Dengan memandang sebutir embun: kumulai revolusi ini. Sungguh, ini bukan revolusi politik atau budaya, bukan revolusi yang akan meledakkan jantung manusia. Ini revolusi sunyi: seperti sebutir embun menetes lembut di daun keladi. Sungguh, aku tak takut menyebut diriku pengecut; aku tak takut menghujat diriku penipu, bajingan hina, atau pendosa. Ini wajahku: tak ada yang musti
disucikan Mana? Mana wajah agung kalian: biarkan segenap keangkuhan, kebusukan,
dan kerakusan tersingkap dari batin yang sakit dan tak sempurna.

Ini satu revolusi: jangan lari Meski perihnya seperti tak terhingga, tapi ,
inilah perlawanan sejati, revolusi yang paling sunyi: tak ada saksi di sini, tak
ada penguasa atau yang dikuasai. Di sini, kita berdiri membaca kembali riwayat
pribadi, jernih, bening, seperti sebutir embun di daun keladi.

Ya Kini saatnya kita berani berkata: pandanglah, segenap pikiran kami yang
penuh pretensi, ketamakan, dan intimidasi; pandanglah, segenap hati kami yang
makin jauh dari nurani, terbelah dalam obsesi, dikejar siklus pemuasan diri.
Inilah kami: anjing yang menggigit ekornya sendiri, bangsa yang menjajah
rakyatnya sendiri?

Tidak Kini saatnya aku musti berkata: dengarlah, aku tak percaya keadilan itu
ada, aku tak percaya kebenaran itu nyata, aku tak percaya kebebasan itu milik
manusia, aku tak percaya kebaikan itu harkat setiap jiwa, aku tak percaya , aku
tak percaya , kecuali aku melihat faktanya.
Pandanglah ke dalam diri: jangan lari Ini satu revolusi: tanpa ambisi untuk
mengubah dunia, tanpa dendam atau perasaan terhina, tanpa kebencian atau salvo
senjata.

Ya Inilah revolusi cinta: revolusi sebutir embun, revolusi yang akan
membersihkan tangan kotor kita.
dannbsp; dannbsp;Kesaksian bagi Rakyat Desa Negara Sakti
Di antara tubuh petani yang terbakar, aku melihat kenyataan, sebara semangat,
dan getar perlawanan pada nasib yang dihinakan. Aku melihat kutukan dan karma
kemiskinan: membekas hangus pada keningnya yang terbakar.

Aku melihat cinta dan
harapan, aku melihat korban penindasan: pada dadanya yang terbakar.Angin
membantai pucuk pucuk tebu. Di sana perlawanan itu bermula: beratus tahun yang
lalu, petani petani hina bergerak melawan kebekuan nasibnya, melawan beribu
pertanyaan yang tak kuasa dijawabnya. Lawan lawan lawan Cangkul diayunkan, arit
disambitkan, garu dilayangkan, tapi tidak ke tanah, melainkan ke sana: ke
tubuh kaki tangan kepala yang telah berabad menjajah mereka. Dan peluru peluru
panas itu, dalam kemarahan tanpa ampun, segera menjawab pertanyaan mereka:
merdeka?

Lantas, beratus tahun sesudahnya, pertanyaan itu tetap sama, anak cucu cicit
mereka menerima warisan yang sama: pemiskinan, pembodohan, dan perlawanan.
Siklus kekerasan yang mendera tak habis habisnya. Di situ: di antara miang
batang batang tebu, di antara deram pabrik pabrik gula, penjajahan berulang
kembali. Lalu dengan tubuh kurus dan bibir bergetar, dengan melipat rasa
takutnya, petani petani miskin itu berteriak dan bergerak maju:
Lawan lawan lawan Dan tetap saja peluru peluru panas itu, tanpa ampun,
menjawab pertanyaan mereka: merdeka?

Di antara tubuh petani yang terbakar, siang itu, aku melihat sisa spanduk,
cangkul, arit, dan garu dengan bau darah, ya, aku melihat kenyataan: selongsong
peluru, poster poster dengan tulisan arang, dan sisa teriakan yang terus
terngiang: “Kembalikan tanah nenek moyang kami ”

dannbsp;Kesaksian bagi Rakyat Desa Gedung Rahayu
Malam itu, aku ingat, kita bertemu, saling tersenyum, dua gelas teh penyambut
tamu. Kau terdiam, bersandar di dipan kayu, sementara aku mereka reka kerut pada
wajahmu. Ah ya, ada juga kunang kunang melintas di balik pintu.Aku pun mulai
bercerita tentang penindasan para petani, tentang penjajahan bangsa sendiri,
tentang sejarah pahit negeri ini.”Kami telah biasa, sejak Jepang merampas
jagung, padi, dan pakaian kami,” katamu, hampir tanpa mengerutkan kening.

Dibawah redup lampu petromaks, kauledakkan cerita cerita penjajahan: tentang
gerombolan NICA, hingga pak lurah yang menjual beras OPK. “Kami telah biasa,
sejak kebodohan terus membius kami, lalu timbul tidak peduli,” katamu dengan
sedikit mengerutkan kening.Kita pun larut dalam diskusi. “Harus ada yang
merubahnya, harus ada yang mencoba melawan, harus ada keberanian,” katamu dengan
kening yang semakin dikerutkan.Tapi siapa yang harus memulainya?Kau pun terdiam.
Kerut di keningmu seperti ingin berdamai dengan kenyataan. Sesekali, derum motor
bagai mengintai

dannbsp; dannbsp;Waduh senangnya bisa memperkosa
Reformasi memperkosa otonomi. Otonomi memperkosa birokrasi. Birokrasi memperkosa
retribusi. Retribusi memperkosa pejabat negara. Pejabat negara memperkosa Pak
polisi. Pak polisi memperkosa mahasiswa. Mahasiswa memperkosa demonstrasi.
Demonstrasi memperkosa tentara. Tentara memperkosa semuanya. Hebat kan?
Waduh senangnya bisa memperkosa.
Pendidikan memperkosa Pak guru. Pak guru memperkosa buku buku. Buku buku
memperkosa para siswa. Para siswa memperkosa lantai plaza, gedung bioskop, lampu
diskotik, rumah pelacuran, meja bilyar, sambil asyik rame rame menghisap ganja.
Hebat kan?

Waduh senangnya bisa diperkosa.
Petani diperkosa pupuk kimia. Pupuk kimia diperkosa pengusaha. Pengusaha
diperkosa penguasa. Penguasa diperkosa aksi massa. Hebat kan? Undang undang
diperkosa anggota DPR. Anggota DPR diperkosa krisis moneter. Krisis moneter
diperkosa Amerika. Amerika diperkosa kapitalnya.
Waduh senangnya bisa diperkosa.
Kaum buruh diperkosa biaya rumah tangga. Biaya rumah tangga diperkosa kenaikan
harga. Kenaikan harga diperkosa perhitungan laba.

Perhitungan laba diperkosa
cadangan devisa. Cadangan devisa diperkosa target ekspor. Target ekspor
diperkosa bahan impor. Bahan impor diperkosa pasar dunia. Pasar dunia diperkosa
negara negara utara. Hebat kan?
Ayo, ayo, silahkan memperkosa.
Para hakim boleh memperkosa hukum negara. Hukum negara boleh diperkosa para
jaksa. Para jaksa boleh memperkosa semua tersangka. Semua tersangka boleh
diperkosa pengacara. Pengacara boleh memperkosa uang tersangka. Uang tersangka
boleh diperkosa oleh hakim, jaksa, polisi, hingga pejabat negara.

Di negeri kami, pemerkosaan sudah jadi budaya. Hebat kan?
Waduh enaknya punya bangsa yang suka memperkosa.

Kuli itu kesayangan Tuhandannbsp;
Seperti amsal tentang domba yang diselamatkan, mengapa kita harus melawan takdir
yang telah digariskan?
Berabad lalu, dari pelosok polosok ranah jawi, tani tani hamba diangkut dengan
kapal kayu dan kereta. “Ada tanah yang dijanjikan, di sana emas murah dan bebas
berjudi ” bujuk calo calo dari Batavia, sambil tersenyum memamerkan gigi
emasnya.

Lantas berbondong mereka bergerak, digiring bagai ternak, dirampas bekalnya,
diperkosa, dan diinjak injak tubuh coklatnya. Kuli kuli itu domba domba
kesayangan Tuhan itu terpojok tak berdaya.
Maju? Maju? Maju? Merentas rimba rimba buas sumatera. Melintasi sungai sungai
swarna dwipa. Mana? Mana tanah yang dijanjikan itu?

Akhirnya rombongan domba itu pun tiba. Tapi, tak ada emas di sana? Satu satu
berbaris di lapangan luas. Satu satu digiring ke barak tanpa pembatas. Di sana
tak ada etika, tak ada agama, lelaki dan wanita: sama rata sama rasa, ya,
sama sama jadi kuli Belanda.

Tak ada waktu untuk bermimpi. “Bangun, babi pribumi Anjing pemalas Kamu harus
kerja, bisamu cuma tidur pulas ” teriak mandor mandor kuli, mandor mandor
pribumi.

Pecut diayunkan: “Ayo kerja lagi, kerja terus sampai mati ” Tubuh tubuh kurus
dan kurang makan domba domba jinak kesayangan Tuhan tersungkur di
kubangan.Lantas dimulailah kerja mulia itu, menurunkan surga ke bumi Hindia:
membuka hutan hutan, menyemai bibit, menanam tembakau, karet, dan tebu. Tapi, di
manakah emas murah itu?

Hari pasaran tiba. Berdencing bunyi recehen, bergambar ratu Belanda gemetar
tangan tangan kurus para kuli menerimanya. “Kowe boleh berjudi, boleh hamburkan
uangmu di sini,” bujuk Menir Onderneming, sambil tersenyum melipat
rahasia.”Kalau uangmu habis, kamu bisa kontrak lagi, kamu boleh terus jadi
kuli,” timpal Sultan Muda, sambil menghitung Gulden hasil sewa tanah moyangnya.
Terus dan terus. Siklus penghisapan, siklus penindasan: berputar bagai
lingkaran. Berabad kemudian, kita malah makin terlatih menindas rakyat jelata,
makin terbiasa melecehkan harkat manusia. Lucu, kini penjajahan makin jadi mirip
budaya.Kuli itu kesayangan Tuhan. Seperti amsal tentang domba yang diselamatkan,
mengapa kita harus melawan takdir yang telah digariskan?

Rivian, kau berkata: provokasi itu bernama kekecewaan
Sehabis menunggu kawan yang ditahan, kita duduk menebus kepenatan. Ngopi dulu,
tenang saja, jangan tegang, katamu. Langit di halaman kantor polisi itu begitu
terang. Sayup sayup terdengar bentakan: Ini molotov siapa? Siapa yang
membuatnya? Katakan

Kontradiksi tak bisa diatasi dengan menipu, katamu, sambil menyeruput kopi
suam suam kuku. Aku mengangguk setuju. Lalu, kau meludahi lantai di balik pintu.
Kembali terdengar bentakan. Juga rintih ketakutan: Ampun, Pak. Saya cuma
petani biasa.

Tapi, kematian kadang jadi sedekat canda, jadi komedi yang membikin orang
gampang ketawa. Mungkin juga sekedar melepas rasa kecewa. Atau mungkin bukan
apa apa. Tapi, hukum punya cara sendiri untuk mengontrolnya, meski tidak begitu
sederhana, katamu. Awan menyimpan kebencian. Burung burung merpati hinggap pada
bubung rumah tahanan.

Suasana jadi seiris tegang. Kawan kita bercerita, tentang aksi sore itu, tentang
petani yang histeris mengacungkan pedangnya, tentang polisi yang terpaksa
menembak rakyat jelata, tentang kepentingan elit politik di balik aksi massa,
tentang rakyat yang harus mati karena mempertahankan haknya.

“Aksi itu hanya jebakan. Aku dituduh provokator kerusuhan, tapi mereka kecewa,
semua pasal tak bisa menjerat kita,” katanya. Langit sehitam batu, gerimis
terbantun membasahi sepatu.
Kadang kita kecewa, ada yang tak bisa sampai pada nyata, katamu. Lalu
kaunyalakan filterku. Asapnya membakar paru paru.

“Tiga orang ditahan, semua rakyat biasa, mereka kecewa. Mereka dituduh hendak
membakar pabrik gula, hendak merusak harta negara,” katanya. Hujan menyapu sisa
debu, harum tanah sedekat bau mesiu.
Siapa yang menyuruh mereka aksi? tanyaku. Bukankah kita sudah bisa memprediksi,
situasi akan menjadi peluru?

“Ketidakadilan,” katanya.Juga kekecewaan, katamu.
dannbsp; dannbsp;Rasa takut itu manusiawi. Tapi, kalau sudah kelewatan, pasti
terjadi penindasan. Karena itu, rasa takut perlu segera kita otopsi.
Rasa takut itu kadang hidup kadang mati. Kitalah yang memberinya jantung, darah,
dan nadi. Jadi, kalau pikiran takut mati, maka nyali kita pun ikut mati.

Kalau pikiran takut miskin, maka hidup kita sudah jadi miskin. Kalau pikiran takut
keadilan, maka takdir akan menjelma kezaliman. Prinsipnya: rasa takut itu sama
sekali tak punya eksistensi. Kitalah yang memberinya arti.

Ini boleh kita coba. Amati pikiran sendiri. Di sinilah rasa takut itu tercipta,
mendapat napasnya yang pertama, lalu menjelma jadi ular berkepala dua: jika lari
kita akan terus dikejarnya, jika maju kita akan dipatuknya. Jadi, ini bukan soal
simalakama. Tapi, lebih kepada arkhetipe di dalam diri kita, warisan genetik
yang terwujud dalam mitologi karma. Sekarang, bagaimana kita bisa membedahnya?

Jangan bingung, soalnya sangat sederhana: apakah kita siap mengenal rasa takut
itu sampai ke akarnya? Inilah pertanyaaan pertama yang harus tegas kita jawab
sebelum membedahnya. Jika kita tak lagi mempersoalkan hidup atau mati, maka kita
siap memasuki ruang ruang yang paling sunyi, kesendirian mutlak yang akan
mengantarkan kita pada batas paling nyeri, yaitu: akal pikiran kita sendiri.

Inilah soalnya.
Selanjutnya, siap siapkan diri. Heningkan persepsi. Jangan menilai, namun amati.
Kemudian baringkan seluruh rasa takut pada meja bedah kenyataan. Lalu, pisaukan
Lihatlah rasa takut yang terus mencoba memberi nyawa pada gerak pikiran, mencoba
memalsukan setiap alasan. Lalu, rasakan: mendadak kita memahami arti kebencian,
mendadak kita terbebas dari kehampaan.
Begitulah, lingkaran rasa takut itu bekerja. Ada atau tiada: kitalah yang
memberinya nyawa.

Atas nama kebebasan, teruskan penjajahan
Lalu berjuta buruh di selatan: diperas keringatnya, dijual harapannya, dijadikan
komoditi pada bursa tenaga kerja. Mereka sekedar jadi bagian dari sistem
produksi. Mereka dicetak jadi bit dalam pacuan informasi. Kerja terus sampai
pagi, menghibur diri sampai mati. Lagi lagi lagi

Faktanya: mereka cuma jadi
wayang milik dalang dalang kapital luar negeri.
Ini bukan keterlaluan, cuma penghisapan yang paling keji.

Lalu berjuta petani di selatan: kehilangan hak atas tanahnya. Tak ada modal
untuk bertani. Semua harus dibeli. Pupuk kimia, bibit hibrida, hingga pestisida:
membuat hidup mereka jadi lebih sengsara. Saat panen tiba, harga harga dibanting
semaunya. Lalu pedagang pedagang di kota, berpesta pora menikmati rentenya.
Selalu begitu. Mereka terbiasa diam ketika ditipu. Mereka berharap sang ratu
adil akan membebaskan anak cucu.
Atas nama kebebasan, teruskan penjajahan
Lalu anak anak miskin yang makin berlagak pintar: berebut mengimpor
pemikiran pemikiran besar.

Pengetahuan telah jadi alat untuk saling menguasai.
Keserakahan direduksi jadi matrik dalam pertumbuhan ekonomi. Ideologi disulap
jadi senjata untuk saling menyakiti. Kebencian ditabur demi pembebasan
materi.Hopla Revolusi telah berubah jadi komoditi.
Lalu utang jadi pilihan paling ampuh untuk mengesahkan penindasan. Tak ada MoU
untuk keluar dari kemiskinan. Tak ada yang gratis dalam hukum pertumbuhan. Semua
harus diimpor dengan harga tinggi. Semua harus dimodali.

Kebodohan adalah kasta
yang harus terus dimaklumi.
Atas nama kebebasan, teruskan penjajahan
Tidak Aku sudah muak dengan persekongkolan ini
Kesadaran yang dikebiri, pembiusan yang dijejalkan dalam iklan sabun mandi,
hingga keinginan untuk melegalkan bunuh diri: Tidak Hentikan semua
eksploitasi Di dalam penindasan tak ada hak asasi, tak ada kebebasan atau hati
nurani. Yang ada cuma hak untuk dikencingi, hak untuk menjadi semakin tidak
manusiawi.Aku telah bosan dengan mimpi mimpi demokrasi

Kebebasan hanya mitologi. Dari hari ke hari kami berharap akan keadilan, tetapi
yang kami dapatkan cuma kisah kisah sadis tentang pertumbuhan, atau
obsesi obsesi masokhis koloni jajahan.
Karena itu, dengarkan, wahai kaum modal yang berkuasa: kalian boleh penjarakan
tubuh kami, kalian bisa hisap alam kami, kalian bisa kuasai budaya kami, tapi
satu yang tak akan pernah bisa kalian miliki: pikiran kami, ya, pikiran kami
untuk merdeka

Tak ada revolusi tanpa cinta ” teriak Che Guevara, dari atas
kudanya, berselempang senjata, memasuki gerbang Havana.
Tapi, di sini, tak ada Guevara, atau Tan Malaka. Mereka hanya simbol simbol
sementara, agar revolusi memiliki makna. Atau barangkali, sekedar imajinasi.
Tapi, di sini, aku merasa teramat sendiri.
Sejarah selalu dipenuhi dengan kisah kisah heroik, korban pembantian, plus
kebohongan. Pengkhianat atau pahlawan, hanya terminologi yang gampang
terlupakan.

Tetapi, penindasan akan selalu berulang, dan perlawanan akan bangkit
dari jalan jalan, dari ruang ruang tahanan, juga kandang kandang rakyat
jelata.Pagi ini, kulupakan Che, juga Tan Malaka. Kuhirup kopi, sambil membaca
Koran pagi: presiden berkunjung ke Kuba, korupsi merajalela di sekretariat
negara, harga kopi jatuh di pasaran dunia, hei, ada juga puisi dari seorang
kawan di Jakarta.

Apa arti pengangguran di dunia ketiga?Apa arti kemiskinan di negara negara
utara?Apa arti penindasan di surga?Apa arti keadilan di neraka?Apa arti menjadi
manusia yang merdeka?
“Setelah Jawa, Sumatera akan berjaya ” seru Tan Malaka, sambil terus menuliskan
kalimat kalimat perlawanan, mencatat sejarah pahit pergerakan, dari penjara ke
penjara.

Apa arti reformasi bagi petani petani jagung di desa?Apa arti revolusi bagi
gembel gembel di kota?Apa arti …..
“….. We are The World,” mengalun sayup dari CD tetangga.
“Ada panggilan kerja dari pabrik Coca Cola,” seru istriku, sambil menyiapkan
sarapan pagi, tanpa telur dan rokok Amerika.

Hidup tanpa kekuasaan adalah bukan hidup
Aku harus berkuasa, menggapai semua kumau, dengan kedua tanganku. Berjalan ke
depan, menantang dan mengalahkan setiap rintangan.

Hidup tanpa kekuasaan adalah bukan hidup.
Kekuasaan menderu dalam dadaku, mengobarkan nyali dalam sukmaku.Kekuasaan adalah
langit yang bergerak dalam bebas, adalah ombak yang tak henti mencapai batas.

Kekuasaaan adalah aku. Maju. Maju. Maju. Akulah gerak dunia. Akulah pusat
semesta. Akulah kebebasan. Akulah kebenaran. Akulah inti dari setiap pertanyaan.
Akulah ruang dan waktu. Akulah Aku
Hidup tanpa kekuasaan adalah bukan hidup.
Kekuasaan sejati, hanya ada , bila manusia mampu mengendalikan diri, bergerak
dalam harmoni, mencapai damai sejati, berjuang sampai mati.Kekuasaan bukan
kebencian.

Kekuasaan bukan kejahatan.Kekuasaan adalah gairah untuk selalu
mencipta, gairah untuk melangkah selaras dengan alam semesta, gairah untuk
melawan penindasan rakyat jelata, gairah untuk mewujudkan keadilan di dunia.
Ah , kekuasaan yang menderu yang membara dalam kedua bola mataku, betapa ingin
kulihat Tuhan tersenyum bangga, saat kukepalkan kedua tinjuku kepadaNya, lalu
lantang berkata: “Cintailah aku sebagai manusia ”
Kemudian: Sunyi

Perlahan kusadari: kekuasaan sejati, ternyata , bukan milik manusia.

Apa artinya demokrasi, bila kemiskinan hanya sekedar tanda yang
musti terus dimaklumi, memenuhi baris baris redaksi di koran pagi, atau semacam
hidangan pahit saat minum kopi? Cemas yang bisu, sepotong langit terlihat di
luar jendela kamarku. Lalu sebuah pena, catatan aksi massa, biografi Tan Malaka,
agenda yang telah kehilangan semangatnya, juga teriakan putus asa: “Aku tak
ingin mencari kerja ”

Siapa yang peduli. Wow, ada anak perempuan diperkosa polisi. Kebenaran adalah
boklam 15 watt di kamar mandi. Jam mati. Realitas jadi sekeras batu dan
tameng tameng besi. Huru hara lagi. Wakil rakyat sibuk menghitung kekuatan untuk
menjatuhkan dirinya sendiri. Hopla Spiral kekerasan Holder Camara kini
terbukti.

Aku makin merasa tak bisa percaya. Aku makin merasa ada yang salah dalam
struktur pahit keadilan dunia. Aku makin merasa kehilangan daya pikir. Aku
melihat permainan politik yang mubazir. Aku makin melihat dunia menuju kegilaan
yang nyata.
Siapa yang peduli. Di negeri ini demokrasi adalah satu bentuk legitimasi untuk
menindas para petani. Cukai rokok naik lagi. Tak ada pajak untuk hati nurani.

Huuuuaaaah Gerah benar pagi ini. Ada VOC merindukan padi. Ekstase pestisida
Selamat jalan ideologi. Berapa sih harga cinta? Guru guru aksi minta kenaikan
gaji. Murid murid sibuk berkelahi. Pendidikan: bunuh diri

Aku memeluk istriku. Selamat pagi, sayangku. Maaf, tak ada uang belanja untukmu.
Tapi di halaman belakang rumah, ada sayur kangkung dan belatung, itu baik buat
kandunganmu. Dan jendela kamar itu makin menampilkan langit dengan warna yang
sama: merah, merah menyala, merah kaum yang terhina, merah bumi jajahan, merah
perlawanan

Apa artinya demokrasi, jika semua sumber daya yang kami miliki, akhirnya ngendon
ke bank bank Amerika, juga konco konco IMF nya: lalu kami yang terhutang sampai
tujuh turunan, harus menanggung rente dan ampas kewajiban?

========================================
Pengirim : desain
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *