ” tandas tetangga Makcikku itu.

“Bagaimana kalau kita, para ibu ibu, turun ke jalan? Kita gugat kebijakan birokrasi yang telah turut membidani kelahiran ‘generasi terhilang’ yang tengah marak ini. Sepakat? Sepakat?” tawar Makcikku pada tetangganya, lalu menoleh ke arah istriku.

Mendadak aku merasa kepalaku bagai ditinju ribuan palu, dan perutku terasa tidak nyaman. Ada yang tidak beres dalam perutku. Aku dan istriku saling melirik. Kuisyaratkan bahwa aku pening mendengar soal itu, dan aku mau ke belakang dulu. Entah istriku mengerti atau tidak pada bahasa isyaratku, aku bangkit dari kursiku.

“Makcik terus saja dulu, ya,” selaku.

“Lho, mau ke mana?”

“Ke belakang sebentar. Sebentar saja,” jawabku seraya segera kutinggalkan perbincangan seru mereka. Aku sudah tak tahan lagi.

Di kamar mandi aku muntah sepuas puasnya sembari terbayang raut muka Oji.

Jogjakarta, 2000 Mei 2002

========================================
Pengirim : Agustinus Wahyono
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *