Mungkin sudah nasib. Aku harus mewarisi keahlian ini. Keahlian yang telah turun temurun dalam silsilah keluargaku. Namun sungguh aku tak pernah sedikit pun menyangka warisan itu memilih tubuhku.
Pernah aku pergi ke kota. Mengadu nasib, seperti kisah lama para penduduk desa yang mimpi jadi kaya. Tuhan memang bukan demokrat. Keinginanku tak disetujuinya. Aku harus kembali ke desa. Klise memang.

Desa tempatku lahir dan dibesarkan bukan desa yang maju. Penduduk desa sangat tertutup kepada hal hal baru. Desa yang terletak di tepian sungai itu menggantungkan hidup pada sungai. Ya, seperti kebanyakan desa di negeri ini, seluruh penduduk bekerja sebagai petani. Ketergantungan terhadap sungai memang sudah turun temurun. Sehingga tak ada sumur di desa ini. Bahkan pernah suatu ketika paceklik datang, sungai kering. Hampir semua mengeluh bahkan aku sendiri pernah tidak mandi selama satu minggu.

Tapi berkat doa seorang tua tersohor. Akhirnya paceklik itu teratasi. Hujan deras mengguyur setelah Wak Huda melakukan ritual yang kata orang orang dinamakan salat..salat�Ah..entahlah aku sendiri sudah lupa. Tapi yang jelas setelah itu hujan deras mengguyur desa, dan aku sendiri saat itu juga merayakan berakhirnya paceklik dengan mandi di kali. Yang tentu saja airnya masih sangat keruh.
Awalnya, ketika pamanku yang datang dari kota menyarankan agar di rumahku disediakan sumur. Lewat diskusi antara bapak, ibu dan paman akhirnya dibuatlah sumur itu. Namun yang jadi persoalan sekarang, siapa yang menggali sumur itu. Di desa ini tak ada penggali sumur, setelah Pak Kadir meninggal lima belas tahun yang lalu. Penggali sumur itu adalah kakekku. Kakekku bekerja sebagai penggali sumur di desa desa sekitar.

Suatu malam bapak dan paman terlihat dalam sebuah pembicaraan �yang tampaknya serius. Dan keesokan harinya, bapak dan paman menugaskan aku untuk menggali sumur. Aku tak pernah percaya dengan hal itu. Apalagi masih ada dua kakakku. Mengapa bukan mereka? Mengapa aku?
�Apa Paman nggak salah?�
�Tidak, aku dan bapakmu sudah membicarakannya matang matang.�
�Tapi �kan ada�.�
�Tidak, kakakmu tidak bisa melakukannya. Darah kakek mengalir pada dirimu.�
�Tapi aku �kan��
Belum selesai aku berucap, Bapak menyerahkan sebuah cangkul dan sekop. Dua benda itu merupakan warisan kakek yang masih disimpan dan dirawat oleh bapak.

Semuanya bukan hal yang mudah bagiku. Aku benar benar tak mengerti dengan semua ini. Aku tak percaya, apakah aku mampu melakukan pekerjaan itu. Lalu apa kata seluruh penduduk desa ini. Tapi bapak dan paman terus meyakinkan aku. Seluruh keahlian kakek mengalir di darahku. Juga kekuatan kakek. Tapi mana mungkin? Mana mungkin aku sekuat itu?
�Paman�mengapa harus ada sumur di rumah ini?� tanyaku mencoba mencari jawaban dari seluruh ketidakpercayaanku.
�Itu adalah awal,� ucap paman mantap.
�Awal?�
�Ya, awal dari kehidupanmu,� sahut bapak. �Kakekmu pernah berpesan pada aku dan pamanmu; bahwa kau akan mewarisi seluruh keahliannya.�
�Tapi aku �kan�?�
�Kami semula tidak percaya. Sebab itulah kami berdua perlu membicarakannya lagi sebelum mengatakan padamu,� paman menerangkan padaku.

Pagi yang cerah. Pagi yang aneh bagiku. Di antara percaya dan tidak percaya. Namun aku harus menjalaninya. Dengan ditemani bapak dan paman aku pergi ke belakang rumah. Bapak memberikan cangkul padaku.

�Kau bisa melakukannya,� ucap bapak meyakinkan.
Dengan sebuah napas panjang kuayunkan cangkul. Dan sungguh di luar dugaan. Cangkul itu terasa sangat ringan. Tanpa kesulitan aku berkali mengayunkan cangkul. Tanah yang memercik ke mukaku terasa sangat menyegarkan. Dan entah mengapa hatiku sangat menikmatinya. Aku menoleh pada bapak dan paman. Dan kuayunkan lagi cangkul itu.

Menjelang siang hari aku berhasil menggali sedalam lima meter. Ajaib. Suatu pekerjaan yang aku sendiri tak bisa mempercayainya. Seorang diri aku bisa menggali sedalam itu. Porsi makan siangku pun bertambah. Aku jadi malu sama ibu, tetapi bapak dan paman tersenyum senang padaku. Tanpa merasa letih, aku meneruskan menggali sumur. Aku sudah tak peduli meski beberapa orang tetangga sempat melihat aku.

Sore hari aku sudah berhasil menggali sedalam sepuluh meter. Dan aku sangat menikmati ketika menyaksikan air mulai merembes dari dinding sumur. Seorang diri aku menggali sumur. Bahkan bapak dan paman tidak percaya dengan hasil pekerjaanku. Lingkar sumur itu sungguh sempurna, air yang memancar juga sangat bening.

Sumur itu pun menjadi bahan pembicaraan seluruh penduduk desa. Sumur pertama yang ada di desa ini. Bahkan yang lebih membuat mereka tidak percaya adalah aku. Aku si penggali sumur. Memang sempat terdengar gunjingan yang kurang enak di dengar.
�Biarkan mereka mengatakan bahwa sumur itu tak ada gunanya,� ucap bapak
�Tapi kalau dipikir benar juga. Meski mereka tidak punya sumur, tapi masih bisa mengambil air dari sungai,� ucap ibu.

�Kau salah,� sangkal bapak.
�Iya, nanti kalau ada kemarau panjang �kan mereka akan tahu,� aku membela.
�Tapi �kan ada Wak Huda,� ibu beralasan.
�Kau salah,� jawab bapak pendek.
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan kedatangan Diman. Diman sempat melihat aku menggali sumur saat itu. Dan kedatangannya pagi itu membuat aku sedikit emosi. Aku mengira ia akan mencemooh perbuatanku. Tapi dugaanku salah.
�Apakah aku bisa minta tolong?�
�Nggak usah basa basi,� ucapku ketus.
�Aku serius. Bisakah aku minta pertolonganmu untuk menggali sumur di rumahku,� ucapnya sungguh sungguh.
Itulah awal pekerjaanku. Ketika menggali sumur di rumah Topik banyak sekali yang menyaksikan. Aku juga heran mereka tampak senang sekali. Aku tidak menghiraukannya, mungkin mereka tidak percaya bahwa aku bisa melakukan pekerjaan ini seorang diri. Namun aku tidak menghiraukannya, aku hanya menikmati pekerjaan. Dan yang lebih menyenangkan lagi, aku dapat upah dari pekerjaan itu. Sangat lumayan. Setelah menggali sumur di rumah Diman aku sudah dipesan untuk menggali sumur di rumah Karjo.

Seperti sebelumnya, di rumah Karjo pun banyak sekali yang menyaksikan aksiku menggali sumur. Mereka setia melihat aku dari pagi sampai sore. Bahkan mereka juga memberi aku uang. Semula aku menolak, tapi mereka memaksaku. Mereka mengaku sangat senang melihat aku menggali sumur.
Setiap hari aku menggali sumur. Dari satu rumah ke rumah lain. Panghasilan yang aku dapatkan sangat berlimpah. Aku bisa mengangkat derajat kehidupan keluargaku. Namun aku medengar kabar bahwa Wak Huda sangat tidak senang dengan perubahan ini. Aku kira hal itu terjadi karena jika saat kemarau penduduk tak perlu lagi meminta bantuan Wak Huda, sebab hampir di tiap rumah sudah ada sumur. Atau mungkin karena sekarang aku lebih tenar daripada Wak Huda. Aku menjadi penggali sumur yang selalu ditunggu tunggu.

Kabar kebencian Wak Huda semakin santer. Namun aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Keluargaku pun menasihati agar tidak menghiraukan kabar itu. Hingga pada suatu malam aku kedatangan Wak Huda.
�Kau pasti sudah dengar semuanya,� ucap Wak Huda tegas.
�Apakah ada yang salah dengan semua itu?� tanyaku.
�Kau adalah seorang perempuan�
�Apakah salah jika seorang perempuan menjadi panggali sumur?�
�Ya, menjadi salah karena kau telah menyebar maksiat,� ucapannya sangat mengejutkan.
�Maksiat? Penggali sumur merupakan pekerjaan maksiat?� aku agak emosi.
�Ya, sekarang mushola mulai sepi. Apalagi saat salat dzuhur dan ashar. Mereka lebih memilih menunggumu menggali sumur,� ucapannya semakin menyakitkan.

�Mengapa harus aku yang salah ?�
�Saat menggali sumur, kau membiarkan pantatmu dinikmati oleh mereka��

Seluruh ketakpercayaan dan amarah bergumpal di kepalaku. Sebagai seorang perempuan aku tak kuasa menahan airmata. Bapak dan ibu menenangkan aku. Tenggorokanku terasa kering.

�Mereka bukan ingin mempunyai sumur. Mereka hanya ingin melihat penggali sumur,� lanjutnya.
Seluruh isi kepalaku terasa berpendaran. Aku hanya menitikkan airmata. Tak terdengar lagi suara Wak Huda meninggalkan rumah. Aku hanya menjalani nasib. Hanya seorang perempuan penggali sumur. Kalau benar yang dikatakan Wak Huda, apakah itu berarti aku salah? Malam begitu hening. Airmataku tak berhenti menitik, seluruh jiwaku lengang seperti sumur sumur di desa ini.

Surabaya, Mei 2003

========================================
Pengirim : loper
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *