Ketika kecurigaan, prasangka, dan egosentrisme melanda dan korban berjatuhan di mana mana, ada saja orang yang menyediakan diri untuk menolong orang lain tanpa mementingkan diri (altruisme).
Apa yang melatarbelakangi sikap semacam
itu? Di antara berbagai kisah mengenaskan yang muncul sejak peristiwa pemboman di Bali beberapa waktu lalu, media massa juga memberitakan adanya orang orang yang datang dan menyediakan diri sebagai sukarelawan menolong korban. Para
relawan itu datang bukan hanya dari berbagai daerah di Bali sendiri, termasuk para turis yang sedang berlibur, melainkan juga dari berbagai negara.
Ada yang begitu menyaksikan peristiwa tragis itu di TV langsung memesan tiket dan mengurus dokumen perjalanan lalu berangkat ke Bali menjadi relawan. Di sana mereka membantu mengurusi mayat, membantu merawat yang terluka, membantu masyarakat yang mencari keluarganya, dan sebagainya yang sebetulnya juga bukan
pekerjaan mereka sehari hari.
Apa yang mendorong mereka berbuat tanpa pamrih
itu? Padahal mereka tionton (bystander intervension) di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa kekuatan sosial besar yang biasanya akan bertindak dalam situasi darurat, dan sebagian yang lain karena sangat besar sikap malu malu seseorang untuk menolong. “Penonton harusnya paham telah terjadi ketidakberesan, sehingga kedaruratan itu mestinya menjadi urusan mereka,” tulis Wortman dkk.
Semakin lambat pertolongan diberikan, akan semakin banyak/berat korban yang jatuh. Pada tahun 1990 di Italia pernah terjadi skandal yang sangat memalukan sebagai bangsa. Vanessa Moretti, gadis berusia 6 tahun yang menjadi simbol rasa malu bangsanya itu, bersama ayahnya bemaksud ke pantai.
Di perjalanan sang ayah terkena serangan jantung. Vanessa turun dari mobil dan mencari pertolongan, tapi tak satu pun mobil mau berhenti. Setengah jam kemudian ia sampai di jalan tol dengan berurai airmata dan luka berdarah, tapi yang dijumpai adalah kendaraan yang lebih kencang melaju. Barulah ketika ada seorang pengendara motor
melihatnya, ia mendapat pertolongan.. Tan merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi lain tidak meyakini peran suasana hati yang negatif itu dalam altruisme.
Empati. Menolong orang lain membuat kita merasa enak. Tapi bisakah kita menolong orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri
sendiri (selfish)? Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah olah mengalaminya sendiri). Empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan
pertolongan altruistis. Meyakini Keadilan Dunia. Faktor lain yang mendorong terjadinya altruisme adalah keyakinan akan adanya keadilan di dunia (just world), yaitu keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan
yang baik akan dapat ganjaran.
Menurut teori Melvin Lerner, orang yang
keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita.
========================================
Pengirim : Barry Kusuma
========================================