Punggung

Apr 14, 2004

Sebuah punggung yang seakan selalu mengikutiku. Aku tak tahu mengapa. Punggung itu seperti malaikat maut yang siap mencabut nyawaku sewaktu waktu. Entah dimana ataupun kapan.

Mengikutiku perlahan tapi pasti. Mataku pun tidak bisa melepaskan pandangannya dari punggung itu. Yang lebih aneh lagi, bahkan aku tidak mengenal punggung itu milik siapa. Laki laki atau perempuankah? Aku tidak tahu. Tapi punggung itu telah berhasil melaksanakan salah satu tugasnya yaitu membuatku resah dengan keberadaannya di sekitarku. Bila aku coba mendekati punggung itu, mencoba menggapainya, tanpa disadari oleh penglihatanku; punggung itu telah menjauh.

Walaupun aku berlari sepayah payahnya, aku tetap tidak bisa menggapainya. Seperti biasa, aku hanya mampu melihatnya tanpa bisa berbuat apa apa. Dan punggung itu sepanjang hari mengekoriku. Aku semakin gelisah dan merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

Sudah tentu punggung itu mempunyai tubuh karena kadang kadang instingku ingin mengintip di balik punggung itu, wajah yang misterius. Wajah yang �selalu�orang lihat pertama kali. Cantikkah dia? Atau tampankah dia? Atau mungkin…? Ah Sudahlah, pertanyaan pertanyaan yang tidak sanggup aku jawab. Bahkan pertanyaan: punggung itu milik siapa? Aku tidak pernah bisa menjawabnya sekaligus mencari jawabannya. Sejenak khayalanku membumbung tak terbatas, ketika aku mencoba melukiskan punggung itu dengan seluruh bagian tubuhnya. Dari atas hingga bawah. Rambut, wajah, leher, dada tangan dan kaki. Seperti apa rupanya? Tetapi tiba tiba seketika bayangan itu kabur.

Memuncar tanpa sisa. Ya Aku melihat punggung itu, tepat di sampingku. Dekat sekali. Sampai sampai aku tak sempat menyadari kedatangannya yang secara tiba tiba itu. Seperti biasa, aku hanya bisa menatap. Tanganku beku sekelejap oleh kehadirannya. Menggerakkan jari jariku pun, aku tak bisa Apalagi mengangkat dan dengan secepat kilat menepuk punggung itu. Bibirku kelu, tubuhku membatu, hanya mataku saja yang bisa merasakannya.

Tidak terpengaruh oleh mantra mantranya. Saat itu aku begitu ingin memberi tahu kawan kawanku yang tengah berkerumun di depanku. Aku ingin berteriak kepada mereka.

�Punggung itu ada di sampingku �
�Apakah kalian tidak melihatnya? Ayo cepat Raih punggung itu Raba punggung itu Dan balikkan punggung itu agar aku ataupun di antara kalian tahu, siapa yang tersembunyi di baliknya. Ayo cepat �

�Sebelum punggung itu menghilang lagi atau kalian tidak akan bisa meraihnya kembali �
�Kalian lihatkan? Punggung itu tengah diam, mungkin saja dia tidak merasakan kehadiran kita di sini. Ayo cepat �

Dadaku menggolak cepat. Kupikir kata kataku hanya terucap dalam hati saja. Kenapa kawan kawanku hanya diam saja. Tak berkutik sedikitpun.

�Apa kalian buta? �
�Ayo cepat raih punggung itu � dengan susah payah aku berusaha memberitahu kawan kawanku. Mereka tetap saja tidak bergeming. Mereka masih sibuk berbicara satu sama lain. Kemudian aku hanya kesal dengan diriku sendiri. Kenapa aku harus menyuruh mereka untuk meraih punggung itu? Yang sekarang sangat dekat berada di samping punggung itu adalah diriku sendiri. Kenapa tidak aku lakukan sendiri saja? Mungkin saja mereka tidak mengetahui keberadaan punggung itu. Ya Aku kesal dan marah dengan diriku sendiri. Sesuatu yang mudah dilakukan setiap orang. Meraih, meraba, dan merangkul punggung kawannya, sahabat, saudara, kekasih atau orang asing sekalipun. Aku seperti mengutuk diriku sendiri.

Malaikat maut itu akan terus menempel pada diriku. Entah dimana atau kapan, punggung itu kemudian akan menyabitku sengan sabit yang bertungkai panjang dan menggorok leherku dengan mudah tanpa perlu hitungan detik. Seperti menyabit rumput yang bergoyang goyang oleh angin. Dan saat itu aku tidak menyadari bagaimana keadaanku selanjutnya. Orang orang di sekitarku mungkin akan melihat sungai darah dan bau amis di hamparan aspal hitam. Mereka akan menjerit histeris.

Ada yang menutup mulut, menahan teriakan karena ngeri melihatku. Atau meletakkan kedua tangannya di pelipis mereka lalu menjerit sengit. Ada orang orang berlari mendekati dan menjauhiku. Mereka bertanya tanya, siapakah korban yang sadis digorok lehernya hingga hampir putus ini? Siapa orang yang tega melakukan perbuatan sadis ini?

Apa orang ini terlibat sindikat jual beli obat obatan terlarang atau orang yang berhutang kepada mafia kelas kakap dan tak sanggung melunasinya? Atau hanya orang yang kepergok mencuri ayam di rumah tetangganya? Tentu, akan banyak sekali perkiraan mereka mengenai korban gorokan sabit, yang hampir putus lehernya ini.

Dalam pikiran mereka pun akan terlintas pertanyaan ini: siapakah orangtuanya? Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seperti tayangan tayangan kriminal pada televisi; orang orang yang melihat mayat ini, akan segera menutup tubuhnya dengan beberapa helai koran atau daun pisang yang masih utuh.

Lalu melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Orang orang itu akan terus mengerumuninya, seperti lalat lalat di atas makanan. Sampai pihak berwajib datang ke tempat kejadian perkara dan mengamankan sosok mayat yang belum diketahui identitasnya itu. Kemudian mereka membawanya ke rumah sakit terdekat untuk divisum.

Mereka akan melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kasus ini: suatu pembunuhan yang disengajakah???

Tak berapa lama setelah mayat itu diamankan oleh pihak berwajib, orang orang yang tadi berkerumun segera bubar dan melanjutkan aktivitas mereka masing masing. Seketika mimik muka mereka pun berubah drastis seperti tidak pernah terjadi apa apa. Mereka menganggap bahwa kasus pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya merupakan hal yang sudah biasa di negeri tercinta ini.

Bahkan hampir setiap hari ada saja berita mengenai pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, perampokan dan lain lain. Kejadian kejadian itu seperti menjadi sarapan bagi mereka setiap pagi.
�Tadi aku lihat lelaki itu tengah mengobrol asyik di selasar masjid bersama kawan kawannya, tak tahunya akan bernasib naas seperti itu,�
�Memangnya kamu kenal dia?�

�Tidak,� jawabnya dengan mimik berduka.
�Sungguh malang nasibnya,� ujar lelaki yang satunya lagi, sambil
menyelendangkan tas ransel pada bahunya.
�Iya, masih muda tapi tak berumur panjang,�
Kedua laki laki yang tak saling mengenal itu pun segera berlalu. Seorang lelaki berambut ikal dengan tas ransel di bahunya, lupa menutupkan resleting tasnya. Ada sebilah pisau besar yang masih berlumuran darah segar di dalamnya.

Matahari hanya nampak setengah di barat. Orang orang yang tadi melihat mayat itu telah kembali ke rumahnya masing masing. Lalu akan menceritakan kejadian itu kepada istrinya seperti gosip, kepada anak anaknya seperti dongeng, bahkan kepada kekasihnya seperti kisah sendu.

Malam telah beranjak. Kemudian sang rembulan kembali ditelan matahari. Salah satu media cetak memuat peristiwa mengenai pembunuhan yang terjadi kemarin sore.

DITEMUKAN MAYAT TAK DIKENAL DENGAN LEHER HAMPIR PUTUS.

�Sayang… tolong buatkan aku secangkir teh manis,� pinta lelaki berambut ikal kepada istrinya sambil santai membaca koran. Matahari masih menggeliat pagi itu.

Bumi singgah,
040404

========================================
Pengirim : fina sato
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *