Pedangnya terhunus, darah menetes dari ujung pedangnya. Nafasnya menggebu sekeras detakkan jantungnya, matanya nanar melihat sosok dihadapannya. Siapa dia? Wajahnya tertutup topeng zirah seperti miliknya, bergerak secepat dirinya, menyerang seganas dirinya.
Dia adalah ksatria berzirah hitam yang sering menjadi bahan pergunjingan para petani dan kalangan saudagar. Berita tentang dirinya berkembang dari mulut ke mulut, dibumbui sehingga legenda hidup itu begitu bias dengan dirinya. Berkelana dari dunia ke dunia, hanya untuk memuaskan dahaganya untuk memahami dirinya. Persinggahannya tak pernah lebih dari seminggu, kecuali tempat pertemuannya dengan sesama pengelana, saudara saudara yang mengerti jiwanya. Entah sudah berapa orang yang telah merasakan dingin pedang bajanya. Ia tak pernah membunuh, karena seni membunuh yang paling tinggi adalah mengalahkan tanpa senjata, menang tanpa perang.
Nafasnya mulai reda, ditenangkan hatinya supaya jernih pikirannya. Sudah lama ia tinggalkan pikiran untuk mengalahkan lawan dihadapannya, setiap serangan dibalas serangan, setiap strategi dibalas strategi, setiap pertahanan dibalas pertahanan. Kekuatannya tak terukur, tapi berkesan selalu mengimbangi dirinya. Luka luka sudah banyak menembus zirahnya, yang sebagian telah terlepas dengan sendirinya. Mereka berdua seperti sepasang ksatria kembar, menari nari dengan kilatan pedang sambar menyambar. Hutan tersibak, seperti memberi jalan kepada cahaya bulan menerangi pertempuran dahsyat tanpa akhir.
Ia adalah anak pegawai istana biasa, hanya impiannya yang menjulang tinggi. Cukup beruntung bagi golongannya, makanan dan kebutuhan lain dipenuhi tanpa kesusahan. Tapi ia bosan, ia harus tahu kenapa dirinya terpisah pisah seperti yang ia rasakan. Kenapa ada pandita yang ditakuti, ksatria yang dipuja, dan ada petani yang dihina. Pendidikan formal istana ia lewati begitu saja, terlalu bertendensi, pikirnya. Cerdas, tapi pemalas. Malas didikte oleh guru gurunya, malas didikte untuk membohongi dirinya sendiri. Akhirnya ia putuskan, gurunya adalah alam, sebagaimana alam telah melahirkan dirinya, alam pula yang akan mendidik dan mendewasakan dirinya.
Habis. Semua jurus telah ia keluarkan, semua jenis serangan telah ia kerahkan. Lawannya masih tegak dihadapannya, terluka sebanyak dirinya, hanya tak pernah sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia sendiri mulai mencoba mengingat ingat alasan kenapa ia memulai pertarungannya… tidak ada. Emosinya hanya terpancing setelah sosok dihadapannya selalu mengikuti langkah perilakunya kemanapun ia pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun semenjak sosok itu ada. Keheranannya adalah lawannya mengetahui setiap jurus serangannya, dan bertahan seperti dirinya bertahan. Hanya ada satu kesempatan lagi.
Perjalanannya diawali dengan pertengkaran hebat dengan orangtuanya sendiri. Cukup lama ia sembunyi sembunyi dari orangtuanya, memendam pergolakan jiwanya sendirian. Seperti mayat hidup ia menjalankan perintah demi perintah orangtuanya, tanpa pernah tahu kemana arah hidupnya sendiri. Ia tak pernah memimpikan untuk tumbuh menjadi pejabat negara seperti paman pamannya, atau menjadi saudagar seperti bibinya. Pencarian guru adalah yang pertama kali ia lakukan. Wataknya yang keras membawanya pada ketegasan, dirinyalah yang akan memilih siapa siapa yang akan dijadikan gurunya. Dengan sedikit kemampuannya, ia uji pemahaman calon calon gurunya, semuanya tumbang, meninggalkan dirinya terasing dengan sendirinya. Tidak pernah menyerah. Keangkuhannya hanya akan tunduk pada guru yang benar benar telah menguasai dirinya. Alam telah mengasuhnya dengan segala kelembutannya, alam telah mengasahnya dengan segala kekerasannya. Ia tumbuh bersama alam.
Siapa dia? Rambut lehernya yang telah basah oleh keringat meremang. Ada yang tidak biasa dengan sosok dihadapannya, manusiakah? Silumankah? Setankah? Mendadak pikirannya berkecamuk keras, darah mendesir di seluruh tubuhnya. Ini adalah lawannya yang paling tangguh, tidak pernah berbicara, tapi selalu membayanginya tanpa ampun. Ada sedikit sukacita di hatinya, inilah yang ia cari selama ini, rasa ini, ketakutannya bercampur dengan keberaniannya, kesesakkannya bercampur dengan kelegaannya. Perih lukanya telah hilang, badannya terasa melayang, perhatiannya tertumpu pada satu titik dihadapannya. “Ini adalah serangan yang terakhir, aku mati atau dirinya yang mati…”. Tubuhnya berkelebat maju, hanya pedangnya yang tampak berkelebat tertimpa cahaya bulan, badannya yang terbungkus zirah hitam menyatu dengan gelapnya malam. Sejenak hening, disusul suara denting keras baja beradu baja. Hening, hanya nafas halus yang terdengar samar. Matanya lemah menatap celah topeng zirah hitam lawannya, ada senyuman lembut disana. Pedangnya tertahan oleh pedang lawannya, serangannya telah gagal. Kematian terbayang di benaknya.
Pertemuan dengan berbagai macam bangsa membuka matanya. Ia belajar banyak, setiap orang menjadi guru baginya. Selalu ada kelebihan pada diri setiap orang yang dapat ia pelajari. Tahun berganti tahun, dengan rakus ia telan semua pengetahuan, baik maupun buruk. Mulai dari ilmu membunuh sampai mengganti popok bayi. Hampir setiap negeri ia kunjungi, dari daerah beradab sampai kawasan liar tak bertuan. Semua dijadikan guru, mulai dari pendekar sampai pelacur, anak bayi sampai kakek nenek. Ilmu pedangnya ia pelajari setiap hari, hasil dari renungannya terhadap alam. Rasa senasib mempertemukannya dengan sahabat sahabatnya, sesama pengelana. Semuanya terbaik di bidangnya, dengan tujuan yang sama, penyempurnaan diri mereka. Sesekali mereka bertemu untuk sekedar bertukar pikiran, sebelum kembali pada perjalanan masing masing. Dalam suatu ikatan yang lebih kuat dari darah.
Darahnya mengalir dari ujung tepi zirahnya, ia berjalan pelan ke belakang, raut mukanya yang keras telah menghilang entah kemana. Sambil menghela nafas panjang, pedang yang dipegangnya ia tancapkan ke tanah, kemudian mulai melepas satu demi satu plat zirah yang menempel di tubuhnya. Ia tertunduk sebentar, kemudian memandang lawannya tanpa ekspresi. Lawannya bergerak maju dengan pedang yang masih terhunus, berdenting suara plat zirah beradu. “Suara kematian yang merdu”, pikirnya sambil menengadah memejamkan matanya. Ia tidak memikirkan apa apa, semua beban pikirannya telah ia lepaskan seiring ia melepaskan zirah yang telah dikenakannya bertahun tahun. Ada garis senyum di wajahnya, mendengar dentingan demi dentingan bergerak mendekat, semakin dekat. Kemudian sunyi, keheningan mencekam. Ia mendengar suara tangan lawannya terangkat. Ia diam, ini adalah takdirnya.
Wanita, pikirnya, ia telah mengalahkan puluhan pendekar dan ia masih ketakutan dengan yang namanya wanita. Pedang bisa memotong batu karang sekeras apapun, tapi wanita? Mereka mencincang hati laki laki, seorang raksasa diubahnya menjadi liliput manis yang bisa diinjak kapan saja. Banyak gadis gadis yang memimpikannya atau orangtua yang ingin menjodohkan dirinya dengan anak mereka. Selalu ia melarikan diri dari mereka. Ia bukannya tidak pernah jatuh cinta, tapi lebih sering cinta itu memusingkan dirinya, ada tapi tidak berbentuk, bisa dibuktikan tapi bila terlihat berubah menjadi kepalsuan. Cintanya yang terakhir tidak berbalas, perbedaan dunia katanya. Dia memang keras kepala, baru mengenal namanya cinta, belum tahu artinya cinta. Hampir ia menjadi salah satu dari para pandita yang tidak beristri itu, tapi sahabatnya selalu menjaganya, menyadarkan dirinya dari kebohongan terbesar dirinya sendiri. Ia seorang laki laki normal, berhasrat kepada wanita, adalah bohong kalau dikatakan ia tidak menginginkan salah satu dari wanita itu untuk menjadi istrinya. Setengah dari perjalanannya ia habiskan sambil mencari cintanya sendiri, proses berulang dari perkenalan sampai kandas, gayanya akan lebih cantik dengan pedang di tangan dibandingkan dengan bila bunga yang ada di tangan. Cintanya tak pernah padam, selalu hidup di dalam dirinya. Wanita, tidak pernah ia pahami.
Keheningan itu menghanyutkan. Ia lelah menanti sambil memejamkan matanya. Sedikit matanya dibuka, sambil bersiap menerima terjangan pedang menebas lehernya. Ksatria itu masih ada di hadapannya, terdiam. Sebelah tangannya masih memegang pedang, yang lain sedang memegang topeng zirahnya, masih terdiam. Suara derik logam memecahkan malam, topengnya telah terbuka, seraut muka terpampang disana, terhalang bayangannya sendiri, masih juga terdiam. Lalu ia berkata, “Siapa aku? kau bertanya?”. Pandangannya berubah, memicingkan mata berusaha memperjelas pandangannya. “Aku adalah dirimu.”, menjawab sambil menyeringai. Dan dia melihat bayangan wajahnya di balik topeng lawannya.
========================================
Pengirim : Black Knight
========================================