Perasaannya masih tak menentu, tubuhnya seperti sedang melayang. Mukanya menghadap komputer kerjanya, tapi dirinya tidak disana. Beberapa rekan kerjanya disibukkan oleh pekerjaan yang tidak ia pedulikan.
Ia adalah seorang karyawan perusahaan besar di Jakarta, bidang usahanya tidak memungkinkan bagi perusahaannya untuk terkenal di lingkungan publik. Nama, seringkali jadi masalah, tapi tidak dengan dirinya. Ia bukan jenis sosok ideal di kantor, gayanya lebih mencerminkan sebagai seorang freelancer daripada pegawai kantoran setingkatannya. Ia hanya mengerjakan apa yang ia senangi, dan hanya menyenangi apa yang ia kerjakan.
Setengah hari ini ia sudah mengerjakan sebagian pekerjaannya, routing dokumen mengalir dengan lancar. Tidak banyak yang harus ia tahan, walaupun ia sadar bahwa yang melewatinya adalah money gonna be. Ia hanya menikmati kerjanya sendiri. Pernah ia memimpikan kerja tanpa kerja, toh bukan makan gaji buta yang menghancurkan semangatnya, kebosanan yang menikamnya secara perlahan. Kerja adalah wujud cintanya pada dirinya sendiri, narcissus modern, dan ia sadar benar dengan keadaan dirinya. Ia bekerja bukan karena terpaksa, ia kerja karena itulah pekerjaannya.
Ia suka membaca, ia pun suka menulis. Saat senggangnya ia gunakan untuk menulis buah pikirannya, hanya saja tidak banyak yang sengaja ia bagikan. Apa yang ia tulis tidak pernah ia baca lagi, semua berlalu seperti awan tertiup angin. Hanya membaca yang terbaca, hanya menulis yang tertulis. Buku hariannya adalah dunia, dan diri adalah tintanya.
Pujangga itu tanpa nama, pikirnya. Karena nama itu mengaburkan makna.
Sebentar ia mengamati tulisannya, sambil meregangkan otot punggungnya yang mulai kaku karena tidak bergerak sejak pagi ini ia datang ke kantornya bekerja. Istirahat yang paling nikmat bukan saat weekend datang, sambil tersenyum ia berfikir, justru saat saat itulah pekerjaannya paling banyak menumpuk. Apalagi saat keluarga dan sahabatnya menuntut sesuatu dari dirinya, liburankah, jalan jalankah, apalah… Itulah pekerjaan utamanya, hidup, hidup itu berarti kerja. Kesendirian adalah waktu istirahatnya, tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang menggubris. Ketenangan tanpa akhir.
Rekan kerjanya menghampirinya sambil menyerahkan setumpuk dokumen kepadanya, “tolong di review ya…”. Ia tersenyum sambil mengangguk pelan, “beres.”. Tak lama ia sudah menyelesaikan lebih dari setengahnya. Perutnya berderit pelan, ia memang belum sarapan hari ini, ia bilang diet, tapi sebenarnya ia sedang menghemat setiap pengeluarannya. Kalau sudah berkenaan dengan anggaran pribadi, itulah kartu mati baginya. Boleh jadi ia seorang auditor atau controller terbaik di perusahaannya, tapi mengatur keuangannya sendiri? Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk sekedar membantunya menjadi lebih disiplin. Sudah berbagai cara ia tempuh untuk mem balancing pengeluaran pendapatannya, toh ternyata memang membawanya yang sulit.
Kontradiksi. Masih ada kesedihan di matanya, senyuman memang mengembang di wajahnya, tapi palsu. Senyumannya adalah dagangan baginya, dijualnya untuk sedikit penerimaan dari lingkungannya. Dua sisi pribadinya, ia berenang di tapal batas antara kebaikan dan keburukan yang bukan miliknya sendiri. Kesepian dengan kesendiriannya.
Hari belum berakhir ketika ia menyantap makan siangnya, hari ini akan terasa panjang, pikirnya. Potongan hari ini adalah potongan seluruh kehidupannya, tidak beda, tidak sama. Entah berapa batang rokok yang telah ia bakar, seperti ia telah membakar dirinya berkali kali, tapi selalu bangkit dan bangkit lagi menagih hutang yang ia tak pernah tahu pernah pun ada. Kesulitan tidak pernah sekalipun mencekiknya, dirinyalah yang menganugerahi kesesakkan ini. Tamu itu tak pernah bosan datang menghampirinya, membawa pesan untuk dirinya, seperti iklan tv menyebalkan diantara acara favoritnya.
Relung gelap itu ada diantara gempitanya kuhidupan, mengintai menunggu saatnya untuk mencaplok ketidaksadarannya. Meninggalkannya hampa, harga mahal yang harus dibayarkan oleh kesadaran. Sesal? Ia tidak pernah menyesal, hidup ini indah, pikirnya. Begitu indah sampai merengut dirinya sendiri. Jalan itu hanya sedemikian adanya. Tidak bisa ditolak, tidak bisa lari darinya. Kesedihan itu bagian dari bagiannya, terbagi bukan untuk ditelan sendiri. Semuanya mengalir tanpa batas, lepas… ia melayang, sampai suatu saat menapak lagi di bumi tempat ia dilahirkan. Dan saat itu kehidupan yang terhenti pun berjalan lagi.
Kenyang, sedikit mengantuk juga. Ia menengok ke kanan kirinya. Sepi. Semua sedang menikmati waktu istirahatnya dengan cara mereka masing masing. Beginilah caranya, menuangkan sedikit dari buah pikiran yang menggantung dikepalanya. Sendiri di tengah keramaian.
Dengan segan ia melihat sisa tumpukan dokumen di mejanya. Tersenyum sendiri, dan mengambil beberapa set untuk ia baca. Sejenak ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, mencoba memahami setiap pasal kontrak dan invoice yang ia baca. Penagihan, pikirnya. “Kontrak apa yang udah gue tandatangani selama ini?”, Kontrak kerja sekian puluh tahun; syukur syukur ada perpanjangan kontrak, dengan gaji tertentu perdetik, tunjangan tertentu, bonus prestasi, cuti sekian waktu, dan pertanggungjawaban yang jelas. Pikirannya melayang jauh dari dokumen yang sedang dibacanya. Menghela nafas panjang, memejamkan matanya sebentar, kemudian kembali mencoba konsentrasi pada apa yang sedang dibacanya. “Tidak ada masalah dengan kontrak yang ada, semua term nya jelas, invoice nya sesuai dengan perjanjian”, katanya berguman sendiri. Ia membubuhkan stempel dan tanda tangannya disana… “Document Reviewed, Standing for Approval”.
Ia melemparkan dokumen yang dipegangnya ke document out bin, kemudian menyandarkan punggung di kursinya yang nyaman sambil menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Fifteen minutes nap would be great”. Dan dengkuran halusnya pun terdengar, ditengah canda tawa teman teman kerjanya yang baru kembali dari makan siang mereka.
Paruh waktu selesai Ia me review sisa tumpukan dokumen yang ada dan memberikan semua ke administratornya. Santai sebentar, sambil mendengarkan gosip seputar kantor secara diam diam. Masalah dan masalah… mungkin itu pula yang membuat hidup ini meriah, asal jangan kita aja yang sedang ketiban masalah. Orang kita memang lucu, kejadian orang di sebelah itu merupakan tontonan menarik yang selalu memiliki rating tinggi untuk diperbincangkan. Ia sendiri, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. “Boro boro ngurusin orang lain, ngurusin dirinya sendiri aja repotnya setengah mati…”. Hanya sesekali saja ada orang yang datang kepadanya, meminjam telinganya untuk mendengarkan keluh kesahnya, meminjam tangannya untuk mengerjakan sesuatunya, meminjam kakinya untuk menjalaninya, atau sekedar meminjam lidahnya untuk segala saran pandangnya.
Sore sore begini enaknya sih tidur sore, sambil masih celingukan memperhatikan teman temannya bekerja, atau sok kerja? Ia tersenyum sendiri. Masih ada setengah jam kurang sebelum waktunya pulang, injury time.
Mejanya telah ia rapikan sejak sepuluh menit yang lalu. Dihisapnya rokok yang panjangnya tinggal 1,5 cm di tangannya, hemat, pikirnya, ada setengah senti lagi sebelum filternya ikut terhisap. Bara itu ia padamkan di asbak darurat dari pisin cangkir di mejanya. Ia habiskan kopi yang tersisa sambil menggantungkan tas di pundaknya. Teman teman kerjanya masih sibuk dengan pekerjaannya, mau lembur rupanya. Agak segan ia meminta izin untuk pulang mendahului atasannya. “Aah, bodo… cukup buat gue”, pikirnya.
Ia berdiri, dan berjalan ke arah pintu keluar, ia melambaikan tangan dan mengangguk sedikit. Tanpa melihat reaksinya ia berjalan pulang dengan sendirinya, dengan sendirinya seperti sewaktu ia datang. Semua pekerjaan tidak ada satu pun yang terbawa. Ia pulang, hari ini menyenangkan, bukan kata orang lain, ia merasakannya, dengan sendirinya.
========================================
Pengirim : Black Knight
========================================