Kini aku ingin mengajakmu mengenang masa lalu kita, entahlah begitu tiba tiba. Seperti sebuah besi berani yang menarik narik serbuk serbuk besi yang bercampur aduk dengan pasir, seperti yang sering kita lakukan dahulu. Besi berani yang kita ambil dari speaker radio atau tape yang sudah rusak milik Ayah, yang kita bungkus dengan plastik agar serbuk serbuk besi itu dapat di ambil dengan mudah, dengan melepaskan bungkusan plastik itu. Lalu serbuk besi itu akan kita kumpulkan, sebab kita yakini jika serbuk itu ditanak bersama air, ia akan mengeras membatu menjadi sebongkah besi. Tapi kita memang bodoh, bahkan kita tak pernah tahu kapan serbuk serbuk itu menjelma besi batu, toh yang kita tahu bahwa kita senantiasa gembira dan ceria, tak peduli celana dan baju dikotori tanah dan pasir, tak peduli kemudian kita akan mendapat marah Emak, dan tak peduli apakah serbuk besi yang kita kumpulkan apakah benar benar akan menjadi besi.
Entah mengapa, akhir akhir ini aku begitu sering mengenangkan masa kecil kita dulu, semacam riutal serupa simponi, yang mengalun lewat angin dan wahyu nasib. Aku di sini, dan engkau entah berada di mana kini.
Seiring waktu yang berlalu yang pasti tak terulang, dan kita tak kuat untuk melawan belenggu nasib, kita yang kadang harus bertemu, dan di lain saat harus berpisah. Kita sama sekali tak menjadikan itu sebagai masalah, untuk hanya mengekalkan ikatan persahabatan, yang kita sendiri tak begitu mengerti apa artinya bahkan.
Jalani saja kisah ini, katamu satu ketika. Dan memang benar seperti itulah kita, berjalan seperti biasa mungkin sangat biasa. Masa lewat begitu cepat laksana kilat yang meskipun tak kita jalani bersama tapi kita tetap seperti dulu jua. Terikat dalam semacam kenangan yang tak hendak kita lepaskan.
Engkau pasti ingat, ketika untuk pertama kali aku merasa mengharuskan diri berpamitan kepadamu. Aku akan pergi ke kota, untuk sekolah. Kataku. Seolah olah perpisahan yang akan kita lakukan adalah perpisahan yang akan menempuh waktu teramat panjang. Perpisahan yang sama sekali tidak kita inginkan, aku tahu itu dan aku yakin bahwa kau pun saat itu tak ingin berpisah. Matamu terlalu banyak bicara melebihi sejuta bahasa, meski air mata tak sanggup engkau bendung. Menetes, mengalir dan menandai serupa anak sungai di pipimu.
Akhirnya kusaksikan engkau kemudian tertawa, ketika beberapa bulan kemudian lewat kita kembali berjumpa saat libur sekolah. Bukankah engkau telah pamit untuk pergi? Katamu sambil menahan senyum, lebih sebagai ucapan selamat datang. Kita kemudian memang sama sama tertawa, entah apa yang kita tertawakan, misteri nasib atau menertawakan kita yang tidak berdaya?. Itu lucu bukan.
Dan kala itulah untuk pertama kali aku begitu mengagumi kecantikanmu yang kau biarkan alami. Sebab mana ada yang jual peralatan kosmetik di tempat kita, katamu menyambut pujianku. Kecantikan memang tidak bisa disembunyikan, begitu juga sesuatu yang buruk. Kau yang mengaku diri sebagai gadis desa sederhana adalah kebohongan yang terlalu jujur, semacam pengukuhan akan kecantikanmu.
Kau pasti ingat khan ketika suatu petang aku mengajakmu ke Jembatan Merah, jembatan lama buatan Jepang kala perang. Di sana kita duduk berdua berlama lama, berdua saja kita. Entah apakah akan ada orang yang menganggap kita kala itu adalah sepasang kekasih. Tapi kita tak peduli. Bagi kita, kata kata semacam itu tak pernah berarti apa apa. Sama juga ketika anak anak kecil yang sedang bermain di sungai Kedurang yang mengalir jernih di bawah jembatan meneriaki kita, “Santingan santingan santingan” kata mereka beberapa kali. Dan aku pasti ingat, pipimu bersemu merah semerah delima, entah malu entah bahagia, atau mungkin campuran kedua duanya.
Mengapa kemudian kita tidak bertanya akan waktu yang pasti berlalu? Sebab kita tak pernah kuasa ketika kemudian harus berpisah satu sama lainnya. Berulang kali aku berpamitan kepadamu, dan yang kusaksikan dari matamu yang semakin lama semakin aku kenali, adalah semacam keikhlasan yang tidak engkau sadari. Aku yakin.
Apakah di antara kita tidak ada rasa? Kenapa kita mempermasalahkan rasa? Tanyamu sebaliknya. Sebab adalah rasa, ketika ia di pujikan hati dan dilisankan oleh tingkah. Lisan yang diratapkan hanyalah penghalang yang menjadikan ia melalui perjalan yang lebih panjang. Satu yang tak bisa aku pahami adalah, kenapa engkau bisa lebih tabah?
Kini di jauh waktu yang lebih maju, ku bawa kembali pikiran ini menuju kenangan kenangan itu. Ku tuliskan lewat surat, yang pasti tidak akan pernah sampai ke tanganmu. Biarlah, untuk hati yang terikat, apa lagi yang sanggup merentangi mereka? Kecuali kiamat ada dalam kehidupan kita.
jimbo jogja, 5 Juni 2004
Jembatan Merah adalah nama buatan penulis untuk sebuah jembatan di sungi Kedurang, Kecamatan Kedurang Bengkulu Selatan. Sungai yang dialirkan dari Bukit Barisan Sumatera bagian Tengah.
Santingan adalah bahasa Kedurang untuk kata kekasih. Bahasa Kedurang termasuk dalam rumpun bahasa suku Pasma, bahasa ini juga digunakan di Kecaman Padang Guci Bengkulu Selatan, Pagar Alam Sumsel, Lahat, dan Tanjung Sakti beberapa daerah Sumsel yang berbatasan dengan Bengkulu bagian Selatan.
========================================
Pengirim : jimbo
========================================