Seandainya esok tak ada lagi yang namanya hujan, bagaimana kita?
Tak ada awan, mata air kering dan hutan terbakar.
Lantas bagaimana kita?
Ternak mati, bunga layu dan gugur.
Satu satu kita mati kehausan dan berjanji pada Tuhan siap menanggung banjir dengan segala dukanya dari pada mati tanpa air.
Tadinya kita ngomel tentang banjir, kini malah rela menerima banjir………………………………………….
Seandainya besok tak ada hutan, lenyap segala pohon kayu, bagaimana kita?
Tak ada daun gugur untuk merabuk jadi pupuk, tak ada pohon untuk jadi kertas, kayu buat rumah dan api dapur. Lantas bagaimana kita?
Margasatwa mati perlahan, hawa jadi panas berdebu dan kota jadi gundul.
Satu satu kita merindukan kehijauan kembali dan berjanji muluk pada Tuhan untuk tidak menjadi kaum penjarah alam lagi.
Tadinya kita tak pernah ambil pusing tentang alam di sekitar, kini malah jadi pencinta alam.
Seandainya mentari tak kembali di hari esok, bagaimana kita?
Tak ada lagi senja di pantai Kuta atau Kaimana. Tak ada terang bulan terang di kali. Tak ada lagi fajar, kokok ayam dan kicau sejuta burung apalagi embun pagi. Lantas bagaimana kita?
Satu satu kita sesat dan hilang dalam kegelapan.
Jalan raya kacau balau dan orang jadi edan edanan karena tak bisa pergi kemana saja. Tak bisa pergi kerja, ke sawah ladang, jalan di hutan, berkebun atau berlayar.
Maka kita berdempet dempet di tempat yang terang, lalu ribut karena berdempet kayak pindang.
Akhirnya berkelahi dan timbullah revolusi menuntut pada Tuhan agar mentari kembali.
Kita berjanji apa saja pada Tuhan, asal mentari bisa normal seperti semula.
Bayangkanlah………………………………………..
Bayangkanlah, kadang kadang sesuatu yang jarang kita bayangkan pentingnya (hujan, hutan dan mentari) bisa mengakhiri hidup yang kita kenal buat selamanya.
Berjanjilah pada Tuhan untuk selalu mengurus alam semesta yang diberikannya kepada kita.
Melbourne yang lagi disapu badai dingin 2004.
========================================
Pengirim : El Camino
========================================