“Kita sudah sampai ”
Pemberitahuan yang mendengung di dalam helmet telah menarikku ke luar dari
lamunan panjang. Kubiarkarkan terlebih dulu anggotaku melompat turun dari APC
(armoured personnel carrier). Setelah perjalanan panjang hampir selama 6 jam
dalam kendaraan yang sempit dan menbatasi gerakan tubuh, normal saja jika
mereka berebutan keluar untuk membebaskan kepenatan badan. Aku kemudian
menyusul di belakang mereka dan kemudian merasakan lembutnya padang garam yang
kuinjak. Warnanya yang putih bercahaya di tengah gelapnya malam yang hanya
diterangi oleh buah purnama.
Dengan langkah berat, sebagian karena persenjataan dan ransel, sebagian lagi
karena rasa penat, kami berjalan menuruni tangga yang menuju ke bunker, yang
tertanam 30 meter di bawah permukaan. Bunker ini merupakan pos terakhir sebelum
pada keesokan harinya kami harus bergerak ke belakang garis pertahanan musuh.
Namun sebelum kami memasukinya, terlebih dulu pakaian antiperang kimia yang
kami gunakan dibersihkan dulu dari partikel partikel berbahaya yang melekat
padanya, di ruang dekontaminasi.
Ketika aku melangkah masuk ke dalam bunker, kulepaskan helmet dari kepalaku dan
kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Bunker ini merupakan gabungan antara
stasiun telekomunikasi, logistik pertempuran dan pos kesehatan. Dan seperti
layaknya pos pos lain yang pernah kusinggahi, keadaannya amat berantakan. Pada
beberapa bagian ruangan, tampak gunungan logistik pertempuran. Hampir 60 persen
ruangan dipenuhi oleh dipan dipan yang digeletaki oleh tubuh para prajurit yang
terluka atau akan dioperasi.
Setelah pengarahan singkat kuberikan, kuistirahatkan reguku. Aku sendiri
berjalan ke salah satu sudut yang agak gelap dan kemudian membaringkan tubuhku
pada sebuah dipan, seraya mencoba untuk mengistirahatkan diri. Namun sekeras
apa pun kulakukan, semakin bandel pula syarafku melawan hal ini. Semuanya
bersimpul pada suatu tempat, yang baru saja kami tinggalkan. Sesuatu yang
meresahkan hatiku.
Nama sandiku adalah Antares, salah satu komandan regu yudha. Pasukan kecil yang
kupimpin merupakan regu yang dikhususkan untuk melakukan penyusupan ke garis
belakang musuh, untuk menghancurkan atau mengganggu instalasi elektronik yang
mereka gunakan. Sebenarnya aku tidak mempunyai latar belakang kemiliteran,
namun ketika terjadi mobilisasi besarbesaran karena adanya serbuan musuh dari
selatan, aku segera mendaftarkan diri pada dinas personil angkatan bersejata.
Karena latar belakang pendidikanku adalah perekayasaan pada jaringan syaraf
tiruan, yang berkaitan erat dengan perancangan dan pelumpuhan alat alat
elektronik yang memiliki kecerdasan buatan, maka aku ditempatkan pada Divisi
Infantri Elektronik. Divisi ini merupakan kesatuan tempur yang dikhususkan
untuk melumpuhkan instalasi instalasi vital musuh yang sebagian besar
memanfaatkan peranti elektronik berkecerdasan buatan. Yang bertindak sebagai
ujung tombaknya, adalah regu regu yudha, yang bergerak di garis belakang musuh.
Suatu ketika, kami baru saja kembali dari suatu operasi dan melewati sebuah
kota yang baru saja menderita serangan bom kimia. Ketika melihat sedang
dilakukannya penyelamatan oleh suatu tim kesehatan lapangan terhadap penduduk
yang masih hidup, maka sesuai dengan aturan kami harus berhenti untuk
memberikan pengawalan dan bantuan terhadap mereka. Tugas ini dilakukan sampai
dengan kedatangan pasukan pengawal yang mempunyai wewenang mengenai hal
tersebut. Dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan, menyusul tim kesehatan
yang terlebih dulu mendengar panggilan permohonan bantuan dari pos keamanan
kota ini.
Dan di sinilah aku bertemu dengannya. Semua ini tidak akan terjadi seandainya
aku tidak masuk ke tenda darurat yang dibangun oleh tim tersebut. Saat itu aku
berniat melengkapi keperluan obat bagi reguku. Namun karena suasana di dalamnya
penuh sesak dengan para korban yang mendapatkan perawatan atau pun sedang
dioperasi, maka aku dipersilakan untuk mencari sendiri obat yang dibutuhkan,
dengan seizin perwira kesehatan yang bertugas.
Aku pun melangkah lebih ke dalam, menuju gudang obat. Yang kutemui ternyata
adalah sejumlah pulau kotak kotak obat. Mau mencari di mana ? Dan di sebuah
pojokan, kulihat seseorang wanita anggota tim kesehatan, sedang mengamati
sesuatu menggunakan mikroskopnya. Rambutnya yang hitam menggapai pertengahan
tengkuknya, sebagaimana rambut seorang wanita prajurit.
Ketika ia menyadari kehadiranku, ia menghentikan kegiatannya dan menolehkan
pandangannya padaku. Sekejap aku terpana.
Ada garis sepanjang sekitar 10 centimeter, bekas jahitan, yang melintang pada
pelipis kirinya. Namun bukan itu yang kemudian menjadi pusat perhatianku,
melainkan sepasang matanya yang bening yang menatap lurus padaku. Kesipitan
mata itu menandakan ia berasal dari provinsi di utara, sesuatu yang khas bagi
penduduk yang dilahirkan di daerah itu. Memandang mata itu seperti melihat jauh
ke dalam, sampai ke dasar sebuah danau yang jernih, tenang namun mengandung
suatu yang misterius.
“Apa yang dibutuhkan ?” katanya setelah melihat nota otorisasi yang
ditandatangani oleh komandan timnya. Nada suaranya begitu datar, singkat dan
hemat kata.
“Eh, saya butuh Progen A sebanyak 10 kotak,” sahutku agak tersentak,
menyebutkan nama sebuah obat antipembekuan darah akibat menghirup gas berracun.
Kemudian suasana selanjutnya adalah keheningan yang panjang, padahal di luar
sana terdengar begitu banyak jenis kesibukan. Bahkan ia tidak mengatakan
apa apa lagi setelah memberikan apa yang kuperlukan.
Dengan malas aku beranjak pergi, menuju ke luar gudang.
Sambil membagikan isi kotak obat tersebut, sesekali aku memperhatikannya dari
jauh, di antara lalu lalangnya orang di dalam tenda. Semua suara dan kesibukan
seakan membeku. Sungguh bukan waktu yang tepat untuk mengalami hal ini.
Mendadak, aku tergagap, ketika ia menangkap pandangan penuh perhatian dariku.
Entah berapa lama itu berlangsung, karena satusatunya yang kurasakan adalah
betapa menyenangkannya memandang langsung pada matanya. Namun semua itu sirna,
seketika ia mengalihkan pandangannya dan kembali menekuni pekerjaannya.
Dan akhirnya datanglah regu pengawal yang akan mengambil alih tugas kami.
Setelah serah terima singkat, kupersiapkan reguku untuk menaiki APC yang
sebelumnya mengantarkan regu yang datang tersebut. Namun sebelum aku menyusul
naik, kusempatkan untuk masuk ke dalam tenda dan untuk terakhir kalinya
kupandangi ia dari kejauhan.
Ada rasa enggan untuk pergi, sebelum akhirnya kubalikkan badanku dan melangkah
menuju APC yang telah menanti.
“Komandan ?”
Aku tersentak dari lamunan panjangku. Di hadapanku berdiri seorang prajurit.
“Ada apa ?”
“Sesuai taklimat kemarin, sudah saatnya kita berangkat.”
Kulihat jam tanganku dan kusadari bahwa telah begitu lama aku terseret ke dalam
lamunan. Waktunya sudah tiba untuk melaksanakan tugas berikutnya.
Beberapa jam kemudian, kami sudah berada dalam perjalanan lagi. Bintang bintang
masih bersinar di atas sana, sementara tapak kaki kami terus membentuk lintasan
di atas padang garam yang seakan tidak bertepi ini. Namun tidak lama lagi bekas
tapak itu akan hilang ditelan oleh lautan garam ini, tanpa bekas.
Dari balik helmetku, hanya terdengar desiran kencang angin, menghembuskan
butiran garam ke seragam samaran berwarna putih yang kami kenakan. Semuanya
sama saja seperti penugasanku sebelumnya, kecuali ada yang berubah di dalam
hatiku.
Lamat lamat kudengar bisikan halus di dalam hatiku : Akankah suatu waktu nanti
kujumpai lagi si mata bening itu ? Dan…ya ampun, aku bahkan tidak mengetahui
siapa namanya
11 Nov 1994 25 Apr 1995 9 Februari 2002

========================================
Pengirim : Conan
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *