Waktu tak pernah berhenti. sepertinya aku sudah berabad abad berada dalam pelarianku. Mengungsi dan mengungsi. Menjalani hidup di tengah belukar angkuhnya hutan beton. Dan pelarian ini sepertinya tak akan pernah usai.

Senja yang mencengkeram Jakarta seperti jubah hitam yang menutup hariku dengan kabar diam tentang tanah tumpah darahku yang bernama Ambon, Ambon Rusuh lagi. Dan aku ingat Doel sahabat karibku yang sampai saat ini masih bertahan karena memang dia tidak bisa kemana mana. Ingat dengan para pasukan jihad juga laskar kristus. Ingat pada mereka yang selalu berperang dengan segala keyakinan tentang sebuah jaminan hidup kekal di Surga karena membela agama.

Aku jadi ingat betapa semangat juang dan keberanian Pattimura pattimura muda telah digadaikan hanya untuk suatu keyakinan yang palsu. mereka mati muda. Mereka mati sia sia. Hidup berlangsung tanpa lagu dan suara tifa. Mereka, saudara saudara ku itu menjadi garang bahkan melebihi malaikat pencabut nyawa. Sebuah kesia siaan telah di tancapkan di atas tanah air mata hatiku.

Kubawa ingatanku kembali pada lembaran lembaran kenangan di pantai Natsepa dan kudapati merdunya deburan ombak musim barat di putihnya pasir yang menjanjikan persahabatan. Tentang lembutnya lumut di Puncak Salahutu yang selalu kudaki setiap akhir pekan bersama kawan kawan pecinta alam atau sendiri atau hanya berdua dengan kekasihku dengan segenap kemesraan yang membara.

Akh, aku berkhayal tentang Ambon. Di sebuah halte dekat lampu merah simpang empat Megaria, aku melayang menuju ke masa lalu. Pada suasana Ambon yang indah dan manis, yang bila musim cengkeh selalu menebar aroma yang semerbak dan harum bunga pala.

Lalu angin laut, kelepak burung camar, ombak pecah di bibir pantai, gemericik suara perahu membelah ombak ketika menyeberangi teluk ambon, indahnya nyanyian dalam alunan gitar dan merdunya suara tifa mengiringi tembang kapata. Dalam suasana seperti itulah dulu aku pernah menemukan hidup dan keakuanku. Lalu malam habis dalam keremangan nyala lampu jalan yang genit.

Aku mencari petak petak masa lalu dari perempatan, dari ujung gang yang sempit, dari warung warung nasi, dari pangkalan ojek, dari sumpeknya pondok pondok kecil mesum di kalimalang dari erang perempuan nakal di silang Monas. Malam begitu menyudutkan aku dengan udara dinginnya. Masih kutelusuri jalanan kota Jakarta yang pernah membuatku tenggelam dalam pelukan bidadari senja kala.

Dinginnya malam ternyata membuatku harus kembali ke bilikku menjumpai Istri dan anakku yang selalu kucintai dengan segenap perasaanku. Dalam kamar, kubuka koran sore yang kubeli ketika melewati pertigaan Salemba dari seorang pengecer. Kugauli huruf demi huruf, halaman demi halaman dari koran koran yang setiap hari memberitakan persoalan tetek bengek yang terjadi di negeri ini secara pragmatis tenpa solusi dan membakar.

Judul judul, anggel anggel yang sepertinya tidak pernah mau aku sentuh, sebab hanya akan menjadi statistik jumlah kematian di Aceh, Papua, Maluku, Poso dan lainnya. Sebenarnya aku ingin menjadi wartawan dan menulis laporan laporan itu, tetapi aku tidak mau berurusan dengan para editor angkuh dan redaktur kolot yang tidak paham tentang sisi lain dari dunia pers, sisi lain dari dunia jurnalisme yang tidak hanya mengekspose kekerasan dan memformat berita dengan satu perspektif tunggal atau entah apalah namanya Aku ingin menjadi wartawan atau bila perlu pemimpin redaksi bahkan pemilik media sekaligus seperti yang lain.

Aku ingin ide ide ku tentang jurnalisme solusi, jurnalisme perdamaian tentang keberagaman, tentang multi kulturalisme di Indonesia tentang akar konflik yang terjadi di Maluku, Aceh, Papua Poso tentang kekerasan polisi atau militer dimengerti oleh mereka. bahkan aku ingin agar segala persoalan yang ada di otak kepalaku yang kotor ini dimengerti oleh mereka. aku ingin mereka mengerti semuanya bahwa jurnalisme kita selama ini salah dalam melaporkan kejadian yang terjadi di masyarakat. Aku ingin agar pers di tanah air kita ini mau berubah dari paradigma lama.

Dimana hanya mengandalkan cek an ricek, 5W 1H serta sejumlah teori lapuk lainnya itu sudah usang dan ketinggalan.. Aku juga sebenarnya pengen sekali hidup secara normal. Tidak seperti saat ini, dalam status pengungsi yang serba kekurangan dan serba prihatin. dengan pekerjaan yang sat ini aku geluti rasa takut kadang membayang bayang di pelupuk mataku, aku ngeri kadang nyali ku ciut, takut sesuatu terjadi padaku.

Terkena Molotov atau batu di jalanan atau terkena tembakan gas air mata atau peluru karet, atau panah dan parang di suatu tempat, bahkan mungkin peluru aparat dan bisa saja aku diculik. Belum lagi bom serta bentuk terror yang lain, yang setiap saat siap menghantarkan maut menghampiriku dalam kesendirian di kota Jakarta yang anggun dan sombong ini, menghantar hidupku menuju tidur panjang yang damai, tentram tanpa ada kekerasan.

Hal mana seperti yang aku rasakan sebelum kerusuhan merobek robek kotaku.Tapi toh hidup dalam segala ancaman seperti yang aku alami dua tahun terakhir di Ambon nyatanya berulang kembali di sini..

Lalu apa kini kurasa ? Segala macam keindahan dan kemolekan tubuh kota Ambon yang biasa kususuri sepanjang malam dengan sepeda motor Yamahaku itu justru menjadi asing dan angker bagiku. Menjadi aneh, meski masih ada sisa kebiasaan lama yang tetap kulakukan di Jakarta ketika bangun pagi, menyalakan rokok, menghirup asapnya dalam dalam lalu menghembuskannya sambil membayangkan warna keperakan langit yang tak mungkin ku dapat di Jakarta yang langitnya pudar tertutup asap pabrik dan kendaraan.

Aku heran, di tanah yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum bernyanyi dan menari itu, entah kenapa orang orangnya menjadi sedemikian bengis dan sadis. Mengapa orang orang yang penuh dengan cinta dan kasih sayang itu mengoyak pagi dengan desing peluru, dengan suara jeritan anak anak dan ibu ibu, dengan amis darah dengan kesombongan dan keangkuhan. Aku tidak tahu kenapa mereka masih saja seperti itu.

Dan pagi yang kutemui di Jakarta tidak juga berbeda dengan itu semua. Kutatap langit langit kamar, kuletakkan koran sore yang hanya aku bolak balik tanpa menyimak isinya itu. Aku ingat Ambon Manise, Ambon yang kini menangis yang dirudung air mata.

Aku tak pernah tahu denga pasti ada apa lagi di kotaku itu, selain dari laporan para jurnalis yang tentunya menyajikan fakta secara terpenggal penggal, sepotong sepotong sesuai kepentingan golongannya serta tidak lupa menyelipkan opini di dalam hasil liputannya. Aku hanya bisa meraba dan menduga tanpa pernah bisa tahu kepastiannya.

Entah kenapa, kulihat wajah bekas pacar berdesing melewatiku. Melesat diantara sinar lampu neon yang keputihan. Lalu menari dipuncak puncak gedung yang tinggi menjulang, yang dibangun hanya untuk dihuni oleh makhluk bernama manusia selama 8 jam sehari. Kulihat dirinya tersenyum kearahku, entah perempuan ku yang keberapa aku lupa dalam ketersamarannya. dan ingin ku nyanyikan sebuah lagu untuknya, tetapi sayang aku lupa lagu apa yang akan ku beri.

Aku lupa dia perempunku yang keberapa, yang biasanya kukirimi lagu apa. Sia sia membangun angan dan ingatanku tentang dia di ruang hampa. Apakah ada artinya untuk dia ? Kuambil kembali koran sore yang tadi kubuang di lantai, aku tidak bisa tidur dengan terlalu banyaknya beban di kepalaku. Ku buka di halaman paling belakang sebuah laporan dari kota Ambon. � ��.

Kerusuhan kembali melanda tanah Maluku, sebuah desa diserang oleh masa dari salah satu kelompok yang bertikai, seluruh isi desa hangus terbakar rata dengan tanah, sekitar 3500 rumah dan sejumlah bangunan lainnya hangus dilahap si jago merah, termasuh lima rumah ibadah dan tiga bangunan sekolah. Lima ratus orang dilaporkan tewas dalam kerusuhan tersebut.Sementara kira kira seratus lebih penduduknya yang selamat, terpaksa mengungsi dengan pakai di badan �.�

Dari balik tirai jendela yang kubuka karena gerah dengan udara Jakarta yang pengap, kulihat malam begitu kelam seperti ikut bersedih. Kulihat jam di atas lemari kayu yang sudah lapuk, waktu begitu lama bergerak. Aku bertanya tanya. Sedang apa orang orang di Ambon saat ini ? Jika aku malam ini ada disana bersama mereka, apa yang juga sedang aku lakukan. mungkin aku sedang mewawancarai salah seorang tokoh masyarakat atau salah seorang ibu di tempat pengungsian ataukah aku sedang asyik mancing di pantai Batumerah. Sebenarnya aku lebih ingin bertanya kepada mereka.

Apakah mereka pernah berpikir bahwa apa yang saat ini mereka rasa, juga dirasakan oleh saudara mereka yang lain yang kebetulan berbeda agama. Apakah mereka pernah berpikir bahwa mereka sama sama menderita. Apakah mereka merasakan penderitaan yang hebat ? apakah mereka merasakan kesedihan ?

Rasanya aku ingin cepat cepat mengepak barang barangku lalu berlari pergi dari Jakarta, dan pulang ke kotaku. Tetapi itu tak mungkin. Hal yang bisa kulakukan saat ini hanyalah merasakan penderitaan di tanah orang dan memandang dengan pilu, dengan penderitaan, dengan kesedihan dan duka yang mendalam tentang tanah Maluku, tentang ayah ibuku, tentang saudara saudaraku, tentang sahabat karibku, juga jiwa jiwa yang melayang, tentang perempuan perempuanku juga diriku sendiri tentang kota kebanggaanku, kota Ambon Manise yang masih tenggelam dalam duka dalam luka yang kian menganga.

Jakarta, November 2000

========================================
Pengirim : Dino F. Umahuk
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *