Alangkah bahagianya bila kita dapat menemukan minat. Alangkah bahagianya hidup kita bila mengerjakan sesuatu hal bukan karena perintah lagi, melainkan berdasarkan minat. Minat adalah tuan besar kita. Minatlah yang menetukan kita
mau kemana dan jadi apa.
Minatlah yang membuat hidup kita, mengutip slogan salah satu iklan rokok, ‘bikin hidup lebih hidup’.
Pertanyaan mendasar, seberapa jauh kita mencari minat itu? Bagaimana caranya agar minat itu menjadi tuan besar kita? Bagaimana kita mendapatkan minat itu?
Pertanyaan ini susah susah gampang. Susahnya, tak semua orang bahkan sampai melewati usia yang dianggap orang sudah menemukan jati dirinya ada juga yang belum menemukan minatnya. Gampangnya, minat itu sebenarnya bisa didapat dari keberanian.
Keberanian? Ya, keberanian. Keberanian untuk mencoba, keberanian untuk bereksperimen. Keberanian untuk mempelajari hal baru.
Keberanian untuk belajar, nah inilah yang masih salah kaprah. Banyak orang belum bisa membedakan antara belajar ilmiah dan naluriah. Sehingga tak menyadari bahwa semenjak bayi kita itu sedang dan selalu belajar. Belajar bicara, belajar buang hajat, dan lain lain.
Belajar ilmiah cenderung membosankan sehingga tak jarang banyak sebagian dari kita alergi dengan kegiatan belajar. Begitu alerginya hingga muncul seloroh, “Belajar jangan sampai mengganggu main �
Belajar ilmiah toh cenderung terjerembab pada diktum sekolah, kelas, buku pelajaran dan guru. Padahal belajar ilmiah, mengutip slogan iklan minuman ringan, bisa dimana saja dan kapan saja. Belajar menari, main musik, main Play Station, main basket, sepakbola, membuat kue juga tergolong belajar ilmiah.
‘Aksesori’ belajar yang terpenting adalah menatap, mengamati, merenung, bertanya dan terakhir melakukannya. Untuk yang terakhir ini butuh keberanian, sebab kalau tidak ya, sia sia saja. Dan keberanianlah yang sebetulnya jika tak terburu buru, dapat membimbing minat hingga suatu saat minat itu dapat menjadi tuan besar
kita.
Inilah yang barangkali terluputkan dalam sekolah. Sekolah lupa mengajarkan kecintaan. Sekolah lupa mengajarkan kita mencari minat. Sekolah lupa mengajarkan kecintaan terhadap kegiatan belajarnya sendiri. Memang ada kegiatan
ekstrakurikuler, namun itu pun tak dapat dijumpai di semua sekolah. Hanya sekolah tertentu dengan kegiatan ekskul segudang hingga ada kebebasan memilih.
Mata pelajaran pun terasa membelenggu sehingga kegiatan belajar melulu adalah “wajib� dan “keharusan�.
Einstein yang semula di sekolah dianggap bodoh siapa sangka di masa depannya menjadi ilmuwan. Padahal ketika menyusun teori Relativitasnya yang terkenal, ia bekerja sebagai juru tulis, pegawai rendahan di sebuah kantor paten di Swiss.
Siang bekerja sebagai pegawai, malamnya merenung bagaimana alam semesta bekerja.
Dengan kata lain saat itu Einstein bukanlah “fisikawan profesional�. Tulisan ini bukan berarti mendukung sepenuhnya Bebas dari Sekolah yang pernah dikemukakan Ivan Illich. Akan tetapi fakta berbicara bahwa belajar ilmiah tak melulu terpaku
pada sekolah.
Lantas, bagaimana mencari minat itu? Minat itu tak lain didapat dari belajar. Belajar dulu baru muncul minat. Berani mempelajari hal hal baru, berani
mempelajari apa saja tanpa peduli seloroh, “alaah, ikut ikutan aja lu � Sehingga ‘si tuan besar’ bernama minat itu mampu membebaskan kita tanpa perintah. Apa boleh buat. Tak semua orang tak setekun Einstein. Tak semua orang tak seberani
dia yang berani berkesperimen. Kebanyakan dari kita harus belajar sendiri untuk mencintai kegiatan belajar. Mungkin disitulah asyiknya.(dna)
Rawamangun, Oktober 2002
Oleh Donny Anggoro penulis adalah editor sebuah penerbitan, tinggal di Jakarta.
========================================
Pengirim : Donny Anggoro
========================================