Siapa bilang semakin banyak jenis makanan dan meningkatnya pengetahuan tentang nutrisi tidak membebani orang Indonesia? Mungkin Anda termasuk salah satu yang mengalami sendiri bagaimana anak anak atau keponakan atau mungkin Anda sendiri lebih senang makan makanan ayam goreng siap santap atau burger
atau spageti dari perusahaan waralaba yang induknya di luar negeri.

Di sisi lain, setiap kali pula bawah sadar Anda selalu meneriakkan informasi di dalam
benak bahwa makanan seperti itu dari sisi gizi tidak seimbang.

Terlalu banyak lemak, terlalu banyak garam, kurang serat, dan seterusnya. Belum lagi muncul
perasaan, makanan itu tidak seenak buatan ibu atau ibu mertua atau mbok yang sudah ikut Anda bertahun tahun. Anda tidak sendirian dalam menghadapi hal ini.

Sebuah studi mengenai makanan dan perilaku makan di Asia yang dilakukan Ogilvy
Mather Asia Pacific pada awal tahun 2000 dan dipublikasikan akhir tahun lalu menunjukkan, makanan dan perilaku makan merupakan salah satu penyebab munculnya perasaan tert demografi di Jakarta dan dua grup kontrol di Makassar
menunjukkan, 94 persen dari responden berpendapat bahwa ibu yang pandai memasak
adalah kunci dari keluarga yang sukses.

Anda boleh tidak setuju dengan hasil studi ini, tetapi yang jelas konsekuensi pendapat tersebut ternyata memang membebani ibu. Para ibu itu mengeluhkan begitu banyak hal harus dikerjakan,
tetapi begitu sedikit waktu tersedia. Untuk memberi perbandingan tentang waktu yang dihabiskan untuk untuk urusan makanan, Ogilvy menyebutkan bahwa di Asia selain untuk tidur dan bekerja, urusan makanan menyita waktu terbanyak dalam
hidup. Bila dibandingkan dengan kegiatan tunggal seperti membuka Internet, maka
rata rata untuk satu jam waktu di Internet, orang Asia menghabiskan 80 jam
untuk urusan makan dan makanan.

Karena tekanan tersebut, banyak yang mencoba
mengandalkan pada solusi instan, namun studi ini menunjukkan hanya 25 persen
dari responden yang merasa apa yang mereka beli memiliki rasa asli. “Saya dan
suami sering harus makan di luar, tetapi ing merasa tertekan dengan perubahan
yang terjadi di sekelilingnya. Masyarakat masih memandang tugas ibu adalah
mengasuh generasi mendatang.

Kesimpulan Ogilvy, para ibu merasa tertekan untuk
memenuhi tuntutan anak anaknya yang terus meningkat terhadap rasa makanan baru
dan makin beragam, dan berjuang untuk mempelajari tentang jenis jenis makanan
baru dan mengkompromikan antara aturan baru tentang makanan dengan nilai
tradisi.

Ternyata, 77 persen responden mengaku tidak mampu memasak sepandai ibu
mereka. Sebanyak 70 persen responden menyebut makanan dari luar tidak baik
untuk kebudayaan, dan 89 persen responden berpendapat anak anak sekarang
terlalu banyak makan makanan junkfood.

Betapa besarnya peran dan bisa berarti
tekanan terhadap ibu dalam keluarga juga bisa dilihat dari para responden yang
melihat ibu adalah sumber informasi paling dipercaya untuk menentukan. Tetapi,
dari mana para ibu ini bisa memperoleh informasi tentang makan dan makanan yang
baik? Hampir seluruh responden berpendapat pemerintah harus leanan dan cara
makan (diet) saat ini lebih kurang sehat dibandingkan hanya beberapa tahun lalu
saja.

Meskipun media seperti majalah tentang makanan, majalah perempuan, program
televisi dan koran semakin menjadi sumber nasihat yang bisa diandalkan para
ibu, tetapi analisis isi terhadap media antara Desember 1999 Maret 2000 oleh
Ogilvy menunjukkan 90 persen dari informasi itu hanya mengenai resep.

Dengan gambaran di atas tidak heran bila para ibu merasa tertekan. Tuntutan terhadap
mereka sebagai orang yang berperan penting dalam rumah tangga masih begitu
besar, tetapi masih sangat sedikit sarana yang bisa membantu memecahkan
persoalan mereka.

(nmp)Hangtuah Digital Library

========================================
Pengirim : Loly
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *