Dalam lanjutan diskusi tentang penilaian atas karya sastra seorang rekan mengajukan tema berikut ini: �Apakah yang sesungguhnya membedakan sebuah karya sastra dengan karya yang tidak bernilai sastra� tentu saja tema itu kembali mengundang perdebatan seru. Mengenai pertentangan dalam menilai sebuah karya sastra pernah saya sampaikan dalam tulisan saya sebelumnya (lihat: Pertentangan Dalam Memahami Dan Menilai Karya Sastra). Dalam kesempatan ini saya ingin lebih banyak mengulas tentang karya yang tidak bernilai tersebut.
Batasan mengenai sastra (kesusasteraan) dapat di pakai sebagi langkah pertama kita berpijak, kesusasteraan adalah karya tulis yang memenuhi ketentuan orisinalitas, artistik atau keindahan, baik dalam isinya maupun pengungkapannya sehingga mampu menggerakkan jiwa penikmatnya. Sebagaimana saya ungkapkan dalam tulisan saya terdahulu masih ada beberapa konvensi yang harus dipahami dalam memberikan sebuah penilaian dan tentu saja karya yang tidak bernilai adalah karya yang mengingkari konvensi konvensi tersebut dan sekaligus juga bertentangan dengan nilai nilai kebenaran universal yang diemban oleh sebuah karya sastra yang baik.
Karya sastra tanpa nilai sastra itu biasa disebut juga dengan kitsch. Menurut Sapardi Djoko Damono, kitsch adalah merupakan karya tiruan yang mengambil bahan dari kebudayaan yang sejati di mana karya tersebut hanya menuruti selera masyarakat luas namun tidak peka lagi terhadap inti kebudayaan tersebut, dengan kata lain kitsch adalah semuah imitasi dari hasil kebudayaan kesenian kesusasteraan sejati dan dipergunakan semata mata untuk kepentingan diri sendiri penulisnya. Kalau saya boleh mengutip kembali pernyataan Aristoteles bahwa semua karya yang baik harus mengandung �kebenaran universal� Disini jelas bahwa kitsch sebagai sebuah tiruan (imitate) telah mengingkari kebenaran universal itu karena imitasi berarti pula palsu (fake) yang tidak memiliki nilai orisinalitas.
Umumnya karya karya kitsch muncul dari dorongan budaya instant tanpa motif dan kalau pun ada motif pastilah motif yang dangkal semata mata untuk kepentingan tertentu dari penulisnya. Kitsch muncul sebagi slogan atau jargon sebagai corong kepentingan, di mana muatan estetis dan budaya diabaikan oleh karena muatan slogan itu menjadi yang lebih penting. Karya muncul sebagai sebuah ungkapan klise yang terlampau umum atau bahkan terlampau verbal di mana realitas tampil na�f apa adanya dan tidak kita temui benih benih kreativitas di dalamnya. Sajak di bawah ini karya Agnes Veronica yang saya ambil dari antologi Dian Sastro For President 2 Reloaded bisa kita pakai sebagai contoh:
Sebuah Buku Catatan
Karya Agnes Veronica
Ada sebuah buku catatan
yang menyimpan apa yang kubutuhkan
Kata orang aku harus mencatatnya
sebelum matahari terbenam
sebelum semuanya menghilang
Ada sebuah buku catatan
yang ketika kuisi dengan semua harapan
dengan semua pikiran terbaikku
harus kuhapus begitu selesai kutulis
Sebab katanya lagi,
matahari akan terbenam
bila tulisan itu tidak segera kuhapus
Ada sebuah buku catatan
yang tetap kosong
walau tersentuh dan terbuka suatu ketika
Sebab pemiliknya tidak tahu
Apakah harus terisi atau kosong
Apakah matahari harus tenggelam
atau tetap berada ditempatnya
Apakah orang orang tidak marah
jika gelap melanda?
Sesungguhnya��.
Aku butuh sebutir aspirin
bukan sebuah buku catatan kosong
Sebab
Matahari akan tetap terbenam juga�..
Banyak hal hal yang tidak konsisten dalam karya di atas dan ungkapan ungkapan yang bagi pembaca menjadi tidak jelas maksudnya karena si penulis pun tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Pertama tama sajak ini bertumpu pada sebuah realitas, karena sulit bagi kita untuk mengandaikan bahwa catatan itu dan terbenamnya matahari itu adalah sebuah �style� sebuah ungkapan puitis yang mengandung metafora atau simile tertentu akan tetapi realitas itu sendiri bertolak belakang dengan penalaran sebagaimana dalam bait pertama bahwa kata orang: aku lirik harus menulis catatannya sebelum matahari tenggelam sebelum catatan itu hilang tapi dipertentangkan dengan bait ke dua di mana katanya (orang) lagi matahari akan terbenam bila tulisan itu tidak segera dihapus oleh si aku lirik. Dari sini sajak itu seolah mengajak pembaca ke arah mistis: siapa yang dapat menentukan terbenamnya matahari? Namun pada bait ke tiga justru si aku lirik tidak tahu apa yang harus diperbuatnya pada ungkapan sebab pemiliknya tidak tahu, dan dalam bait terakhir sajak ini semakin terlihat seberapa bobot sajak ini di mana si aku lirik ternyata cuma membutuhkan aspirin dan bukan sebuah catatan karena toh matahari akan terbenam juga. Sebuah karya yang berawal dari miskinnya gagasan dan berakhir dengan nonsen. Inilah contoh kitsch yang saya maksud di mana karya ini tidak mencerminkan kebenaran universal dan penulis gagap dalam menyampaikan gagasannya bahkan kita tidak menemukan adanya sebuah lentik gagasan pun di situ.
Sajak yang baik tidak pernah berawal dari kekosongan, selalu ada lentik pemikiran, ada selubung misteri yang melingkupinya dan misteri itu menimbulkan multi penafsiran sehingga cita rasa keindahan itu mampu menggerakkan jiwa pembaca dari yang imanen hinga mampu bergerak ke arah yang transenden. Karya yang tidak mampu menggerakkan kesadaran dan hanya berhenti sebagai sebuah teks yang verbal tanpa bobot atau nilai sastra tidak akan mampu menciptakan riak dalam diri pembaca.
Dalam kitsch tidak kita temukan adanya visi, motif, dan olah kreatif yang mampu menunjukkan karakter penulisnya, karena itu kitsch sering muncul dalam sajak sajak untuk kepentingan agitasi, slogan corong kepentingan kelompok tertentu, juga dalam puisi puisi gagu yang tidak mampu merefleksikan pemikiran penyairnya, miskin kata kata dan miskin gagasan, puisi berhenti sebagai bunyi tanpa adanya koherensi ke arah pemaknaan, juga dalam sajak yang tampil terlampau lugu tanpa adanya suatu �style� sebagaimana karya puisi di atas sehingga tidak kita temukan adanya suatu kiasan, metafora yang meningkatkan apresiasi atas karya itu.
Juga karya karya eksperimental yang tidak di dukung oleh struktur budaya dan penalaran yang jelas. Dalam kecenderungan puisi modern yang lebih mengarah ke prosa kita juga temui kitsch dalam karya karya padat kata tapi tak mendukung makna dimana kata kata ditumpuk sedemikian rupa tapi tidak jelas hubungannya antara satu dengan yang lain tanpa adanya upaya meneguhkan makna sajak secara keseluruhan. Juga sajak yang tidak menunjukkan totalitas yang sublim, utuh, intens, dan mampu mendorong hasrat penulis menuju �pathos�sebagai cerminan puncak kreativitas berkarya
Dalam genre lain kita temui cerpen atau novel yang semata mata mengejar popularitas dan aspek ekonomisnya semata, karya demikian begitu mudah jatuh menjadi kitsch apabila terlampau mengedepankan melodrama, romantisme semu dan hanya menjanjikan mimpi mimpi, karena karya semacam ini pun mengingkari hakekat kebenaran universal itu. Begitu pula dengan karya karya yang tidak menampilkan orisinalitas gagasan atau pengungkapan dan tidak ditemui jejak jejak kreatif di dalamnya. Dalam cerpen atau novel kita bisa temukan karya tanpa plot yang jelas, tanpa penokohan yang berkarakter, kejadian kejadian yang serba kebetulan, komedi yang tidak lucu, parody yang tidak mengesankan serta tidak adanya konflik dan penjiwaan, semuanya berakhir dengan serba gampang, permasalahan terselesaikan begitu saja, alur cerita serba mudah di tebak, stereotype, tidak imaginatif, realitas yang diungkapkan terlampau lugu dan melodaramatis yang berakhir dengan murahan. Terlebih lagi karya karya yang jelas jelas merendahkan atau bahkan melecehkan derajat kemanusiaan, menghindari kebenaran serta tidak mengajak pembaca untuk belajar menjadi arif tapi justru menjerumuskan kepada kebebalan dan kedunguan adalah karya karya dalam kategori ini.
Akan tetapi apakah karya karya demikian sepenuhnya salah, tak bernilai, dan dapat kita cap sebagai sampah? Barangkali itu akan menjadi topik perdebatan berikutnya mengingat dalam derasnya arus budaya pop sekarang ini selalu terbuka berbagai macam kemungkinan, semuanya berpulang kepada pembaca, karya macam apa yang ingin dibacanya. Dan seperti yang disinyalir oleh Seno Gumira Ajidarma, dalam masyarakat yang nyaris tidak memiliki budaya membaca tulisan macam apa pula yang bisa dianggap bernilai? Setidaknya masih ada yang dapat kita perdebatkan lebih lanjut.
Jakarta, Februari 2004
Oleh Titon Rahmawan
========================================
Pengirim : titon rahmawan
========================================