Untuk pertama kalinya sejak empat tahun yang lalu aku menginjakkan kaki di Bumi Tegalboto, julukan khas mantan kampusku tercinta. Di sana sini sudah banyak perubahan yang terjadi. Tak salah kiranya aku nyatakan bahwa Pak Kabul telah berhasil membenahi Universitas ini. Mungkin untuk dikatakan ideal masih belum, mengingat masih banyak PR yang harus diselesaikan. Namun dibandingkan dengan empat tahun lalu, di saat aku merasakan enaknya menjadi wisudawan, Universitas Jember sungguh telah mengalami berbagai macam kemajuan.

Di sepanjang perjalanan menuju lokasi Fakultas Pertanian, tempat pertemuan alumni dihelat, terlihat pohon pohon mahoni yang menghijau dan tumbuh besar besar. Aku sempat dibuat dis orientasi atau kehilangan jejak, kata anak kecil sepermainanku dulu dalam permainan mencari jejak di siang bolong. Pohon pohon yang dulu dibiarkan meranggas tak terurus, sekarang begitu rimbun dan menghijau ranau. Tak heran jika burung burung pun betah tinggal di antara ranting rantingnya.

Suasana Fakultas masih sepi waktu itu. Tak banyak orang lalu lalang di seputaran gedung pertemuan. Dari muka muka mereka hanya sedikit sekali yang aku ingat. Hmm…mungkin Pak Rektor benar benar menjalankan policy nya untuk mengurangi karyawan mengingat subsidi dari pemerintah telah banyak berkurang. Mahasiswa mahasiswanya pun sudah tak kukenal. Rasanya aku berada di lingkungan yang terasing.

Aku bersabar menunggu digelarnya acara yang katanya akan dimulai jam 09.00 pagi. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 09.00, sementara tak banyak peserta yang hadir di ruangan itu. Panitia pun masih satu satu. Rupanya ada satu hal yang belum berubah dari almamaterku, jam masih sintetis alias karet

Tepat jam 10.00 pagi acara mulai digelar. Aku mengambil posisi duduk paling depan bersama alumni alumni yang terlihat sudah jauh lebih tua dariku. Aku cuek bebek, peduli amat dengan senioritas. Kupikir aku tak akan memperoleh apa apa dari pertemuan ini jika aku tidak berinisiatif, paling tidak dengan aku duduk di depan aku bisa berkomunikasi dengan orang orang yang aku pandang telah sukses dalam kariernya. Siapa tahu dari mereka networking dapat dibina.

Acara dimulai dengan dikumandangkannya tilawah dan pembacaan sari tilawah sebagaimana kebiasaan orang di daerah ini. Jember memang bukanlah NAD yang sangat lekat dengan julukannya “Serambi Mekah�. Tapi Jember merupakan basis Nahdliyyin yang sangat berpengaruh di bumi Jawa bahagian timur ini. Jadi, pantas saja dalam setiap kesempatan, nilai nilai keislaman selalu berjalan sinergis dengan kehidupan warganya termasuk dalam kesempatan kali ini.

Setelah melalui acara acara yang terkesan membosankan, tiba saatnya acara temu kangen digelar. Saat yang sebenarnya aku nanti nantikan itu justru membuat aku menjadi kelabakan. Tak satupun dari peserta yang hadir kenal denganku, aku pun tak mengenal mereka. Kemana mereka?Apakah teman teman angkatanku telah menjadi orang super sibuk sehingga tak menghiraukan lagi acara acara semacam ini. Sudah jadi orang gedongan jadi lupa sama kawan?

Jadilah aku duduk termangu menghindar dari keramaian, karena aku merasa tidak in touch berada di dalamnya. Sejurus kemudian ada niatan hati untuk pulang. Misiku menjalin network pun kandas karena yang datang tak terlalau menghiraukan keberadaan orang yang tak begitu dikenal ini. Maklum aku bukanlah aktivis kampus sehingga aku pun tak terlalu luas memiliki pergaulan.
Namun langkahku terhenti ketika lamat lamat terdengar suara seperti memanggilku.
“Mas…Rauf…�

Terlihat olehku di kejauhan seorang wanita berjilbab hitam nan lebar menutupi hampir semua bagian atas tubuhnya. Sepintas lalu aku seperti mengenal suaranya. Tapi melihat dandanannya, sepertinya bukan wanita yang sangat kukenal dulu. Yah..suaranya begitu mirip Kartika, wanita pujaan yang telah terputus karena berbeda prinsip denganku. Ia seorang Nasrani sedangkan aku muslim, jelas tak bisa disatukan sekalipun sebahagian ulama mengesahkan pernikahan semacam itu. Tapi yang kulihat kali ini berjilbab.

“Mas Rauf masih inget aku nggak?�
Ya…tidak salah lagi, “Kamu Kartika kan?� tanyaku spontan.

“Emang ada cewek yang mau memanggilmu selain aku,� katanya berkelakar.

�Aku berjilbab sejak mengenal Islam, Mas. Mas Gunadi yang memperkenalkannya padaku.�
“Oh ya…Alhamdulillah…aku turut berbahagia karena ternyata Kartika telah melihat suatu hal yang paling haq di kehidupan ini,â€? kataku. Aku tak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaanku. Mengapa ia tidak mengenal Nya dariku. Ah tidak apa apa, toch sama saja, yang penting ia terselamatkan.
“Omong omong Mas Gunadi itu siapa?�
“Oh..Dia suamiku, Mas. Kenapa, nanti Kau kuperkenalkan padanya.�
Semakin tercekat saja tenggorokanku. Sejenak aku salah tingkah. “Waduh, bener kan aku telat meminangmu. Coba dulu aku tidak egois dan mau bersabar denganmu pasti kau jadi milikku.� kataku penuh penyesalan.
“Sudahlah Mas, mungkin kita memang tidak berjodoh. Siapa tahu Mas Rauf akan mendapat yang lebih dari sekedar aku. Lebih cantik, lebih shalihat dan lebih perhatian.�
“Yah..semoga saja. Do’ain Mas yach…�
“Oh tentu, dalam setiap do’aku aku selalu menyelipkan do’a untuk kebaikan semua orang yang telah membuat aku seperti sekarang ini termasuk juga Mas Rauf.�
“Terimakasih, Tika.�

Obrolan santaipun mengalir dengan sendirinya. Mulai dengan menanyakan kabar masing masing keluarga sampai pada bicara iseng mengenai cita cita yang dulu pernah diucapkan. Apakah keduanya telah berhasil atau belum. Suatu perbincangan yang selalu mengajak aku dan dia tak ada henti hentinya tertawa.
“Sekarang kerja atau bagaimana Mas?�

“Wah…orang seperti aku ini gimana bisa dapat pekerjaan mapan, Ka. Kalau bicara soal ini, aku jadi bersyukur Kamu tidak jadi sama aku. Kalau jadi sama aku, mau aku kasih makan apa Kamu. Sekarang aja untuk menghidupi ibu dan adik adikku sulit sekali.�

“Emang Mas sekarang kegiatannya apa…�katanya manja
“Aku wiraswasta kecil kecilan,� ungkapku sedikit malu malu.
“Wiraswasta……bidang apa? Masih tetap dalam idealisme pertanian kan?� tanyanya penuh selidik.
“Yup…aku masih tekun di sana. Suatu saat jika kau tak sibuk, mampir aja ke rumah terus ajak juga suamimu yach..aku ingin sekali kenalan dengan arjunamu itu. Pasti ia adalah orang yang sangat bijak.�

Kartika sedikit terkejut dengan perkataanku itu. Lantas ia pun menjawab sekenanya,�oh ya boleh lah. Tapi…….�
“Tapi kenapa?� tukasku memotong.
“Ah nggak papa deh entar aku usahain.�
“Suamimu sibuk banget yach..pasti dia orang kantoran.�

“Ya..boleh di bilang begitu lah…tapi jangan salah loh. Bukan karena itu aku tertarik padanya, jauh, jauuuh sekali untuk dinilai. Aku kagum atas kesabarannya dalam menjalani kehidupan. Tau nggak Mas dia pernah bercerita sebelum dia sukses dalam kariernya sekarang perjuangannya setengah mati deh. Maklumlah dia khan orang HI, kalau nggak di jalur diplomasi diplomasi gitu, di jalur manalagi dia bisa kerja. Nyaris tak ada khan? Pernah suatu kali dengan berbekal uang seratus ribu rupiah dia berkelana di pulau Jawa. Dia pernah ke Semarang, bahkan sampai ke Jakarta untuk mencari kerja. Tapi usahanya sia sia belaka. Tak satupun instansi yang mempekerjakannya. Mereka bilang tidak ada lowongan sesuai dengan bidang keahlian yang Mas Gunadi punya. Akhirnya beliau kembali ke Jember. Untunglah ada saudaranya yang bekerja di dinas sosial yang mau menampung Mas Gunadi bekerja.�

“Keinginan dia untuk berkarya lebih dari yang orang lain bisa, agaknya telah membuat tekatnya begitu bulat menghadapi tantangan hidup. Katanya sih dia ingin orang melihat dia sebagai orang sukses walaupun dari kalangan ekonomi terbelakang. Itu dapat memberi kebanggaan buat kedua orang tua dan masayarakat sekitar kampungnya. Sampai akhirnya sekarang dia diterima bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar RI di Jepang.�

Dengan penuh semangat Kartika melanjutkan ceritanya,“Namun ia tidak pernah sombong. Dia hanya ingin aktualisasi dirinya diakui, tidak lebih. Dan lebih mengagumkan lagi, dalam keadaan seperti ini dia masih ingat pada Tuhannya. Tengah malam tidak pernah sekalipun dia terlelap tidur. Akupun bisa bangun atas jasanya yang setia membangunkanku via telephon. Sholat wajib tidak pernah bolong berjamaah bahkan ia lengkapi pula sholat wajib itu dengan rawatibnya. Sholat dhuha juga tidak pernah lupa untuk dikerjakan sekalipun hari itu dia betul betul sibuk. Dan dia pun tak pernah meletakkan punggungnya di atas kasur yang empuk sebelum ia berwudhu dan sholat witir. Dalam suratnya yang kuterima kemarin, diapun menyertakan muthaba’ah hariannya. Subhanallah aku jadi malu melihat diriku sendiri. Ibadahnya jauh di atasku.�

“Kami saat ini boleh dikatakan hidup sejahtera. Namun bukan berarti rumah megah dan mobil mewah yang kami kumpulkan sehari hari. Memang kami sering berjual beli, tapi bukan jual beli barang yang kami lakukan melainkan jual beli seperti yang pernah dijanjikan Allah. Aku di kampus mengajar sedangkan suamiku mengabdi pada negara melewati jalur yang dia tekuni. Aku yakin Mas Gunadi juga tak akan melupakan agamanya di setiap langkah beliau walau kamu berjauhan.�
“Wah..jadi nggak enak nih jadi aku sendirian yang banyak omong.�

“Tidak apa apa, Tika. Ceritamu justru melecut semangatku untuk berbuat lebih baik lagi. Subhanallah, pantas saja kamu begitu memuja suamimu sedemikian rupa. Bahkan jika seandainya Nabi mengizinkan istri bersujud pada suami sebagaimana hadits yang beliau sabdakan pastilah engkau tergolong wanita pertama yang akan bersujud padanya. Aku ngerti betul kebiasaanmu. Jadi aku bisa menyimpulkan demikian bukan.�
“Hmmm…bisa jadi seperti itu. Suamiku memang tak kan pernah aku lupakan jasa jasanya, tak kan pernah.� katanya sambil menguatkan intonasinya aku lihat matanya terpejam seperti ia pun mengikrarkan sesuatu dalam hatinya.
Tiba tiba kami dikejutkan suara adzan Ashar yang berkumandang dari Masjid Fakultas, “Eh…Ka..aku pamit dulu yach..keburu Ashar nih.�

“Oh.. ya Mas…maaf aku tidak bisa menemani,� katanya tersipu. “Eee.. terimakasih sudah mau mendengar ceritaku. Kapan kapan kita ketemu lagi yach..Saat itu Mas Rauf yang harus bercerita padaku dan suamiku. Tapi..ngomong ngomong boleh minta kartu namanya nggak?�
“Wah..Ka..kartu nama aku tak punya tuch.�
�Tulis alamat Mas di sini saja deh, biar aku ndak lupa nanti kalau sudah pingin main.�

Setelah alamatku di desa dibubuhkan di atas kertas putih itu, akupun beranjak pergi menuju Masjid Fakultas yang tak jauh dari tempat kami ngobrol tadi. Pelajaran hidup yang sangat berharga aku dapati dari seorang gadis yang sekarang telah menjadi Ny. Gunadi. Ternyata Tuhan tak perlu orang meminta hidayah jika dia sudah menghendaki. Pantas saja Nabi pun ditergur Nya ketika tahu Abu Thalib paman tercinta tak jua memperoleh hidayah Allah hingga masa nadza’nya. Kalau Allah sudah berkehendak, bajingan kelas kakap pun bisa kembali ke jalan yang diridhoi Nya. Sosok Gunadi yang diceritakan Kartika tadi terus terang membuat aku begitu penasaran. Ingin segera aku menemuinya.

Aku masih duduk termangu di tepi dangau sambil sesekali kusibak kolam air tawar di bawahku. Ada banyak ikan mas dan mujair di sana. Lahan pertanianku kini memasuki masa tunggu sebelum panen. Di mana banyak burung pipit yang sering menggoda petani entah itu pagi atau siang. Sesekali aku biarkan burung burung itu menikmati bulir bulir padi yang telah ranum. Ya..mungkin itu sudah bagian rizkinya. Namun ada kalanya juga aku usir mereka jika sudah keterlaluan. Aneh, mungkin itu penilaian orang padaku. Burung makan padi kok dibiarin. Kebiasaan itu aku lakukan karena setelah dihitung hitung antara padi yang dibiarkan dimakan burung dengan kita berusaha mati matian tidak jauh berbeda hasilnya ketika panen, paling beda lima kilo.
Dan mungkin kotoran mereka, setiap kali memakan padi, membuat areal sawah menjadi terjaga kesuburannya. Dan ikan ikan yang hidup di antara padi padi atau yang dikenal dengan sistem mina padi menjadi semakin gemuk. Jadi kupikir tak ada salahnya berbagi dengan burung.
“Assalamu’alaikum….,� ucap salam yang dari suaranya sudah kukenal. Segera kujawab salamnya itu. Dengan penuh antusias kumenoleh ke arahnya,�Wa’alaikum salam….�
“Eh..Kamu Ka…â€? kataku pura pura tidak tahu. Aku sungguh belum siap menghadapi tamuku kali ini. Apalagi bertamunya di sawah yang penuh lumpur ini. Tak pantas rasanya aku menerimanya di sini.
“Wah…kok tahu aku di sini. Kenapa nggak nyuruh orang memanggilku saja tadi?�
“Itu si Husni tadi kasih tahu. Tadinya sih pingin nunggu, tapi kata Mas Gunadi sekalian aja langsung di ajak ke sini. Pingin melihat dari dekat usaha apa aja yang sudah Mas rintis.�
“Ya inilah wiraswasta kecil kecilanku Tika.� kataku tanpa rasa malu sedikitpun.

Setelah berbasa basi dengan Kartika, akupun menoleh ke arah belakang tubuh Kartika. Ku lihat orang dengan bentuk tubuh yang aneh. Ia berdiri di atas lututnya, hanya tongkat kecil berukir naga di bagian kepalanya yang terlihat setia menyokong tubuhnya. Tapi kulihat wajahnya tampak bersih dan rupawan. Coba kalau dia tidak cacat pasti sudah banyak wanita yang mendekatinya. Husss..Astaghfirullah…aku mulai bersikap apriori.

Rupanya Kartika melihat gelagat mataku,“Eh ya kenalin Mas ini Mas Gunadi suamiku yang sempat aku ceritakan pada Mas tempo hari.�
“E..e eh…iya kenalkan saya Rauf. Ahmad Rauf teman kuliah Kartika.�

“Saya Gunadi, senang berkenalan dengan Mas Rauf. Dik Kartika banyak cerita soal Mas Rauf.�
“Oh ya…wah jadi malu nih. Dipanggil Mas lagi, waduh nggak pantas rasanya.�

Aku masih terkesiap dengan penjelasan Kartika tadi. Sehingga begitu gugup aku menyambut tangan Gunadi yang terlihat begitu tenang itu. Sekalipun dia cacat tapi tampak rona rona optimisme yang tersimpul dari wajahnya. Aku tak perlu ragu lagi untuk memaklumi kekaguman Kartika pada sosok Gunadi.

Aku mulai menyimpul nyimpulkan sendiri bagaimana sosok Gunadi. Tidak salah apa yang dikatakan Kartika kalau Gunadi benar benar sosok pilihan. Bahkan jarang ada duanya. Tak kusangka Gunadi yang dengan uang seratus ribu rupiah pergi melancong ke Jakarta adalah seorang diffable yang akhirnya aku tahu itu semua berawal dari kecelakaan imunisasi di waktu kecilnya. Tak kuduga seorang yang penuh optimis itu orang yang memiliki hambatan yang lebih besar dariku. Tak kusangka orang yang selalu menjaga ibadahnya ketika berada di puncak kesuksesan karier adalah Gunadi yang berjalan pun harus bersepatu khusus dan dengan bantuan tongkat.

Subhanallah, begitu tegar ia menempuhi hidup yang penuh dengan ironi ini. Bagaimana seandainya aku yang terlahir cacat lalu dicibir oleh para pemilik modal bahwa aku tak layak untuk bekerja di tempatnya karena tidak memenuhi persyaratan. Entahlah, yang jelas aku semakin merasa kecil di hadapannya. Sungguh beruntunglah Kartika mendapati suami yang sangat tegar ini.

“Yaa beginilah aku sekarang, hidup dari bertani. Mungkin banyak orang yang beranggapan bertani adalah pekerjaan rendah. Sudah banyak cibiran yang aku hadapi berkaitan dengan profesiku ini. Wuikk..disekolahin tinggi tinggi kok jatuh jatuhnya jadi petani begitu kata mereka. Namun bagiku, bertani adalah pekerjaan mulia. Dan siapa tahu aku bisa mengikuti jejak Sudwikatmono sebagai petani tulen yang sukses. Tapi nggak tahu kapan bisa menyamainya. Wong lahanku cuma saipet gini. Tapi aku sudah berusaha semampuku dan berbekal keilmuan yang aku dapat di kuliah dulu.�
“Betul, Mas. Mas Rauf tidak perlu berkecil hati. Coba saja petani berhenti bekerja, maudapat darimana kita makan.� kata Gunadi menghiburku.
“Betul itu, lagian siapa tahu nanti Mas bisa sukses, terus bisa jadi contoh baik bagi petani yang lainnya.� tambah Kartika semakin menyemangatiku.

“Ngomong ngomong di Jepang lagi booming Edamame. Coba saja Mas, siapa tahu lahan Mas ini cocok. Di sana harganya aku dengar mahal banget. Mas bisa untung gede loh?�
“Wah..boleh juga dicobain tuch.� kataku penuh semangat

“Nanti aku coba kenalin Mas dengan rekananku di Kedubes, siapa tahu dia bisa membantu Mas Rauf kalau Mas mau. Dengar dengar temanku punya kenalan di perusahaan pengolahan Edamame. Tapi ya harus banyak stock kalau mau dieksport. Kalau stock sedikit mereka bakalan nolak.�

“Wah..terimakasih, Dik Gun. Saya mau banget tuch. Dari dulu kami juga pengen sebenarnya, tapi soal penyalurannya itu loh kami ndak punya link ke sana. Tapi entar deh aku ajakin lagi.�
“Ya..Saya coba membantu mengupayakan. Nanti kalau Mas sudah panen padinya segera hubungi aku via surat di Jepang. Aku akan balik dua hari lagi.�

Obrolan terus berlanjut hingga tak terasa bedug dhuhur berkumandang. Aku ajak mereka bertandang ke musholla yang sengaja kubuat di tepi sungai dekat sawah. Aku membuatnya agar orang hendak ketika sholat tidak harus pulang pergi.

Selepas sholat, mereka berpamitan pulang. Kepergian mereka terutama Gunadi memberikan kenangan yang membekas dalam hati. Sungguh aku jadi malu sendiri. Siapa nyana aku yang begitu sempurna ini harus berhutang budi pada orang yang secara fisik lebih lemah dariku. Gunadi telah membelalakkan mataku dan mungkin juga mata semua orang yang melihatnya. Kini aku sadar, Gunadi dan kawan kawan diffable lainnya bukanlah objek belas kasihan. Jadi….jangan lagi katakan mereka tak bisa. (Fian)

========================================
Pengirim : Rudiar
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *