Orang Gila Bercengkrama
[Kalibata, 1996]

Gila (ga) : bumi gempa
Gelo (go : alamiah
Ga : langit beragama warna
Go : fatamorgana
Ga : bangsa kita pecah
Go : agar dewasa
Ga : para pemimpin yang memicunya
Go : bukan masalah
Ga : kita ikut yang mana?
Go : jangan ikut ikutan
Ga : tapi mereka sikut sikutan
Go : tidak, mereka cuma cari makan
Ga : kalau aku ikut yang tua?
Go : yang muda akan tua
Ga : kalau aku ikut yang muda?
Go : yang tua pernah muda
Ga : yang tua punya pengalaman
Go : yang muda punya pengamatan
Ga : masing masing membangun “rumah�nya
Go : berarti bukan tuna wisma
Ga : siapa sih, yang benar?
Go : yang takut pada Tuhan
Ga : masing masing bicara tentang Tuhan
Go : Tuhan tak butuh dibicarakan
Ga : masing masing mencintai Tuhan
Go : belum tentu dicintai Tuhan
Ga : tapi mereka kenal Tuhan
Go : kapan mereka berkenalan?
Ga : Tuhan kan, selalu mengenal
Go : manusia selalu sok kenal
Ga : mereka menyembah Tuhan
Go : Tuhan yang ada dalam pikiran masing masing
Ga : mereka membaca kitab suci
Go : kitab sucinya interpretasi
Ga : mereka sama sama mengakui nabi
Go : apa nabi mengakui mereka?
Ga : ah
Go : ih
Ga : sampai kapan mereka musuhan?
Go : sampai damai
Ga : akankah mereka damai?
Go : akan, tapi malu
Ga : malu sama siapa
Go : mungkin sama kemaluannya
Ga : heh, kamu jorok
Go : apakah itu jorok?
Ga : pasti
Go : kamu tak suka dengan itu?
Ga : itu jorok
Go : kalau tak ada itu, kamu belum tentu ada
Ga : seandainya aku bisa mengerti…
Go : manusia selalu bisa
Ga : tapi perlu waktu
Go : hanya Tuhan yang tak dibatasi waktu
Ga : bagaimana kalau mereka kita pertemukan
Go : untuk apa?
Ga : musyawarah
Go : mereka ahli musyawarah
Ga : memecahkan masalah
Go : apakah buat mereka itu masalah?
Ga : buktinya saling memaki
Go : memaki diri sendiri
Ga : buktinya saling cari pengaruh
Go : apakah kamu tidak sedang mempengaruhiku?
Ga : kita mesti menyidang mereka
Go : mereka jago bersidang
Ga : harus kita hakimi
Go : mereka paling kuasa menghakimi
Ga : lalu bagaimana?
Go : biarkan masing masing mengurus diri
Ga : kamu ikut yang mana?
Go : sudah jelas jawabannya
Ga : kamu benci yang mana?
Go : semua sebangsa
Ga : kamu tak punya sikap
Go : ini sisa sikapku satu satunya
Ga : sikap orang gila
Go : berarti kita semua gila
Ga : kamu lebih gila
Go : masih ada yang lebih sok gila
Ga : kalau salah satu ada yang menang?
Go : memang mereka ikut lomba tujuh belasan?
Ga : mereka ingin mengubah tatanan
Go : sedang main negara negaraan
Ga : tapi kamu juga ikutan
Go : tapi tidak ikut ikutan
Ga : kadang kamu berperan
Go : tapi tidak main negara negaraan
Ga : lalu apa?
Go : mentaati kepemimpinan
Ga : kamu punya pemimpin?
Go : mungkin masih
Ga : siapa?
Go : pemimpinku
Ga : orangnya bagaimana?
Go : kroniku
Ga : apakah aku kenal?
Go : itu bukan pertanyaan
Ga : ehm…
Go : cuih
Ga : lalu bagaimana akhirnya mereka?
Go : mereka atau kita?
Ga : mereka
Go : mereka berarti kita, kita berarti mereka
Ga : walau mereka salah?
Go : siapa yang tak pernah salah?
Ga : akhirnya bagaimana?
Go : tunggu saja sampai berakhir
Ga : kosmos?
Go : bisa jadi
Ga : chaos?
Go : bisa jadi
Ga : kenapa bisa jadi?
Go : tergantung kita ingin yang mana
Ga : aku ingin kosmos
Go : hanya iblis yang ingin chaos
Ga : kalau manusia?
Go : bisa ikut Tuhan, bisa ikut iblis
Ga : kamu ikut siapa?
Go : pertanyaan paling bodoh selama hidupku…
Ga : …
Go : kamu sudah makan?
Ga : aku lapar
Go : ayo, kita makan
Ga : kalau orang orang bertanya tanya?
Go : jawab saja apa adanya
Ga : apa adanya seperti apa?
Go : seperti cengkrama kita…

Mana yang Kamu Pilih
[Cengkareng, 1996]

Tentukan, mana yang kamu pilih
Ulama yang mencari harta,
Hartawan yang melelang agama,
Cendikiawan yang ingin berkuasa,
Penguasa yang mengobral cinta,
Seniman yang buta
Tentukan, mana yang kamu pilih

Air
[Kalibata, 1996]

Tak mudah mencari air
Sebab segalanya telah mencair
Rasa, mencair
Nafsu, mencair
Pikiran, mencair
Batu, mencair
Pohon, mencair
Keris, mencair
Bom, mencair
Patung, mencair
Mantera, mencair
Syair, mencair
Khutbah, mencair
Ideologi, mencair
Paku, mencair
Pisau, mencair
Tai kucing, mencair
Pisang goreng, mencair
Hanya satu yang tak mencair,
Air

Bumi
[Bekasi Timur, 1996]

Gempa tengah terjadi di bumi
Ini bukan yang pertama dan terakhir
Jadi tak perlu ada lara
Tak perlu terpana

Bumi ini sudah terlalu tua
Cukup muak mereka mewadahi kita
Mengertikah kalau ia meretakkan dirinya?

Retak
Jadi bukan terbelah dua
Retak
Tak bisa diartikan dengan angka
Retak
Karena otak tak lagi bernyawa
Retak
Karena nafsu dijajah amarah

Bangsa ini
[Pasar Jum’at, 22 Maret 1994]

Ada yang bercinta
Padalah tak mengenal cinta
Lalu apa?
Pelampiasan nafsu semata

Katanya alamiah
Yang ku tahu, alam itu bersih
Alam adalah keharmonisan suci
Alam tak memikirkan nafsu sendiri
Untuk dipuaskan seutuhnya

Kala onggongkan daging berwujud manusia
Sedang berdua dengan temannya
Banyak molekul hitam bermuatan nafsu
Diawali dengan kesempatan, kesepakatan,
Dan akhirnya adalah justifikasi

Teman teman
Mari kita kembali di dalam sujud
Merasakah nikmatnya khusyu’
Lepaskan saja cinta birahimu
Gantikan dengan suara jiwa

Bangsa ini masih memerlukanmu
Bangsa ini merindukan cinta sejati
Bangsa ini mengharapkan kasih sayang
Bangsa ini membutuhkan keharmonisan kolektif
Bangsa ini bosan dengan teriknya cuaca
Bangsa ini muak dengan derasnya janji
Bangsa ini haus kepedulian
Bangsa ini lapar perhatian
Bangsa ini bangsa kita

Dengarkanlah suara jiwamu
Dia mau bicara padamu,
“Selama ini aku kau lupakan
nafsu kau anggap nurani
lalu bagaimana dengan ku?�

Dengarkan suara jiwamu yang sekarat dibekap nafsu
Hampir tak dapat bernapas lagi

April
[Pasar Jum’at, 14 April 1993]

Waktu kita hanya tinggal setetes air dai langit ke bumi
Apakah akan tetap bersembunyi di beningnya lautan?
Tak adakah nyali untuk meninggalkan
Jubah yang selama ini menyelimuti jiwa

Setelah
[Mampang, 3 Desember 1992]

Satu saat kelak
Kau akan bicara padaku
Dan,
Kau lupa mengenakan
Topengmu

Kisah Manis dari Negeri Antah Berantah
[Mampang, 18 Desember 1992]

Dan berkumpulah mereka dalam satu aula
Yang lebih pintar,
Yang lebih bodoh,
Dan yang diantaranya
Yang hitam,
Yang putih,
Juga yang samar menyamar
Yang baru,
Dan yang sudah lama… menunggu
Katanya mau mendengar
Cerita yang jadi petuah
Petuah yang jadi cerita

Dan tibalah pejabat pejabat teras di tengah tengah mereka
Yang lebih tinggi,
Yang lebih rendah
Dan yang di antaranya
Yang hitam
Yang putih,
Juga yang samar menyamar
Yang baru,
Dan yang sudah lama… pengalaman

Katanya mau bicara
Tentang kemarin, kini, dan esok
Tentang keharusan yang harus
Tentang apa yang mesti dikerjakan
Tentang pelarangan yang dilarang
Tentang apa yang mesti ditinggalkan
Puas mereka bicara
Puas mereka mendengar
Harus puas
Lalu pulang

Yang menunggu maupun yang pengalaman
Entah apa yang mereka dapatkan
Aku tak tau
Jangan tanyakan padaku

Penteras penteras tiba dalam satu istana
Lakukan yang dilarang
Lupakan yang diharuskan
Bibir mereka saling beri senyum
Hati mereka saling mendebat
Tak mau tahu kalau rakyat melihat
Tak tahu kalau rakyat menggeliat

N.B. Aku muak dengan lingkaran

Untuk Anak Kecilku (I)
[Tegal Alur, 14 Agustus 1991]

Kedamaian ada
Ketika
Sedang tidur

Untuk Anak Kecilku (II)
[Tegal Alur, 14 Agustus 1991]

Kenapa kapal besar itu bisa tenggelam?

Untuk Anak Kecilku (II)
[Manggarai, Januari 1993]

Pohon kelapa itu beruas ruas
Sedang hujan hanya turun dari langit

Sesekali
[Mampang, 28 Oktober 1992]

Sesekali
Wajah kita kusam bagai gelapnya malam
Sesekali
Wajah kita cerah bagai mentari di tengah masa
Sesekali
Kita lupa bicara dengan siapa
Sesekali
Kita lupa dengan siapa harusnya bicara
Sesekali
Kita lupa berhadapan dengan siapa
Sesekali
Kita lupa dengan siapa harusnya berhadapan
Sesekali
Semua hanya sesekali,
Tak pernah salahkah kita?
Sesekali
Adalah kewajaran,
Selalu benarkah kita?
Sesekali, hanya sesekali
Dan kewajaran selalu jadi penyelesaian
Lalu seperti apakah kebodohan

Suhartadi “penyair langit� Teddy Malik

========================================
Pengirim : mataharitimoer
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *