Ketika semua pihak sibuk menyongsong hajat Pemilu lima tahunan, Pemerintah Megawati menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No.1 Tahun 2004. Isinya, memungkinkan pengusaha tambang untuk mengeksploitasi hutan lindung dan taman nasional.
SEBELAS Maret, selama tiga dekade lebih telah dijadikan sebagai hari yang sangat sakral. Paling tidak oleh rezim orde baru yang berkuasa saat itu. Pada tanggal itulah orde baru lahir, setelah Soeharto memperoleh mandat Surat Perintah 11 Maret 1966 (supersemar) yang belakangan banyak digugat otentisitasnya itu.
Kini, Sebelas Maret seolah menemukan bentuknya kembali. Meski dalam konteks dan situasi yang berbeda, Pemerintahan Megawati tanggal 11 Maret 2004 lalu telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004.
Perpu yang mengatur tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini akan dijadikan payung hukum bagi perusahaan perusahaan tambang yang operasinya terganjal oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Dengan dalih untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi, pemerintah rela mengorbankan kawasan hutan lindungnya untuk dieksploitasi perusahaan tambang.
Berdasarkan keterangan resmi pemerintah (Departemen Kehutanan) ada 13 perusahaan tambang yang akan memperoleh prioritas untuk bisa melanjutkan kegiatan eksploitasinya di hutan lindung. Ketigabelas perusahaan itu adalah; PT. Sorik Mas Mining, PT. Karimun Granite, PT. Natarang Mining, PT. Indominco Mandiri, PT Interex Sacra Raya, PT. Pelsart Tambang Kencana, PT. International Nickel Indonesia (INCO), PT Aneka Tambang (ANTAM), PT. Nusa Halmahera Mineral, PT. Weda Bay Nickel, PT. Gag Nikel, dan PT Freeport Indonesia (FI).
Tidak tertutup kemungkinan ijin ini akan diperluas bagi 137 perusahaan tambang lainnya yang saat ini mengalami nasib yang sama, terganjal oleh pasal 38 UU Kehutanan yang melarang praktik penambangan terbuka (open pit) di hutan lindung.
Tentu saja keputusan pemerintah untuk menerbitkan Perpu itu disambut lega oleh para pelaku tambang. Tetapi tidak bagi rakyat yang akan menjadi korban pertama kehadiran operasi tambang. Karena itu, sejumlah organisasi lingkungan dengan tegas menolak Perpu kontroversial itu. Saat ini, paling tidak ada 212 organisasi non pemerintah (ornop), kalangan akademisi, partai politik, kelompok pecinta alam, organisasi profesi, dan elemen masyarakat sipil lainnya yang menolak Perpu itu.
Ada banyak alasan mengapa Perpu itu patut ditolak. Pertama, dari segi proses Perpu itu cacat hukum. Pemerintah tidak transparan dalam membuat Perpu itu. Pasalnya, Perpu itu diputuskan disaat DPR sedang masa reses dan menjelang Pemilu sehingga �mengecoh� perhatian DPR. Padahal proses penyelesaian masalah tumpang tindih tambang di hutan lindung ini masih berlangsung di DPR, antara pemerintah dengan Komisi III dan Komisi VIII DPR.
Selain itu, ketergesa gesaan pemerintah dalam menerbitkan Perpu itu merupakan bentuk manipulasi atas sistem perundang undangan dan politik hukum Indonesia. Bukankah Perpu hanya dapat dikeluarkan jika kondisi negara dalam keadaan darurat?
Sementara kelanjutan kegiatan tambang secara terbuka di hutan lindung tidak mencerminkan sama sekali suatu kondisi negara dalam keadaan darurat. Sehingga Perpu hanya dijadikan alat legitimasi hukum untuk meloloskan kepentingan pihak penguasa dan pemodal. Keluarnya Perpu itu juga bakal menjadi preseden tindakan hukum revolusioner yang kontraproduktif terhadap nasib hutan dan berpotensi menciptakan preseden buruk di bidang kehutanan.
Kedua, dari segi substansi, Perpu itu sama sekali tidak mencerminkan adanya keberpihakan terhadap nasib jutaan rakyat dan keberlanjutan fungsi hutan lindung. Perpu itu justru merefleksikan keberpihakan Pemerintah Megawati terhadap kepentingan para investor tambang yang notabene dikuasai oleh korporasi multinasional. Sementara kepentingan publik malah diabaikan.
Hal ini terlihat jelas dari konsideran yang tercantum dalam Perpu itu dimana disebutkan bahwa Perpu itu dibuat demi terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia.
Ketiga, hutan Indonesia saat ini kondisinya dalam keadaan kritis. Bayangkan saja, jika tiap menitnya hutan Indonesia saat ini berkurang seluas tiga kali lapangan sepakbola (Walhi: 2004). Padahal luas keseluruhan hutan Indonesia saat ini tersisa sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya dipercaya telah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat deforestasi dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Indonesia telah kehilangan sekitar 17% hutannya pada periode 1985 dan 1997. Rata rata negara kehilangan 1 juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980 an, dan meningkat menjadi 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990 an. Sejak tahun 1996, deforestasi meningkat sampai 2 juta hektar pertahun. Saat ini laju kerusakan hutan meningkat menjadi 2,4 juta ha/ th (Forest Wact Indonesia: 2003).
Kerusakan hutan itu akan bertambah parah jika pemerintah memberikan lampu hijau terhadap perusahaan tambang. Apalagi, banyak wilayah konsesi perusahaan perusahaan tambang itu yang berada di kawasan taman Nasional, bahkan beberapa di antaranya berada di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (world heritage). Perusahaan tambang emas Newmont Horas Nauli dan Sorikmas Mining, di Mandailing Natal (Sumut) misalnya, wilayah konsesi perusahaan ini berada di kawasan hutan lindung Batang Gadis yang ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Keempat, dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia (2004), kontribusi sektor pertambangan sebenarnya tidak sebanding dengan nilai kerugian ekologi yang harus dibayar. Dari hasil studi menunjukkan bahwa 25 wilayah kabupaten/kota yang akan dijadikan lokasi kegiatan tambang, akan mengalami kehilangan nilai ekonomi modal ekologi tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun dengan pemberlakuan Perpu No. 1/2004 di atas. Padahal nilai ekonomi modal ekologi ini hanya dihitung dari kawasan hutan lindung yang luasnya tidak lebih dari satu juta hektar, hanya 925.000 hektar. Sementara nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari 25 kabupaten/kota tersebut rata rata hanya sekitar Rp 42 triliun per tahun. Artinya ada selisih Rp 38 triliun, dan itu harus ditanggung oleh pemerintah daerah.
Pemerintah juga harus berpikir ulang karena eksploitasi tambang terbuka di hutan lindung secara bertahap akan menurunkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekitar Rp 23,05 triliun per tahun nilai PDRB di 25 kabupaten/kota akan menyusut, setidaknya ketika modal ekologi terdivestasi pada tingkat yang signifikan selama 14 tahun ke depan. Nilai PAD 25 kabupaten/kota yang hanya sekitar Rp 93 miliar pada tahun 2003 juga akan turut �terdivestasi�, karena praktik tambang terbuka di hutan lindung akan menciptakan perekonomian lokal serba mahal. Ini adalah konsekuensi logis dari divestasi peranan ekologis hutan lindung yang dimainkan oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap berbagai kegiatan perekonomian masyarakat, seperti pertanian, perikanan, industri, dan lain sebagainya.
Belum lagi, tindakan �malpraktik� penambangan di hutan lindung itu juga mengancam 7 juta penduduk di mana sekitar 30 persen masih hidup di bawah garis kemiskinan. Selama ini jutaan penduduk itu banyak menggantungkan hidupnya dari hutan dengan segala peranan ekologis yang dimiliki; sumber keanekaragaman hayati, daerah tangkapan air (water cacthmen area), pencegah erosi dan tanah longsor, dan tentu saja sumber ekonomi.
Kelima, praktik pertambangan hingga hari ini belum bisa memberikan jaminan bahwa eksploitasi yang akan dilakukan tidak merusak lingkungan, berdampak sosial atau tidak melanggar hak asasi manusia. Di banyak tempat, perusahaan datang dan pergi tanpa melakukan konsultasi yang benar dengan masyarakat setempat. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip free and prior inform consent. Demikian juga ketika perusahaan tutup operasi (mine closure) selalu meninggalkan lubang lubang menganga tanpa direhabilitasi.
Sekarang semuanya berpulang kepada Pemerintah Megawati, apakah akan mengabaikan semua pertimbangan di atas hanya semata mata untuk �memuaskan� nafsu pelaku tambang, atau peduli dengan nasib jutaan rakyat dan keberlanjutan lingkungan di masa datang?
Mendorong iklim investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah sah sah saja, sejauh itu tidak mengorbankan kepentingan orang banyak. Apakah sektor pertambangan hanya pilihan satu satunya untuk mengatasi keterpurukan hari ini? Mengapa tidak pertanian, perikanan, perkebunan atau malah menggerakan sektor riil yang hari ini jelas lebih dibutuhkan rakyat.(ss/database jatam)
========================================
Pengirim : SS
========================================