Antara Port Augusta dan Alice Spring South Australia.
Antara air laut membiru dan padang pasir bersemak, datanglah panas memanggang.
Margasatwa sembunyi bawah tanah atau bertebar dibelukar pohonan.
Meraka bangun dari dengkurnya saat malam membawa sejuk.
Siang bolong atau tak bolong alias tambal sulam, kata orang temperatur setengah mendidih.
Datang musim hujan, disapu hujan semalaman, padang pasirpun ganti rupa.
Dari alam yang tandus jadi padang rumput hijau dan sejuta bunga liar bermunculan.
Entah dari mana gerangan datangnya.
WT yang biasa dipadang pasir bilang : �In the desert I had found a freedom unattainable in civilization.
A life unhampered by possessions, since everything that was not a necessity was encumbrance.
I had found too, a comradeship inherent in the circumstances and the belief that tranquility was to b found there�
Kami berpapasan barisan unta liar, kambing dan keledai yang tak jelas dari mana atau mau kemana atau apa ada yang punya?
Tengah hari nyaris dipangkas angin tutus yang berputar bagaikan gasing.
Pasir berjatuhan kemana saja, masuk makanan dan kopi susu yang kami nikmati diluar tenda.
Gula pasir dipadang pasir benar benar berpasir.
Lama lama jadi Beduin yang terbiasa dan bisa hidup dengan pasir.
Kami jarang mandi, soalnya tempat mandi atau berkubang kerbau teramat jauh.
Ada gugus hutan kecil bukit batu dan mata air yang jadi lubuk berpasir putih.
Melintas kota kecil yang tertinggal.
Tempo doeloe tambang emas, emasnya habis orangpun pergi.
Tak ada yang tertinggal selain bekas tambang masa lalu, rumah rumah kosong yang pada lapuk, roboh atau posisi miring.
Menemukan botol minuman dari tahun 1934 yang dibawa buat souvenier.
Ada kuburan dari tahun 1897 dengan nama nama orang Jerman atau Russia.
Nampaknya orang yang bertualang mengadu nasib.
Ada banyak orang dari Cina yang bekerja sebagai kuli ditambang emas.
Habis emas mereka pindah ke kota jadi pedagang, buka restauran, bertani sayur mayur dan sebagainya.
Anak cucu mrekalah yang nantinya menciptakan apa yang disebut �Chinatown� diberbagai kota di Australia.
3 hari dipadang pasir.
Yang selalu terkenang adalah padang berpasir yang semesta kosong melompong ini selalu punya suara.
Hanya terdengar dalam hening sepi.
Seperti lolongan sedih anjing liar, senandung burung malam, desau semak berbisik, tetesan air dibatu dan angin yang mencakari lembah pasir.
Alam pemandangan bagaikan panggung terbuka.
Pagi, sore dan malam penuh dengan drama hidup, cinta dan airmata kehidupan alamnya.
Kami cuma bisa jadi penonton saja.
WT yang cinta padang pasir bilang : �I had learn the satisfaction which comes from hardship and the pleasure which springs from abstinence.
The contentment of a full belly.
The richness of meat.
The taste of clean water.
The ecstasy of surrender.
When the craving of sleep becomes a torment.
The warm of a fire in the chill of dawn.�
Malam terakhir kami bermain gitar dan berlagu disekitar api unggun.
Sementara bulan yang bagaikan sepotong semangka nongkrong dilangit biru tipis.
Sejenak dunia terasa damai
Melbourne, 2004
Buat kawan yang pergi nyepi 2003
dan kembali jadi “orang baru” 2004.
========================================
Pengirim : El Camino
========================================