Ramailah media dan mulut orang bicara tentang Akbar Tanjung.
Akhirnya beliau diketemukan tak bersalah dan terbang bebas bagai merpati ke langit biru.
Orang ngamuk, tapi mau bilang apa?

Ada sesuatu yang salah.
Uang rakyat yang tadinya buat membantu rakyat kecil yang lagi parah disiksa masalah “SEMBAKO”, malah dipakai buat kampanye GOLKAR agar Mas Habibie bisa menahun jadi Presiden
Soeharto 32 tahun bercokol, ya paling tidak Mas Habibie perlu dong jadi TOP buat selusin tahun…
Diadili, dan akhirnya tak ada yang ngaku bersalah, tak ada yang dihukum karena bersalah dan yang lebih sedih lagi adalah tak ada makhluk yang bersalah.

Bagaimana bisa ada kesalahan, tapi tak ada orang yang bersalah.
Dengan kata lain tak ada anak manusia yang diketemukan bersalah.
Jadi siapa yang bersalah?
Yang bersalah tak bisa dilihat, tak bisa dipegang, tak bisa didengar, tak bisa dicium (Apakah dia termasuk ini itu yang busuk?).
Tapi yang salah bisa dirasa di hati rakyat kecil tanah ini.
Sayangnya mereka cuma bisa merasa tapi tak bisa bersuara.

Berita terbaru adalah 2 bawahan mereka ditangkap dan akan masuk Cipinang.
Walaupun bukanlah “Club Med”nya Tommy Mandala di Nusa Dua, sorry Nusa Kambangan, dijamin mereka tak akan bernasib kayak penjara Tanggerang.
Dimana katanya, orang masuk gemuk pulang tinggal tulang.
2 bawahan, 2 “ikan teri” jadi sajen buat nyelamatin yang kakap.
Inilah nasib sang teri.

Pak Soeharto lagi sakit sakitan, Tommy lagi diserang berbagai penyakit, sementara Pak Bob Hassan yang hobby nya maling, tak ada kabarnya.
Apakah ia segar bugar atau sudah ketularan wabah atau masih disana (Belum ke HK?), ya tak jelaslah.
Inilah negeri “HANTU”

Di negeri “HANTU” segalanya bisa invisible.
Sesuatu itu bisa terasa dan dirasa tapi tak bisa dilihat, tak bisa dipegang, tak bisa didengar dan tak tercium.
Orang disiksa disebut “dipermak”, orang ditempeleng disebut “dikipas” dan orang dibunuh disebut “diamankan”.
Orang jadi pembunuh disebut “PETRUS” dan para kriminal yang bisa dimanfaatkan disebut “PREMAN”.
Bahasa pun sedikit demi sedikit jadi bahasa “HANTU” yang punya makna berbeda dengan bahasa rakyat kecil.

Tak heran film, TV, buku atau cerita yang ber supernatural pada laku kayak pisang atau peuyeum goreng di Bandung.
Tak heran masalah sihir, jailangkung, dunia persantetan, guna guna dan ziarah ke makam mbah ini mbah itu selalu menarik dalam percakapan warung kopi.

Inilah gejala gejala yang mengganggu.
Apakah kita mau hidup di negeri “HANTU”, jawabnya ada di tangan kita.
Apakah kita cuma bisa pasrah, sadrah, nrimo dan menyerah pada HANTU dan siap untuk tidak berbuat apa apa?
Hanya hari esoklah bisa membuktikan apa yang kita perbuat.
Beginilah hidup di negeri “HANTU”
Jaga diri baik baik

2004

========================================
Pengirim : El Camino
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *