� Bang�� bisikmu tiba � tiba ditengah ketenangan malam,
Aku tahu kau belum tidur sejak tadi, meski gelap dan sunyi kamar kita.
� Iya..?� tanyaku sambil meraih lembut tubuhnya,
Penuh gelisah dia meletakan kepalanya di dadaku,
� Aku ingin punya anak�� bisikmu
Diam. Itu yang bisa aku lakukan, aku tahu, suatu saat ini pasti kau inginkan,
� Tapi kamu kan masih kuliah sayang ?� tanpa prasangka apapun kucoba membelai tubuhnya.
Penuh resah dia mengangkat wajahnya, duh , bidadari, meski dalam keremanganpun wajahnya tetap bersinar,
� Jadi kapan ?� tanyamu tak sabar, � Usiaku sudah 25 tahun.�
Dan aku ? aku sudah hampir 33 tahun
� Siapa yang akan mengurus kita kala kita tua nanti bang ,
kalau bukan anak kita ?�lanjutnya masih penuh keresahan.

Tidak dapat lagi kuhindari, dan aku yakin dibenak kami berdua tiba � tiba terpicu untuk mengingat ibu, perempuan tua , mertuaku yang kini genap berusia 62 tahun. Wanita tua itu begitu cantik dan baik, tapi dia sudah menjadi manula di usianya yang baru 62, dia banyak sakit � sakitan. Dan sekarang ini, istrikulah yang mengatur segala kebutuhannya, menyiapkan makan pagi, membuat makan siang untuknya, meluangkan waktu mengajaknya jalan � jalan sore ke halaman masjid tak jauh dari komplek kami tinggal.

Aku sendiri tak pernah merasa keberatan, aku juga memang hanya ingin istriku konsentrasi di kuliah dan di rumah, tapi pasti akan menjadi hal menyebalkan untuk dia, diam dirumah berjam �jam duduk diantara tumpukan buku diktat kuliahnya, masih mending kalau di tumpukan novel � novel kenamaan, aku yakin dia betah diam berhari � hari, tanpa makan sekalipun bila harus disekap diantara novel Mira W, atau buku kumpulan puisi dari Hudan Hidayat.
Sebelum ibunya, yang sekarang menjadi ibu kami sebab aku sendiri sudah yatim piatu sejak SMP, sakit � sakitan, dia sudah punya rencana gila, tapi bukan permintaan aneh untuk wanita di usia belia sedemikian rupa ini. Dia memutuskan untuk bekerja , sambil kuliah tapi juga ngotot agar setiap dia pulang ke rumah aku harus sudah ada dirumah dan makan malam bersamanya, bagaimana bisa ?? Tapi aku tetap menganggukkan kepalaku dan berjanji untuk memberikan kebebasan padanya untuk bekerja dan kuliah, asalkan dia tetap mampu menjalankan tugasnya sebagai istri , dan dia juga harus berjanji kelak kalau sudah punya anak dia harus mau bekerja di rumah. Dia setuju , dengan antusias dia berkata, � Kita punya anak setelah kuliahku selesai, dan aku akan menjadi penulis, jadi aku bekerja di dalam rumah, asyik kan? �
Aku sangat jatuh cinta kepadanya, bukan pada pandangan pertama kami bertemu enam tahun yang lalu seperti pada kisah � kisah yang ditulis dalam lagu, tapi cinta itu tumbuh perlahan � lahan seperti mawar merah yang ditanam, kemudian tumbuh pendek dengan beberapa daun mungil, bertambah tinggi setiap hari karena disirami dan diberi pupuk juga cahaya matahari, hingga indah berkembang dan harum semerbak memenuhi dada ini. Kagum aku melihatnya yang gemar melahap buku, juga tentang kegemarannya untuk tidak putus asa menghadapi setiap pukulan dalam hidupnya yang mencoba untuk menjatuhkan dan melumpuhkan kedua kakinya dalam usaha mencapai pulau harapan.

Semakin tergila � gila aku padanya saat kuketahui gadis berdarah campuran tionghoa itu telah mengislamkan dirinya , aduh sungguh terpikat dan mabuk aku dibuatnya. Bukan cantik, tapi rupanya itu sungguh penuh sejuta kisah, entah apa yang telah dibuatnya, aku tidak pernah bosan menatapnya, garis matanya kadang menyipit kala dia bingung, atau sesekali berkedip saat konsentrasi penuh pada sebuah bacaan atau saat mengerjakan soal �soal dihadapannya. Tapi aku paling suka saat melihat dia tertidur lelap , wajahnya benar � benar jujur dan polos, meski aku akan mengatakan dia menarik saat memoleskan lipstik di bibirnya dan sedikit eyeshadow lembut pada kelopak matanya, yah begitulah wanita, gemar berhias.
Ibu kami, ibunya, telah hidup menjanda sejak Ander , istriku, berusia delapan belas tahun. Bukan karena ayahnya yang gagah dan tampan itu meninggal dunia, tapi karena Ibu sudah tidak sanggup menjalani hidup dengan lelaki yang telah menjadi suaminya itu hampir dua puluh tiga puluh tahun itu. Dikhianati, pasti itu sangat menyakitkan untuknya, dan untuk semua wanita di dunia ini. Terlalu, wanita cantik dan setia seperti ibu masih dikhianati. Tahun 1998 ibu pergi meninggalkan rumah dan hidup bersama adik � adiknya di Jakarta, dan Ander mengalami cobaan luar biasa dalam hidupnya pada usia yang masih begitu muda. Tinggal bersama ibu tiri, disusul ayahnya kemudian jatuh sakit, keluarganya kemudian terpencar � pencar demi mempertahankan hidup mereka sendiri � sendiri. Ander saat itu baru berusia sembilan belas tahun, dia masih duduk dibangku SMA yang kemudian dicekoki banyak beban juga beban untuk bertahan hidup seperti kakak � kakaknya yang lain. Penuh susah payah Ander mempertahankan sekolahnya, hebat dia menjadi siswa teladan dengan nilai terbaik di kelasnya, dia lolos beasiswa karena prestasinya mengagumkan, meski sepulang sekolah dia tidak punya waktu untuk mengulang pelajaran bahkan menyelesaikan PR nya karena setiap sore waktu itu dia harus bekerja paruh waktu dia sebuah toko parfume di kota mungil itu.

Entah bagaimana kisahnya, Ander kemudian meneruskan kuliahnya di Yogyakarta, jurusan kesenian dan sastra, sambil bekerja sebagai staf administrasi di tempat aku bekerja sebagai dosen di universitas lain, dengan jurusan yang lain pula. Pertemuan kami hanya sebatas , � Pagi pak, � atau saat aku hendak pulang , � Sore pak,� sampai baru kusadari dia tinggal tidak jauh dari tempat aku mengontrak rumah tempat tinggalku di kota seni itu. Aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama, cintaku tumbuh seperti bunga mawar yang sedikit � sedikit menggeliat di dadaku. Entah sejak kapan, kami selalu berpas � pasan di masjid besar di dekat kampung kami tinggal dan kemudian selalu bertemu saat menjelang isya jamaah di masjid bersejarah itu.
� Tinggal sama siapa disini ? � sapaku sambil melangkah ringan usai shalat isya.
� Sendiri, keluarga saya di Jakarta, kalau bapak ?� dia balik bertanya.
� Sendiri juga, � jawabku singkat.
Tidak ada perasaan apa � apa, tapi hati dan pikiran ku selalu diusik saat beberapa kali kutemukan dia mengikuti shalat subuh di masjid , dan seusainya dia berdoa sangat lama sampai para jamaah meninggalkan tempat sejuk itu. Sampai entah kapan kami telah menjalin cinta, dengan motorku satu � satunya kuantar dia pulang dari kantornya, dan paginya kujemput untuk kuantar dia pergi kuliah. Sedikit banyak aku makin mengenalnya, hidup dan pribadinya dibalik wajahnya yang indah, dan kasih sayangnya yang memancar.

Sampai pagi itu, dia menelephoneku,
� Assalamualaikum abang ?� tanyanya.
� Walaikumsalam, iya Der, ada apa ?� tanyaku bingung,
� Maaf tak sempat pamit, aku di stasiun kereta, dapat kabar mama masuk rumah sakit di Jakarta, aku pamit dulu, � jelasnya.

Dan semua kemudian berubah, hampir berminggu � minggu gadis mungil itu tidak kembali, bidadariku yang selalu menghias dan menghangatkan kalbu. Kemana harus kuhubungi, tak satupun nomor telephone ditanganku yang bisa membuat aku bisa mendengar suaranya, tak satu alamatpun di tanganku untuk menyuratinya. Dadaku begitu sesak, aku merindukan kelembutan cintanya, dan caranya bermanja. Demi Tuhan, seperti kehilangan oksigen tubuhku ini Dua hari setelah kerinduanku yang terlalu, sepucuk surat sampai di rumahku, Ander menulis surat untukku. � Aku harus menjaga ibu, � itu intinya.

� Bang, � lanjutnya sambil kembali merebahkan kepalanya di dadaku, � Untuk apa kita bekerja keras di waktu muda untuk hari tua, kalau hari tua nanti kita sudah terlalu lemah untuk menikmatinya.�
Aku masih diam mendengar kalimat yang menambah kesunyian kamar kami malam itu, diantara cahaya bulan yang mencoba menyusup masuk lewat gorden jendela kamar kami.
� Yang kita butuhkan saat kita tua adalah anak yang soleh dan bekal yang cukup untuk kita berpulang , � bisiknya.
Tak kuasa, kucoba bangkit dari posisi tidurku , sekedar menatap wajahnya, tapi yang kulihat dia hanya menatap dinding, dan matanya basah karena air mata.Kubelai kepalanya, � Ya..teruskan.�
� Perjuangan kita sekarang ini, adalah untuk sekarang. Tapi pendidikan agama, akhlak yang kita jalani sekarang ini, adalah untuk sekarang, besok dan nanti,� dia masih menatap langit � langit kamar kami. Kudekap erat tubuhnya, aku mengerti.

� Aku takut, siapa yang akan merawatku kelak aku tua ?� tiba � tiba dia membalikan tubuhnya kearahku dan menatap mataku penuh tanya. Aku terkesima, ya Tuhan Selama ini Ander yang sibuk kepasar di pagi hari dan memasak sebelum dia pergi kuliah, dia juga yang membersihkan tempat tidur ibu, Ander juga yang menelephoneku siang hari dikantor terburu �buru minta diantar pulang untuk menemani ibu makan siang, Ander juga yang menyapu dan mengepel rumah, Ander yang mengajak ibu jalan sore untuk melenturkan otot otot kaku di kaki dan tangannya.Ander juga yang memijit pundah ibu sambil menonton televisi di sore hari, lalu menyapaku yang baru pulang kantor dan ganti melayaniku penuh cinta. Biasanya kami memang selalu ngobrol bertiga, aku , Ander dan Ibu. Rumah mungil kami memang terasa begitu hangat dan penuh kemesraan dalam kesederhanaan. Begitu yang kami lewati, selalu seperti itu, canda dan kelakuan serta ide � ide Ander selalu menjadi penenang dalam masalah yang selalu muncul di perusahaan ku. Aku , Ander dan Ibu, memang itu sangat baik, seperti team dalam regu yang memperjuangkan kemenangan dan prestasi gemilang.
� Ibu juga ingin cucu darimu pasti, � jawabku.
Ander tersenyum geli. Dulu kami pernah berpikir satu � satunya jalan untuk mengembalikan semangat hidup ibu adalah mengiming � ngimingiya seorang cucu dari cinta kami berdua. Tapi kemudian kondisi kembali membaik, setelah anak kedua dari kakak sulung Ander lahir, hampir setahun ibu tinggal bersama kedua cucunya itu, sampai kembali dia merasa tua dan lemah dia ingin hidup tenang bersama kami di Yogyakarta ini, menghabiskan masa tuanya dan tidak menyinggung lagi soal keinginannya buru � buru punya cucu dari kami berdua, tenanglah Andern meneruskan kuliahnya yang sempat cuti dua semester. Tapi ibu kemudian kembali sakit � sakitan, kali ini penyakit tua yang sudah beliau derita.

Ander masih merebahkan kepalanya di dadaku yang telanjang, hangat butiran air mata mengalir disana. Penuh kesabaran kubelai kepalanya, lalu kucium rambutnya yang hitam berkilau dan selalu harum , ah begitu lembut jiwa dan raganya. �Akupun mendambakan seorang anak , � hatiku berbisik lirih, � Tak sampai hati aku menambah kesibukan dan kelelahanmu, hampir kau gagal dalam studymu�tak sanggup kalau aku harus melihat tubuh mungilmu terlalu lelah.�
Seolah seperti dia mendengar suara hatiku, Ander bicara penuh kekhawatiran, � Aku bisa kok bang, �aku, aku tak mau menderita disaat tua nanti.� Aku mulai berpikir, bagaimana kalau istriku hamil, pergi kuliah dengan perut buncit??
� Sekarang kamu sedang di semester akhir sayang, bertahanlah, � jawabku .
Dia menatap mataku dalam � dalam dengan terkejut, wajahnya bersinar diantara gelapnya malam dan sunyinya hati,� Setahun lagi ?�
� Setahun untuk kebahagiaan anak kita dan dirimu sendiri, juga semua ,� bisikku.

Dia menghela nafasnya penuh beban, sambil kembali membaringkan kepalanya diatas dadaku, � Aku ingin anak yang soleh bang.�

Sebutir air mata mengulir di pipiku, �Aku juga sayang�

========================================
Pengirim : jeanni
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *