Jam sebelas malam café ang Papay baru saja tutup. Sejak dia membuka café ¤i lokasi yang sangat strategis itu, banyak sekali tamu yang mampir. Kebanyakan adalah para pengusaha, profesional muda, dan tidak sedikit wanita karier yang selalu mampir. Kebanyakan alasannya hampir sama : Menunggu kemacetan reda.
Memang, pembangunan di Kerajaan Purbadewa cukup pesat. Hal ini menuntut peningkatan sarana dan prasarana kehidupan. Contoh yang bisa dilihat setiap hari adalah masalah kemacetan. Ini menunjukkan semakin “panen”nya bisnis kendaraan roda empat. Makin bersainglah para pengusaha otomotif. Bukan cuma itu, konsumen pun juga ikut bersaing: Siapa yang mobilnya paling mewah dan tentunya, siapa yang mobilnya paling mahal. Tak pernah terbayangkan kalau akhirnya mereka dipaksa berpikir untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Mereka yang lahir dari kalangan mapan menganggap pembangunan jalan kurang mendapat perhatian dari Kerajaan. Apalagi mereka yang sering ke luar negeri, seperti ke New York, Mekkah, atau Singapore, mengangankan dibangunnya jembatan layang atau jalan tol yang benar benar bebas hambatan. Padahal negeri Purbadewa belum semaju kota tersebut. Untuk membangun jembatan di dusun saja, masyarakat mesti merelakan pohon kelapanya ditebang, walaupun pohon kelapa itu merupakan satu satunya sumber penghidupan untuk menenangkan kepala. Beda lagi dengan kalangan pinggiran, “terlalu banyak kendaraan pribadi yang masuk ke negeri kita ”, katanya. Jelas saja kalau jalan yang sudah cukup luas itu tak pernah memadai.
Untuk mengeliminasi (ikut ikutan orang AFI ah) mobil pribadi, pemerintah Kota Raja membangun Jalan Paksa yang lebih popular disebut busway. Memang perjalanan dari halte hulu ke halte hilir jadi lancar jaya, tapi jalur normal yang ada jadi tambah gila macetnya. Padahal jaminan kelancaran busway itu karena punya jalur eksklusif yang tak mungkin diganggu kendaraan lain. “Kalo punya jalur sendiri sih, bajaj gue juga super lancer ” umpat Bajuri.
Tapi kondisi seperti ini jelas menguntungkan mang Papay. Karena menghindari macet, akhirnya kebanyakan pemakai kendaraan pribadi “mesti” mampir dulu ke caf鮹a: menunggu jalanan sepi. Setelah jam sembilan malam biasanya mereka berangsur angsur meninggalkan café ´ersebut. Sekali lagi, mang Papay memang pandai membaca peluang
“Belajar bisnis dari mana, mang?” tanya salah seorang tamu café ¹ang masih tersisa. Menurut pengakuannya ia adalah seorang broker dari sebuah (tak boleh sebut merk ) perusahaan asuransi. Sekedar tahu aja, bisnis asuransi pun sedang berkembang pula di negeri Purbadewa.
“Tidak dari mana mana, mungkin sudah takdir saya mesti membuka usaha seperti ini.” Kadang mang Papay suka rendah hati.
“Ah, kalau tak pernah belajar, saya pikir tak mungkin mamang bisa punya ide seperti ini. Ingat lho, di negeri kita ini cuma mamang saja yang punya café ²amai begini. Saya pikir, pasti mamang pernah mengambil kursus kursus atau mungkin ikut seminar tentang pemasaran. Benar begitu?” Pekerjaan sebagai Broker memang harus pandai memuji calon sasarannya.
“Tidak pernah Saya cuma purnawirawan petani.”
“Benar Mang Papay tidak pernah sekolah tinggi tinggi. Cuma sampai tingkat dasar saja.” Mang Odon bicara apa adanya. Dia belum bisa santai kalau tamu terakhir malam ini belum juga pulang. Ini sudah pukul 2 dini hari.
“Lalu dari mana mamang dapat ide buka caf鿔
“Oh, kalau ide itu sih datang begitu saja waktu dengar kabar akan ada penggusuran dan pembangunan jalan alternatif di sekitar sini. Tapi sebenarnya, kalau saya tidak pernah membaca koran Media Purbadewa, mungkin ide seperti ini tak pernah muncul.” Mang Papay memang lugu untuk bicara dengan orang yang kelihatannya berasal dari kalangan mapan.
“Oh, dari koran… memang mamang langganan koran?” sebenarnya tamu ini Broker atau Wartawan ya?
“Kebetulan teman saya sering beli koran, jadi dapat pinjam gratisan, begitu…., he he he, biasa kan, kalau kita punya teman, untuk urusan yang pas, bisa mudah mendapatkannya. Hitung hitung memanfaatkan jalur, begitu mungkin…” mang Odon yang menyahut. Mang Papay cuma senyum saja mendengar celetukan mang Odon.
“Saya pernah baca, di kota kota besar, Seperti Jakarta misalnya, sekarang sedang musimnya orang bisnis café® Kelihatannya maju pesat…” tamu ini menyambung pembicaraan sekenanya. Sebisa mungkin berusaha ada yang dicengkramakan. Mungkin dia belum mau beranjak dari café ang Papay.
“Koran kapan? Setahu saya dalam satu bulan ini Media Purbadewa tak pernah memuat berita tentang itu? Kalaupun pernah ada, ya kira kira tiga bulan yang lalu, kalau tidak salah, sih…” mang Papay hafal benar isi berita yang dimuat di koran andalan negeri Purbadewa itu. Maklum, setiap pagi dia tak pernah ketinggalan untuk sarapan dengan koran itu.
“ng…. mungkin saya lupa di koran mana saya bacanya ya…. “ tangan kanan tamu itu memegang janggut dan kepalanya mengangguk angguk, seperti orang yang sedang mengingat ingat sesuatu. Sebenarnya seorang Broker tak boleh kelihatan gugup di depan calon nasabahnya.
“…. Mau pulang jam berapa? Sudah tengah malam, mas? ” mang Odon sudah tak sabar ingin istirahat. Namun tamu yang satu ini sepertinya tak mengerti body language, jadi terpaksalah ia bicara agak terkesan mengusir. Biasanya mang Papay suka menegur mang Odon kalau bicara kasar terhadap pelanggan. Tapi malam ini sepertinya ia mesti memuji mang Odon, sebab ia pun sudah jenuh meladeni tamu tamunya sejak siang hari.
“Oh iya, maaf saya harus lekas pulang, takut besok terlambat ke kantor.” Tamu ini bingung, antara tersinggung dan berterimakasih karena ucapan mang Odon tadi. Ia tersinggung karena merasa diusir, tapi merasa tertolong karena malu ketika nyaris ketebak kalau omongannya tentang berita café ¤i koran Media Purbadewa tadi cuma asal bunyi saja. Lantas ia bertolak dari kursinya, keluar…
“Begitulah kalau orang tak pernah membaca tapi sok tahu…” umpat mang Odon setelah yakin kalau mobil tamu tersebut sudah menggerung.
“Kalau dilihat dari penampilannya sih, sepertinya tak mungkin dia tak mampu membeli koran atau buku.” Mang Papay menanggapi umpatan mang Odon sambil menyusun gelas yang baru selesai dicuci ke rak.
“Membeli atau tidak, itukan tergantung ada atau tidak minat buat membaca.”
“Bukannya tergantung punya uang atau tidak? ”
“Kalau orang punya minat yang kuat, apalagi kalau kegiatan membaca itu sudah menjadi kebutuhannya, uang itu menjadi urusan nomor dua ”
“Ah teori…”
“Lho, ini bukan sekedar teori. Bisa saja kan kita pinjam dari teman, atau ke perpustakaan, atau cari cari gratisanlah, seperti kamu ke Parikesit.”
”wah, kalau semua orang seperti itu, bisa gawat. Makin banyak saja orang yang terjangkit kleptomania. Makin banyak orang yang mengandalkan kroni untuk kepentingan pribadi.”
“Kamu jangan menggeneralisasikan masalah dong. Tidak semua orang yang tak punya uang punya kebiasaan mencuri atau meminjam buku tanpa ijin pemiliknya. Mereka yang beruang juga ada yang begitu. Dan tidak semua anak atau keluarga pejabat memanfaatkan fasilitas negara.”
“Benar juga sih. Tapi kalau dipikir pikir, kenapa orang orang yang secara ekonomis mampu membeli kendaraan, tapi untuk sebuah buku atau surat kabar saja tak bisa?”
“Ya, seperti yang aku bilang tadi, tergantung minat atau kebutuhannya dong. Mungkin mereka merasa kalau membaca buku itu hanya menghabiskan waktu untuk bersepi sepian. Sangat melelahkan sekali, sementara itu perkembangan teknologi informasi melalui media elektronik semakin canggih. Mereka lebih memilih cara yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi, bisa lewat radio, TV, hand phone, atau komputer.”
“Aku jadi bingung, sebenarnya berkembangnya teknologi informasi elektronik itu memajukan atau memundurkan masyarakat ya?” mang Papay benar benar bingung dalam masalah satu ini.
“Tergantung kamu memandang dari sudut mana. Kalau dari kemajuan teknologi, jelas itu merupakan tuntutan zaman. Apalagi dalam menuju abad kesejagadan, teknologi informasi, terutama media elektronik menjadi sangat penting, karena dengannya bisa menyebarkan berita secara lebih aktual dan cepat.” Jawab mang Odon tangkas dan percaya diri.
“Aku percaya. Tapi kondisi demikian justru malah semakin membentuk setiap individu menjadi masyarakat yang praktis, serba ingin cepat, instant Ini membuat masyarakat terbiasa dengan budaya lisan. Padahal buat saya, itu kurang baik, kondisi itu hanya menciptakan masyarakat yang tidak memiliki modal berpikir yang mapan yang sesungguhnya sangat dibutuhkan memasuki era kesejagadan itu. Kita mesti membentuk masyarakat yang sistematis dan dinamis, dan untuk itu, kerangka berpikirnya pun harus disistematisasikan. Hanya dengan membudayakan baca tulislah masyarakat seperti itu bisa tercipta.” Mang Papay lebih percaya diri lagi menanggapi mang Odon. Mereka sampai lupa menutup pintu café ¹ang sejak siang tadi masih menganga.
“……….. “ mang Odon mikir sejenak. Mang Papay menyulut sebatang rokok….. mikir juga.
“Kalau begitu sebenarnya dua duanya sama sama penting. Kita tak bisa menafikan salah satunya. Antara budaya baca tulis dan budaya bicara dengar, harus diseimbangkan. Begitu mungkin, ya?” tak sia sia mang Odon meluangkan waktu sejenak untuk berpikir.
“Tapi saya pikir sangat sulit sekali. Kondisi ini sangat dilematis sekali. Bisakah kita memajukan masyarakat kita dengan dua tuntutan masa depan tersebut, antara tuntutan perkembangan teknologi yang semakin modern dengan kehandalan cara berpikir masyarakat terhadap tantangan masa depan?” tak sia sia mang papay menyulut sebatang rokok…. mikir juga.
“Inilah PR bangsa kita. Menurutku pembudayaan baca tulis dan tuntutan perkembangan teknologi informasi mesti bisa berjalan seiring, menjadi simbiosis mutualisma, begitu.” Mata mang Odon semakin terang, kantuk dan lelahnya terlupakan kalau sudah terlibat dalam suatu perbincangan, terutama dengan mang Papay.
“Sejak sering membaca, kamu jadi sering bicara pakai istilah istilah ilmiah, bahasa susah, kalau kata Mataharitimoer, biar dianggap pintar ya?” mang Papay nyeleneh.
“Ah, bukan begitu. Itu cuma pengaruh baca saja. Parikesit juga suka begitu”
Mereka masih terus bercengkrama. Tak terasa hari sudah menjelang subuh dan pintu café asih juga ternganga. Parikesit tak pulang malam ini.
========================================
Pengirim : mataharitimoer
========================================