Seorang anak belasan tahun terduduk lemas di bawah pohon di pinggiran jalan. Matanya yang sayu tampak tengah mengamati antrian mobil di sepanjang jalan Wijaya, Jakarta Selatan.

“Mobil mobil mewah”pikirnya. Sejenak kuperhatikan matanya menerawang entah apa yang dipikirkannya, namun yang kutahu pasti ia sangat lelah. Itu bisa bisa dilihat dari seikatdannbsp; sapu lidi yang bertengger bersama tubuhnya di pohon rindang, juga seonggok sampah dalam sebuah
keranjang besar.

Kutahu, ia seorang penyapu jalanan yang setiap pagi tak pernah absen mengukur jalanan kota.dannbsp;dannbsp; Tak kuasa rasanya kaki ini terus
melangkah tanpadannbsp; berhenti menyapanya. Matanya yang sayu namun tajam itu
seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki kaki ini untuk tak terus berlalu.

Bukan, bukan mobil mobil mewah itu yang membuatnya menerawang, aku yakin, itu
hanya pelampiasan satu rasa yang sampai pagi ini ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.

“Sudah makan dik?”n ini, yakni sekedar ingin mendapatkan pujian atau perhatian dari sekeliling.Ah tidak. Takkan kubiarkan itu terjadi. Kulatih
wajah dan bibirku untuk bisa memancarkan senyum terindah yang menyejukkan.

Kurangkai betul betul kalimat yang semestinya keluar dari mulut ini agar tak menakutkannya lagi, dan kuayun ayunkan tangan ini seperti senam kesegaran jasmani yang entah sudah berapa tahun tak pernah kulakukan lagi, agar tangan ini
begitu ringan saat terhulur.

Ahaaa … hatiku berteriak, mungkin karena sudah
lama aku tak melakukan senam, sehingga tangan ini semuanya menjadi kaku. Tapi … bukan, bersedekah itu tidak ada kaitannya dengan rajin senam, olahraga, apalagi angkat berat. Berarti, untuk apa juga kulatih wajah dan bibirku tadi,
dan bersusah payah merangkai kata layaknyak seorang pujangga tengah menyusun syair keagungan hanya sekedar untuk menyodorkan sedekah.

“Ayo … ambil saja …” kali ini benar benar kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang
lebih ringan. Tentu saja tanpa melakukan lati
utuhkan sandaran itu. Cukuplah itu untuknya, aku tak ingin merebut lahan kesejukannya. Mungkin saja, selama ini hanya pohon itulah tempatnya bersandar, memperdengarkan keluhannya, menempelkan peluhnya, dan sesekali menjadi bantal tidurnya.

Ia sangat tahu, seandainya pohon itu memiliki tangan, pastilah kehangatan pelukannya senantiasa dirasai. Tapi bukankah Tangan Tangan Allah
bertebaran dimana mana? Saya yakin, keyakinan itulah yang menjadikannya terus bersandar di pohon ciptaan Allah itu, karena ia tahu, kapanpun, dimanapun ia memasrahkan diri, Allah selalu disana. Bersama orang orang yang lemah, memeluk anak anak yatim, dan sangat dekat dengan fakir miskin.

Tanganku masih terhulur. Ia tak segera menyambutnya. Hanya keraguan yang menyemburat dari wajahnya.

“Kalau saya ambil ini, mas makan apa?” Degg. Kali ini aku tak ingin menangis. Ingin sekali kupeluk dia. Aneh rasanya, di zaman seperti ini, saat banyak orang tak peduli lagi dengan kepentingan orang lainnya, diwaktu manusia yang satu mengan tak ada lagi senyum keikhlasan dari hati ini untuk bisa
duduk bersama denganmu”.

Aku teruskan langkahku tanpa menoleh kebelakang, ungkapan rasa syukurku terus terngiang mengiringi kelegaan dada yang tiba tiba
saja kurasakan, entah karena apa.

========================================
Pengirim : Emmy Widiastuti
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *