Wiji Thukul yang kurus dan bermata sayu dilahirkan di Sorogenen Solo 26/8/1963.
Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga tukang becak.
Sejak SD ia gemar menulis puisi dan di SMP tertarik akan teater yang kemudian diteruskannya ke SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia).
Tapi karena tak punya uang, hanyalah sampai kelas dua saja…
Ia ikut Teater Jagat.
Bersama mereka ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota.
Demi memenuhi panggilan perut, dirinya jual koran, calo karcis bioskop dan jadi ukang pelitur di sebuah perusahaan mebel.
Bagaimanapun getir pahitnya hidup ia tak pernah kehilangan gairah untuk terus menulis, teater dan melukis dengan anak anak kampung tempat tinggalnya.
Wiji Thukul mengajak anak anak kampungnya bermain teater, menyanyi dan melukis bersama.
Ia ingin mengajari mereka melawan keterbatasan dan kemiskinan dengan mengenalkan mereka pada keindahan.
Bukankah keindahan ada dimana saja dan melampai batas batas kelas?
Bukankah kita semua bisa melihat kerdipan bintang di langit sepi, mendengar bisikan sungai atau lagu burung burung senja?
Dalam sebuah puisinya dikatakan:
Penyair.
Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang.
Jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah
Sarang Jagat Teater
19 Januari 1988.
Bukan main dedikasi Wiji Thukul dalam menulis curahan hati nurani yang terluka.
Dalam sebuah puisi tak bernama ia menulis:
Apa gunanya punya ilmu tinggi
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu.
Dimana mana moncong senjata
berdiri gagah kongkalikong
dengan kaum cukong…
Sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan.
Sajakku melawan kebisuan.
Disaat rakyat beraksi untuk gerakan reformasi melawan rezim ORBA nya Soeharto, siapa yang tak mengenang baris puisi “Peringatan” yang lantang bilang :”Apabila usul ditolak tanpa ditimbang.
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan.
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan.
Maka hanya ada satu kata : LAWAN ”
Puisinya yang berjudul “Satu mimpi satu barisan” berkata : “Tak bisa dibungkam KODIM.
Tak bisa dibungkam popor senapan.
Satu mimpi
satu barisan.”
Saat gelombang rakyat yang demo makin ngamuk, puisi Wiji Thukul menjadi lirik yang selalu berkumandang.
Kemudian terjadilah huru hara di kota Jakarta 27 Juli 1996.
Langit diatas Ibukota malam itu terbakar dan Wiji Thukul jadi buronan.
Bersama Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sujatmiko, ia (aktivis PRD) menjadi target utama.
Budiman Sujatmiko tertangakap, diadili dan masuk penjara.
Wiji Thukul sirna perlahan dari peredarannya.
April 2000 sang penyair masuk daftar orang orang yang hilang, missing in action tak ada yang tahu apa yang terjadi.
Ia meninggalkan isteri Dyah Sujirah dan 2 anak, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Pada tahun 1999 penyair Wiji Thukul memenangkan Wertheim Encourage Award.
Dan ditahun 2002 ia memenangkan Yap Thiam Hien Award dan puisinya terbit di luar negeri (dalam bahasa Inggris dan Belanda).
Bagaimana kisah sang penyair berakhir aku tak
tahu…….
Seandainya Wiji Thukul tak bisa bersuara dan menulis bersama rakyat lagi, puisinya akan terus hidup di hati yang rindu akan keadilan dan kebenaran.
Seperti dikatakannya : “Tak bisa dibungkam KODIM.
Tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan.”
Mengenang Wiji Thukul 2004.
========================================
Pengirim : Lasma Siregar
========================================