Sekali lagi saya hendak bertanya tentang kesetiaan. Benarkah kesetiaan itu ada ? bukankah kesetiaan hanya ada ketika tidak ada saksi dan bukti bukti ? . Ayah telah menikah (lagi) hanya berselang beberapa hari setelah saya berhenti menetek pada puting ibu. Tapi bagi ibu, ayah adalah sosok lelaki yang setia sebab tak ada saksi, apalagi bukti bukti yang berkhabar, bersiar bahwa lelaki itu telah menyetubuhi perempuan nya yang baru, terkulai lunglai, lalu mendengkur pulas di atas ranjang yang lain di ujung senggama yang masih basah.
�Kelak jika kau sudah dewasa, pilihlah laki laki yang setia memegang janji, seperti ayah mu �. begitu kata ibu ber petuah.
Setia ? petuah Ibu benar ayah memang pantas dan sangat layak dianggap sebagai pejantan setia. Ia begitu setia pada libido yang menggebu gebu, birahi yang tersengah sengah, menggelora, membabi buta, syahwat yang tak terbendung, hingga ayah harus meniduri perempuan baru di ranjang yang lain, menikah lagi. Ayah amat setia pada burung (nya) yang selalu saja menghentak, meronta ronta hendak keluar dari sarang yang berlumut, lalu terbang tinggi, setinggi langit yang tak terjangkau angan ibu, dan hinggap di ranting dahan pohon muda, berkicau, menyeracau. Konon, sejak ayah telah meniduri betina nya yang baru, betina yang tentulah asing di mata ibu, Ia jarang pulang menjenguk sunyi yang mengepung setiap celah ruang di rumah kami. Sesekali saja, hanya ketika ibu sudah mulai nyinyir bertanya tanya, sebelum tanya ber metamorfosa menjadi curiga. Katanya ayah tengah terbenam dalam kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, jadwal yang begitu ketat, meeting yang tak sudah sudah, dinas luar kota, seminar ke luar negeri, lokakarya. Bukankah ibu harus bisa memaklumi bahwa ketekunan dan keseriusan ayah pada pekerjaannya adalah juga sebuah pertanda kesetiaan pada keluarga ? pada ibu, pada kami, anak anaknya ?.
�Kelak jika kau sudah ingin menikah, maka pilihlah laki laki yang ulet, tak kenal lelah demi menghidupi keluarganya, seperti ayah mu (itu) � ibu membuncahkan petuah lagi. (mungkin bukan petuah, tapi nasihat, tepatnya)
Benar ayah memang pantas dianggap sebagai laki laki yang setia pada pekerjaannya untuk menghidupi sebuah keluarga. Keluarga yang mana ? keluarga yang lain, yang tidak ada ibu dan saya di dalamnya, keluarga yang asing, keluarga selingkuh. Keluarga yang absurd (bagi ibu dan saya)
Sekali lagi saya hendak bertanya tentang kesetiaan. Semestinya bagaimana kesetiaan bisa dipahami ?
�Ibu tak pandai merumuskan definisi nya, tapi jika kau ingin memahami kedalaman makna kesetiaan, maka hanya ada satu cara ; bercerminlah pada ayah mu�
begitu saja ibu menjawab setiap tanya yang terucap dari bibir saya.
Jawaban yang lugu (sekaligus dungu), jawaban yang polos (tapi keropos), tetapi juga jawaban yang jernih, sejernih hati ibu yang tak pernah memendam curiga pada kesetiaan ayah, laki lakinya, suami nya, bapak dari anak anaknya, (masih saja dipuja). Menikah ? Saya semakin geli bercampur ngeri dan ngilu ketika ibu tak lagi hanya sekedar latah menafsirkan makna kata setia, tapi sudah mulai menyentuh ranah kata yang lain, makna kata yang masih langka dalam khazanah kamus kamus bahasa yang saya baca. Seorang pencerita pernah menuturkan kepada saya bahwa, datang ke sebuah pesta pernikahan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Bukankah kita bisa menerima kematian dengan tulus, lapang dada, karena kematian adalah sebuah keniscayaan ? Tak ada alasan untuk menghindari kematian. Tapi pernikahan ? bukankah kita bisa menghindarinya ? kita punya pilihan bebas untuk tidak menikah. Kalau kita bisa bahagia tanpa pernikahan, kenapa harus menikah ? Menyedihkan sekali seseorang yang memilih pernikahan, padahal tak ada jaminan kalau ia akan meraih kebahagiaan. Bukankah Tuhan dan Yesus tidak pernah menikah, dan mereka bahagia. Pernikahan adalah produk kebudayaan paling dungu yang pernah diciptakan manusia.
Begitu sempurna pencerita itu mengutuk pernikahan yang pada akahirnya hanya menyemaikan benih bencana, dan tidak jarang menyulut musibah, bala bahkan menyebarkan bau amis kematian. Berpuluh tahun sebelum si pencerita itu membenci pernikahan, saya sudah membenamkan pernikahan (itu) di dalam rahim ibu yang tak jenuh bertanya (�Tidakkah kau ingin menikah ?�). Saya tidak hanya sekedar ingin menghindari pernikahan, tapi ingin memusnahkannya seperti lidah api memanggang daun ilalang kering di padang gersang, gosong jadi arang, lalu abu nya melebur bersama debu debu dihempas angin di ujung senja yang mendung. Saya tidak pernah bisa memahami makna kesetiaan, saya tidak ingin menikah, saya tidak ingin bahagia, tapi saya masih ingin tetap hidup, saya tidak mau mati.
�Kenapa Adam masih dikepung sepi di semesta taman sorga yang bermandikan cahaya ? hingga ia memanjatkan doa doa agar Tuhan menghadirkan Hawa di sisi nya ?�
�Kenapa ?�
Di titik inilah sejarah (itu) bermula, bahwa kelak bangsa laki laki harus hidup berpasangan dengan bangsa perempuan. Kelamin jantan harus ber adu dengan kelamin betina dalam sebuah sistem keberpasangan yang intim. Lalu bermula pula sejarah cinta, kesetiaan, pengorbanan, dan tak lupa dimulailah upacara pernikahan yang paling purba. Tapi kenapa semua orang harus saling berpasangan, harus saling bersama sama, membina rumah tangga ? Lalu kebersamaan mereka harus dipupuk dengan cinta, kesetiaan (lagi lagi kesetiaan) dan pengorbanan.
Kadang cinta hanya tumbuh se jeda saja sebelum ritual seremonial upacara pernikahan digelar, sebelum pengantin wanita membuka gaun ber motif renda renda di malam pertama, sebelum bercinta, bersenggama. Begitu pengantin wanita tak bisa disebut perawan lagi, maka cinta pun punah di cekik kegalauan hidup yang menempa, menerjang. Kesetiaan hanya ada dalam sajak sajak para penyair yang tak pernah dipercaya, sebab setia mereka hanya dalam rangkaian huruf demi huruf yang melahirkan kata, tak pernah membumi, utopia.
Pengorbanan ? bukankah pengorbanan yang sesungguhnya hanya datang setahun sekali di setiap bulan Zulhijjah, setelah shalat idul adha ? Tak ada pengorbanan dalam cinta, tak ada kesetiaan dalam cinta, sebab cinta, kesetiaan dan pengorbanan tidak pernah meng ada, kecuali dalam bait bait puisi hasil gubahan penyair patah hati, frustasi.
�Siapa yang mesti di salahkan dalam hal sejarah cinta, kesetiaan dan pengorbanan yang telah menciptakan bencana ? menyulut api dendam, kebencian, kekerasan, bahkan tidak jarang menyebabkan kematian ?�
�Tentulah Adam, sebab dialah manusia perdana yang mengobarkan api cinta, hingga Hawa pun menjadi bagian dari kehidupannya �
�Tidak adil jika menyalahkan Adam, justru Hawa lah yang salah, sebab ia tergoda pada bujuk rayu Adam, hingga terbentuklah kultur keberpasangan yang meresahkan.�
�Karena Hawa pula, akhirnya mereka harus ter usir dari taman sorga, tercampak ke semesta dunia fana�
�Iya, tapi salah Adam juga, kenapa memohon
do�a untuk kehadiran Hawa ?�
�Kalau begitu, yang salah bukan Adam dan bukan Hawa, tapi Tuhan. Karena Tuhan mengabulkan doa Adam yang merindukan Hawa.�
�Huss�..Tuhan jangan dibawa bawa �
Semestinya saya ber cermin pada Tuhan yang kekal dalam kesendirian Nya. Ia tak butuh perempuan, tak juga pernah mengantungkan harap pada laki laki. Tapi saya tidak bisa memastikan, apakah Tuhan bahagia ? Saya juga tak sungguh sungguh bisa membuktikan apakah kebahagiaan itu ada sebagaimana Tuhan meng ada. Andai saja Adam bisa mengaca pada kesunyian dan kesendirian Tuhan, tentulah ia tak mungkin mendambakan kelahiran Hawa. Adam tidak akan tercampak ke semesta jagad bumi, tidak ada libido, tidak ada birahi, tidak ada syahwat, tidak ada cinta, tidak ada pernikahan, tidak ada kesetiaan, tidak ada pengorbanan, tidak ada pemerkosaan (atas nama pernikahan), tidak ada pelecehan seksual, tidak ada pelacuran. Televisi juga tidak perlu menayangkan iklan iklan kondom, para ustazd juga tidak perlu memekik berceramah soal haramnya perselingkuhan. Ibu saya juga tidak perlu cerewet memberikan tips tips ringan dalam memilih jodoh, (supaya tidak salah pilih, seperti memilih kucing dalam karung).
Ayah saya tak kunjung lelah dari menikah, bercerai, lalu menikah lagi, bercerai lagi, lalu menikah, menikah dan menikah, seperti ayam jago yang tak bosan bosan (tak jera jera), seperti kucing yang malu malu tapi sungguh sungguh mau, seperti kuda yang selalu meringkik tanda perkasa, tak pernah kehilangan tenaga. Tapi Ibu saya tetap tercatat sebagai istri pertama yang tidak pernah di ceraikannya (meski selalu di tipu dan dikibuli nya dengan dalih setia). Konon, menurut ilmu Teluh yang dituntutnya, ayah boleh saja menikah dua, tiga, lima, delapan, sepuluh kali sepanjang perjalanan usianya asalkan ayah bisa bertahan untuk tidak menyia nyiakan perempuan nya yang pertama, ibu saya. Artinya, istri pertama (meskipun tak secantik yang ke dua, dan ke tiga dan selanjutnya) tidak boleh diceraikan. Harus tetap dijaga, dipelihara (paling tidak, ditiduri juga meski sekali sekali saja, di setubuhi juga jika kepepet)
�Kau harus setia pada yang pertama, mengerti �
�Kalau kau bisa setia (pada yang pertama), maka kau bisa menikahi perempuan mana saja, sekretaris mu (yang montok sintal bahenol itu), staf mu yang kuning langsat tinggi semampai, janda muda bekas istri konglomerat hitam, artis artis yang paling suka unjuk paha dan dada, para penganut mazhab feminisme yang sok tak mau menikah (tapi tetap membeli vibrator untuk keperluan masturbasi) atau perawan tua (namun kaya raya), yang tak sempat menikah karena karir, atau siapa saja. Pilih saja, jangan malu malu, mereka tidak akan menolak, pasti mau jika kau menginginkannya, pasti takluk di tangan mu �
�Bahkan (maaf, ini agak rahasia), kau juga bisa menikahi presiden (kalau kebetulan yang jadi presiden itu perempuan), tapi tolong jangan kau bilang pada siapa siapa, off the record, paham � kata guru teluh berbisik sambil melirik kiri kanan.
�Paham mbah, paham � jawab ayah santai
Ai�. alangkah girangnya hati saya jika kelak ayah menikah dengan ibu presiden. Ilmu Teluh tentu tidak peduli pada perempuan bersuami, ia akan menggasak perempuan mana saja asal ayah taat pada persyaratan (dari guru teluh nya), tidak menceraikan ibu saya, asal ayah tetap setia. Tanpa di sadari, si suami biasanya akan legowo mengikhlaskan istri nya (dinikahi) seperti mengikhlaskan uang ratusan juta rupiah untuk bantuan dana sosial bagi korban korban banjir di Jakarta. O..alah Apa yang akan terjadi jika ayah benar benar menginginkan ibu presiden ? Meskipun tidak akan bertahan lama, tapi paling tidak saya sudah pernah mencicipi nikmatnya hidup sebagai puteri presiden, sesaat merasakan asyik nya tata cara pelayanan khas istana, meski ibu presiden hanyalah ibu tiri saya, (ibu tiri yang kebetulan sedang menjabat sebagai presiden), ibu presiden yang tiba tiba menjadi ibu tiri (saya) karena mantra mantra ilmu Teluh.
Se jeda saya tentu bisa melupakan pertanyaan pertanyaan judes ibu tentang rencana pernikahan saya, tentang calon suami yang kunjung saya temukan, tentang umur saya yang sudah di ambang batas (kalau tidak menikah juga, saya sudah lazim disebut perawan tua, dan saya tidak boleh marah). Semoga ayah segera bercerai dengan istri nya yang sekarang (istri ke empat, baru menikah beberapa hari setelah istrinya yang ketiga mati mendadak karena diperkosa hantu Kolor Ijo) dan segera melamar ibu presiden ke istana. Tidak usahlah terlalu lama, paling tidak sampai masa jabatannya berakhir. Semoga ayah masih teguh pendirian, konsisten tidak menceraikan ibu saya, dan semoga ilmu Teluhnya masih ampuh, mumpuni, masih Ok punya.
Inilah saya yang sebentar lagi akan memperpanjang daftar perbendaharaan komoditas berita koran koran yang terbit di Jakarta, sebagai puteri presiden yang baru, puteri yang lain, puteri yang asing, puteri yang tiba tiba muncul berkat mukjizat yang disampaikan melalui ilmu Teluh.
�Sudahkah kau temukan laki laki yang setia seperti setia nya ayah mu pada ibu mu (ini) ?�
�Belum Bu seperti nya saya tidak akan menemukannya �
�Kenapa, Sayang �
�Karena satu satunya laki laki setia yang pernah saya temukan hanyalah ayah �
�Lalu �
�Saya tidak mungkin menikah dengan ayah �
�Kenapa, sayang ?�
�Karena ayah sudah menjadi milik ibu, laki laki ibu, pujaan hati ibu �
Ibu saya melongo.
Sekali lagi saya hendak bertanya tentang kesetiaan. Setelah tercampak ke dunia fana, apakah Adam setia pada Hawa ? Bukankah kesetiaan Adam hanya ada karena satu satunya perempuan yang hidup di dunia pada waktu itu adalah Hawa, istrinya. Zaman itu belum ada Sonia, sekretaris ayah bersepatu hak tinggi yang melenggang, melenggok lenggok dengan rok super mini dan dada menggelembung dari balik stelan blazer warna coklat tua, begitu menggairahkan, merangsang, syuuuur . Kali pertama ayah meremas pantatnya ia memekik ketakutan, tapi lama lama juga terbiasa, dan setiap tangan ayah meremas lagi ia malah memekik ketagihan. Belum ada juga Ningsih yang masih malu malu di traktir makan malam, tapi begitu di ajak check in sekali saja, minggu selanjutnya malah dia sendiri yang menawarkan diri untuk dikencani, ditunggangi. Belum ada juga Lusianna yang sok konsisten memegang teguh komitmen kesetiaan pada keluarga (tercinta), tapi begitu binal saat di ajak ayah ikut dalam satu kesempatan dinas luar kota. Jadi, tentulah Adam tak mungkin mendua sebab tak ada sesiapa di bumi yang masih suci, kecuali Hawa.
�Huss jangan menuduh Adam tak setia, kualat �
�O..tidak saya tidak menuduh, cuma ber andai andai saja �
�Lagi pula, Adam adalah ayah kita, Hawa adalah ibu kita. Adam dan Hawa, mereka berdua adalah ibu dan ayah peradaban manusia, dan kita anak anaknya, cucunya �
Ibu saya seperti Hawa yang tak pernah menaruh sak wasangka pada Adam suaminya. Mungkin juga ibu saya adalah reinkarnasi Hawa yang diciptakan Tuhan atas dasar cinta Nya pada Adam. Tanpa cinta Tuhan, mustahil Hawa meng ada. Cuma saja aku masih menyimpan satu pertanyaan lagi ; Sudah ada kah ilmu Teluh di taman sorga ketika Adam dan Hawa mereguk kenikmatan tak terkira (tak ruang, tak batas, tak waktu) di Taman Sorga ? (Saya kira), Ilmu Teluh sudah ada jauh sebelum Hawa diciptakan untuk memupus kesepian dan keheningan Adam. Hawa tergoda rayuan gombal para Iblis sehingga tanpa disadarinya ia telah memetik dan memakan buah Khuldi, buah terlarang yang bukan saja tidak boleh dipetik (apalagi dimakan), tapi juga terlarang untuk didekati, dihampiri.
Tersebab Hawa dan Adam telah khilaf, maka mereka berdua harus terbuang dari ranah sorga, tercampak ke semesta dunia fana. Bujuk rayu para iblis tidak mungkin ampuh, jika tidak menggunakan mantra ilmu Teluh. Itulah sejarah nenek moyang ilmu Teluh, sekaligus sejarah nenek moyang nya dosa manusia. Kelak di kemudian hari, setelah berpuluh puluh ribu abad usia bumi, ilmu Teluh diwarisi oleh seorang laki laki, dan kelak (laki laki itu) mewariskannya pada ayah saya. Ibu saya adalah korban pertama nya, sama seperti Hawa yang juga menjadi korban pertama Ilmu Teluh di ranah sorga.
Ibu saya yang semakin tampak menua, ringkih masih saja dililit gundah, resah, bukan karena ayah saya tak setia, tapi lebih disebabkan karena memikirkan malangnya nasib saya yang tak semestinya menjadi perawan tua, nasib yang sial, nasib yang apes, nasib yang keparat. Saya, anak perempuan ibu satu satunya tak kunjung menemukan jodoh (karena memang saya tidak pernah berusaha mencarinya). Ibu kuatir kalau sepeninggalnya saya tidak dapat meraih kebahagiaan, sebab saya tak mau menikah seperti (ibu) yang sudah mereguk bahagia (karena telah menikah). Mungkin juga ibu saya malu karena puteri nya bukan lagi gadis yang manja, pemalu dan imut imut, tapi perempuan yang telah melewati ambang batas usia (saat ini usia saya 38 tahun) hingga lazim disebut perawan tua, yang tak laku.
�Sejak dulu sudah ibu sarankan agar kau segera menikah, tapi kau selalu menggeleng�
�Kalau tidak mungkin mendapatkan laki laki setia seperti ayah mu, menikahlah dengan siapa saja, (asal dengan laki laki), asal kau tak menjadi perawan tua�
�Sekarang apa rencana mu, sayang ? atau jangan jangan sudah ada laki laki yang sedang kau tunggu ?�
�Kenapa diam, Sayang ? Sudah ada ya ?�
�Siapa laki laki itu ?�
Ibu, ibu Saya sudah mengaca pada keheningan, kesendirian dan kesunyian Tuhan. Ia tak pernah menikah, tapi tak pernah ada yang berani mengatakan kalau Tuhan perawan tua, sebab Tuhan bahagia, sungguh bahagia. Saya tidak ingin menikah, karena saya ingin menjadi (seperti) Tuhan. Seperti Tuhan yang tidak akan pernah (lagi) menciptakan Hawa untuk Adam. Seperti Tuhan yang semestinya memusnahkan keampuhan ilmu Teluh yang digunakan para iblis untuk menaklukkan Hawa hingga ia tergoda untuk memetik dan me makan, menelan buah terlarang. Seperti Tuhan yang sudah waktunya membinasakan nafsu, birahi, libido dan syahwat ayah, agar tidak (jadi) menikahi ibu presiden.
Saya heran, kenapa ayah tampak seperti mengulur ngulur waktu datang ke istana untuk melamar ibu presiden, mungkin karena masa jabatannya akan segera berakhir dan ayah kurang yakin kalau beliau akan menang lagi dalam pemilu tahun ini. Saya ingin menjadi seperti Tuhan yang seyogyanya tidak (lagi) mengizinkan kaum perempuan menjadi presiden (untuk periode pemerintahan yang akan datang), agar ayah saya tidak menikah lagi.
Simpang Bingung, Pekanbaru, Februari 2004
Muhammad Damhuri, M.Hum
Kolektor dan pekerja cerpen
Alumnus Program Studi Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Koordinator kelompok kajian filsafat �Rumah Kreatif� Yogyakarta
Suryodiningratan MJ II/713 Yogyakarta
Email : siblil_hazin@yahoo.com
Hp : 0813 6540 2329
Menulis artikel, essay filsafat, resensi buku dan cerpen di Republika, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Bernas, dll
Cerpen : Damhuri Muhammad
========================================
Pengirim : Muhammad Damhuri
========================================