“Jangan biarkan tanganmu menganggur, sebab setan bisa memperalatnya untuk
melakukan kejahatan,” demikian nasihat Ny. Gibson kepada anak anaknya.
Bagi si
kecil Alice, nasihat itu sangat tepat. Alice memiliki tabiat aneh sehingga
setiap saat perlu diingatkan. Sifat sadistisnya bisa muncul tiba tiba, katanya
karena dorongan dari dalam yang tak kuasa dicegah. Misalnya, ia kerap menyerang
orang yang mengolok oloknya. Ketika umur 14 tahun, ia pernah menghunuskan pisau
kepada kakak perempuannya. Untunglah, kejadian itu bisa dilerai dan tak
berakhir fatal.
Pasangan Tn. dan Ny. Gibson tak mengerti kenapa putri kecilnya punya karakter
begitu aneh. Yang mereka pahami adalah: Alice bukanlah gadis abnormal, bahkan
punya bakat besar dalam hasta karya atau kerajinan tangan. Keduanya juga
mengamati, bahwa setiap kali gadis itu asyik membuat kerajinan tangan, sifat
destruktif dan sadistisnya teredam. Bahkan bisa hilang dalam jangka waktu lama.
Tapi sang ibu tetap waspada. Ia tak setuju ketika suatu saat Alice memutuskan
untuk bekerja sebagai perawat. Selain sangat paham sifat putrinya, Ny. Gibson
juga tahu, pekerjaan sebagai perawat tak memerlukan banyak aktivitas tangan.
Tapi apa mau dikata, ayah menolak pendapat ibu. Apalagi ada dukungan dari guru
sekolah dan konsultan pandu bakat. Nyatanya, pendidikan sekolah perawat dilalui
Alice dengan mulus. Ketika bekerja, karier pun dijalaninya tanpa hambatan
berarti. Kekhawatiran ibunya tak terbukti.
Bosan berselingkuh
Kehidupan sebagai perawat praktis tak memberi Alice peluang untuk melakukan
hobi hasta karya. Ia harus bekerja keras untuk memperoleh nafkah yang memadai.
Barang barang perlengkapan semacam kumparan tenun, peralatan renda, atau alas
putar untuk membuat kerajinan gerabah, misalnya, terpaksa ditinggal di rumah
karena hanya akan memenuhi kamar sempit di rumah susun sewaan.
Belum lagi
keharusan untuk berbagi tempat dengan teman untuk menghemat biaya.
Dengan teman sekamar bernama Pamela itulah pembicaraan tentang kerajinan tangan
dimulai, sesaat setelah Pamela pulang dari liburan 2 hari. Ia mengenakan mantel
wol putih sepanjang lutut.
“Bagus sekali,” kata Alice. “Kesannya mewah. Pasti harganya selangit.”
“Ah tidak, aku membuatnya sendiri,” jawab Pamela.
“Membuat sendiri? Maksudmu, kamu merajutnya sendiri? Dengan tangan?”
“Ya … tidak terlalu sulit, asal tekun. Aku cuma perlu waktu tiga minggu untuk
merampungkannya.”
Rajut merajut, bagi Alice, adalah hal baru. Yang dulu sering dilakukannya
hanyalah merenda atau sulam menyulam, bukan merajut. Aktivitas merajut, setahu
Alice, hanya dilakukan oleh nenek nenek, ibu ibu pengangguran, atau perempuan
hamil yang menunggu saat melahirkan.
Tapi Pamela, yang jelas bukan nenek nenek atau perempuan hamil, nyatanya bisa
melakukannya. Maka Alice jadi ingin mencoba. Lagi pula, merajut jauh lebih
praktis ketimbang menjahit atau menenun. Tak butuh tempat besar bagi
peralatannya, karena hanya perlu segulung benang dan sepasang jarum kait.
Bisa
dilakukan di saat istirahat makan siang, di kendaraan umum, atau saat dinas
malam di rumah sakit. Secara kejiwaan, kegiatan itu sangat membantu bahkan
mengobati Alice karena memberi kesibukan kepada tangannya. Juga menghasilkan
sesuatu tanpa membeli, misalnya jika ia ingin membuat baju hangat dari benang
wol.
Alice memulai aktivitas barunya dengan antusias. Hobi baru ini rasanya jauh
lebih menyenangkan dibandingkan dengan hasta karyanya dulu.
Semangat menekuni hobi baru, untunglah, juga menyemangati pekerjaan. Karier
Alice menanjak dalam waktu cepat. Dari staf paramedis pangkatnya naik menjadi
perawat, kemudian koordinator, dan pada usia 30 ia memimpin staf paramedis yang
kebanyakan pria di Rumah Sakit Perwira St. Gregorys. Di sinilah ia bertemu
dengan Rupert Clarigate yang dirawat karena serangan jantung.
Rupert Clarigate berusia 52 tahun, masih lajang, dan telah 2 tahun pensiun
karena jantungnya tak kunjung sehat. Kendati sudah nonaktif, ia hidup
berkecukupan bahkan berkelebihan dengan uang pensiun dan rumah peninggalan
orangtuanya. Walau menempuh pola hidup sehat, sedikit merokok, dan banyak jalan
kaki, makan pun pemilih, suatu saat ia terjatuh di lantai bar karena nyeri tak
tertahankan pada sisi kiri tubuhnya. Dokter memastikan, Rupert terkena serangan
jantung. Bagi pasien dengan penderitaan begini, hari hari pertama perawatan di
rumah sakit harus diperhatikan saksama. Suster Gibson lah yang menjaganya.
“Selamat pagi, Kolonel Clarigate,” sapa Alice Gibson di pagi pertama perawatan
Rupert. “Anda semalam tidur nyenyak, pasti hari ini badan terasa enak.”
Ada sesuatu yang mendorong Rupert jadi lebih sehat, dan itu bukan semata mata
tidur yang nyenyak. Sepasang mata biru laut, badan ramping dalam balutan
seragam perawat, senyum manis, serta rambut pirang yang sebagian tertutup topi
putih.
Alice memang menyapa dengan cara begitu kepada setiap pasien baru. Terhadap
Rupert sedikit berbeda, karena laki laki ini sebelumnya tak pernah berhubungan
dengan rumah sakit.Dalam beberapa hari Rupert bisa menangkap dinamika tempat
itu. Kondisi para perawat diperhatikannya. Ada yang selalu menggerutu, ada yang
asal bekerja karena sebenarnya tak berminat, ada pula yang pasif. Alice dia
nilai berbeda karena terlihat selalu riang, cekatan, namun sabar terhadap
pasien.
“Siapa pemuda beruntung yang akan mengencanimu, Suster?” sapa Rupert saat Alice
meninggalkan kamar untuk libur keesokan harinya. Barangkali karena tak enak
dengan reaksi kaget Alice, Rupert melanjutkan, “Ah, saya tak bermaksud
mencampuri urusanmu. Saya cuma agak iri dengan nasib baik pemuda itu.”
“Tak apa apa, Kolonel. Tidak ada satu pun pemuda yang akan mengencani saya.
Saya akan menikmati malam yang sepi dengan merajut di depan televisi.”
Alice berkata sejujurnya. Ia memang tak punya pendamping, pacar, pasangan, atau
apa pun namanya. Dulu, ketika remaja, ia tak berhasil menyisihkan waktu untuk
pacaran. Satu satunya pemuda yang pernah dekat dicampakkannya dengan pukulan
seusai cekcok. Ketika Alice menentukan pilihan pada karier, waktu berjalan
terlalu cepat sehingga tak memberinya kesempatan untuk menjalin hubungan dengan
lawan jenis. Lagi pula ia cukup pemilih terhadap laki laki. Herannya, setiap
kali ada yang masuk pertimbangan, selalu sudah beristri.
Rupert Clarigate adalah laki laki yang sangat berbeda. Ia termasuk pria paling
ganteng yang pernah ditemuinya di rumah sakit. Kendati tak muda lagi, rambutnya
yang tebal memutih dan dibiarkan agak gondrong sampai menutupi bagian atas
telinga, menarik perhatian Alice yang memang benci kepala botak. Setiap kali
sempat menyisir, Alice melakukannya dengan penuh perhatian.
Ada hal lain yang makin membuat Alice suka, yakni sikap Rupert yang sopan namun
jenaka. Dari aksennya Alice tahu, Rupert keluaran sekolah umum negeri, bukan
sekolah swasta yang didominasi anak anak bangsawan. Sebagai pensiunan perwira
Inggris dalam tingkat usia yang begitu matang, Rupert sangat piawai mengontrol
diri. Misalnya, ia sesungguhnya terpesona pada Alice, namun pandai
menyembunyikan kekaguman itu. Sebaliknya, lewat pemahaman mendalam atas sudut
mata Rupert, dan kepekaan batin seorang wanita, Alice mengerti hal itu. Masuk
akal jika selewat satu minggu masa perawatan, Alice jatuh cinta kepada Rupert.
Hampir tak tersisa ruang untuk berpikir panjang atau berwaspada.
Bagi Letkol. Purn. Clarigate, inilah kesempatan untuk mewujudkan ucapannya yang
selalu diulang ulang, “Suatu saat saya pasti menikah,” setelah gagal mencapai
target, yakni menikah pada usia 35 tahun. Selama ini ia hanya pacaran,
kebanyakan berselingkuh dengan istri istri perwira. Salah satu pacarnya pernah
mengecam, Rupert sangat egoistis. Sampai kapan pun ia tak akan bisa
berumahtangga karena tak betah di rumah, tak berkeinginan punya anak, juga tak
mau berbagi nafkah dengan orang lain.
Kini, masa pensiun benar benar jadi dorongan Rupert untuk menikah. Kalau tidak,
rumah besar peninggalan orang tuanya akan terbengkalai karena tak ada yang
merawat. Kebiasaannya pun tak akan berubah, yakni makan masakan yang enak enak
di restoran mahal karena tak ada orang yang memasak untuknya. Ia pun akan terus
jadi perokok dengan alasan kesepian (karena itulah ia menyimpulkan, serangan
jantung yang melanda dirinya adalah puncak dari penderitaan karena tak punya
istri).
Apakah Suster Gibson yang manis, telaten, dan penuh perhatian, layak jadi
pilihan? Sebaliknya, Alice juga mulai mempertimbangkan, kenapa tidak berhenti
dari profesinya, dan sepenuhnya mengabdi untuk suami? Ia cinta kepada Rupert,
seorang pria baik, kaya, dan juga berambut ikal?
Keduanya belum mengambil keputusan ketika Rupert keluar dari rumah sakit, tiga
minggu setelah perawatan. Dalam masa pemulihan ia tinggal sementara di desa,
dan dari situ setiap hari ia berkirim surat kepada Alice. Ketika Rupert telah
kembali ke rumah tinggalnya karena kondisinya sudah membaik, ia tak tahan lagi
untuk segera mengencani Alice. Menjemput Alice di rumah sakit selewat jam
kerja, ataupun di flat sederhana dengan kamar sempit tempat Alice tinggal. Tiga
kali makan malam di luar, mereka pun memutuskan untuk saling bertunangan.
“Bagi orang lain, ini mungkin terlalu cepat,” kata Alice. “Tapi bagiku,
hubungan ini berlangsung begitu mendalam dan intensif. Lagi pula, adakah
hubungan lain yang lebih erat daripada hubungan antara pasien dan perawat?”
Tak cuma sambil bicara
Di ulang tahun ke 53 Rupert, sebulan setelah tunangan, Alice menghadiahi
pullover, baju hangat tangan panjang, hasil rajutan sendiri. Warnanya coklat
karat dengan strip kombinasi warna krem dan hijau tua pada garis lehernya.
Sangat pas buat mantan perwira yang tetap langsing kendati tak pernah diet.
Alice penuh semangat mendampingi Rupert. Sering mengajaknya berjalan jalan di
taman, juga dengan tekun membujuknya untuk meninggalkan rokok.
Rumah warisan Clarigate ternyata tak memenuhi selera Alice. Rupert berniat
menjualnya untuk membeli rumah yang sesuai selera. Ada keleluasaan untuk menata
dan melengkapi perabot. Apalagi Rupert menyerahkan semua tabungan kepada Alice
agar bebas mengatur anggaran.
Perkawinan mereka dilangsungkan pada bulan Mei, tiga bulan setelah perjumpaan
pertama di rumah sakit. Tak terlau ramai, karena hanya kerabat dekat yang
diundang. Ada kakak Alice. Ada pula Pamela yang datang bersama Guy, suaminya
yang pengarang cerita misteri. Di pihak Rupert hadir ibunya yang telah
menjanda, saudara sepupu, bekas atasannya di militer, serta Dr. Nicholson yang
dulu merekomendasikan Rupert untuk dirawat intensif setelah kena serangan
jantung. Pesta kecil pernikahan itu diakhiri dengan makan siang, dan pada pukul
tiga sore pengantin baru terbang menuju Barbados untuk bulan madu.
Alice tak bisa pergi berlibur tanpa membawa serta perlengkapan rajut merajut.
Maka di sela waktu bulan madu itu ia membuat tudung kepala dan sarung tangan
untuk keponakannya, jaket untuk iparnya, juga sweater panjang untuk dirinya
sendiri. Sebuah pencapaian hebat, karena biasanya, orang yang sedang berbulan
madu kalau tidak berpesta, jalan jalan, ya main di pantai. Tidak merajut.
Tapi secara keseluruhan, liburan berlangsung sukses. Alice tak perlu diajari
cara menikmati hidup, dan nyatanya aktivitas sampingannya dapat dilakukan dalam
kecepatan tinggi. Rupert puas setiap kali makan, seolah olah lupa kalau ia baru
terkena serangan jantung. Satu hal yang membuat Alice senang, Rupert banyak
mengurangi rokoknya.
Sekembali dari bulan madu, rumah baru di tepi laut perlu segera dirapikan.
Memilih dan memesan karpet, memanggil tukang ledeng, mengontak tukang listrik
untuk membenahi pemanas ruangan, dilakukan Alice dengan cekatan. Ia menolak
tawaran bantuan Rupert, tetapi juga tidak lantas melupakan kewajibannya
mengajak Rupert jalan cepat di pantai untuk menjaga kesehatan jantung. Si suami
kini dalam kondisi prima. Menapak tangga menuju lantai atas pun tak perlu
diselingi istirahat untuk menghela napas.
Hari kesekian setelah bertubi tubi disibukkan urusan rumah dan perabotan, Alice
baru bisa santai. Kebetulan, Rupert sedang pergi ke tempat praktek Dr.
Nicholson untuk kontrol rutin bulanan. Timbul keinginan untuk merajut. Ia pun
pergi ke toserba untuk membeli benang wol. Sore di hari sebelumnya, saat
jalan jalan bersama Rupert menyusuri pantai, keduanya melihat seorang pria
mengenakan kaus panjang tanpa kerah yang, kata Rupert, cocok untuk dirinya.
Alice hanya tersenyum dan menggenggam tangan suaminya.
Waktu telah jauh berjalan sejak Alice “berkenalan” dengan kerajinan rajut
melalui mantel putih Pamela. Ia kini telah mahir. Ia tahu banyak istilah
teknis, paham setiap pilinan benang dan hasilnya, tahu cara mengkombinasikan
warna, juga mengabstraksi setiap model baju untuk dikombinasi dengan ide
sendiri. Jenis jenis benang pun ia paham, dari yang kualitas terbaik berbahan
baku alami, sampai benang katun dua lapis. Setiap benang berbeda jarumnya. Ia
tahu kalau jarum kait nomor empat belas dalam versi Inggris sama dengan tipe
Eropa ukuran dua milimeter, dan di Amerika disebut ukuran double O. Dia mampu
mengembangkan berbagai ukuran pakaian hanya berdasarkan satu patron, atau
bahkan tanpa patron sama sekali. Melihat setiap model baju, ia langsung bisa
menjiplaknya dalam rajutan wol. Kemampuannya makin pesat karena emosinya
terbawa serta, sehingga bila ia masuk ke toko benang, umpamanya, ia bagaikan
seorang anak yang masuk ke toko mainan.
Bagi toko perlengkapan rajut dan renda semacam Woolcraft Limited, Alice adalah
pengunjung tetap. Untuk membeli bagan desain baju dan enam gulung benang wol,
misalnya, terlebih dahulu ia menghabiskan waktu setengah jam untuk
melihat lihat.
Di rumah, peralatan rajut dan jahit tersimpan rapi di laci besar sebuah lemari
di ruang keluarga. Selain beberapa benang yang utuh, terdapat juga beberapa
gulungan sisa, perangkat tambahan, meteran, serta beberapa pasang jarum kait
yang masing masing tersimpan rapi di dalam amplop plastik. Semuanya terdiri
atas beberapa ukuran dan nomor, termasuk nomor empatbelas yang dulu
digunakannya untuk membuat pullover warna coklat karat untuk Rupert.
Sebuah benda rajutan bisa diselesaikan dalam hitungan hari, bisa pula
berbulan bulan. Kadang sebuah pekerjaan terhenti dan tak dilanjutkan lagi. Jika
aktivitas merajut terhenti lama, saat memegang jarum lagi Alice merasakan
sesuatu yang istimewa. Bagaimana kedua tangan memegang jarum lalu bergerak
dalam irama konstan, tangannya terkena gulungan benang yang bergerak mengikuti
tarikan, dan seterusnya. Bagi Alice, aktivitas itu sebuah sensasi khas yang
sulit dirumuskan dalam kata kata. Hal itu hampir sama dengan seorang perokok
atau peminum yang memulai lagi aktivitasnya setelah sebulan absen.
“Sedang apa kamu, Manis?” tanya Rupert di suatu sore sehabis berkebun.
“Merajut,” jawab Alice sambil tersenyum kepada suaminya.
Rupert duduk di depannya, memperhatikan dengan saksama. Lelaki itu baru sadar,
selama ini cuma tahu istrinya duduk dan merajut, tanpa memperhatikan dengan
sungguh sungguh. Sekitar empatpuluh tahun lalu ibunya pernah bercerita tentang
kegiatan itu, namun baru kali ini ia mengamati bahwa merajut adalah pekerjaan
yang perlu kecermatan dan kesabaran. Jari jari Alice menyentik ke atas, ke
bawah, dan berputar dalam irama konstan ratusan kali per menit. Tangan itu
seperti terpisah dari bagian lain tubuh Alice. Dari badannya yang dalam posisi
santai, dari matanya yang sesekali melihat Rupert, dan jangan jangan juga
terpisah dari pikiran yang sedang berkeliaran entah ke mana.
“Aku baru memperhatikan sekarang, ternyata tanganmu lincah sekali membuat
rajutan,” komentar Rupert.
“Lo, bukankah aku sudah bilang, baju hangatmu yang coklat karat itu buatan
tanganku, Sayang.”
Rupert memang tak begitu ingat lagi soal baju hangat. Ia asal saja menyahut,
“Aku kira kamu membuatnya dengan mesin.”
Alice terbahak, lantas melanjutkan rajutannya. Rupert mengambil koran sore yang
baru datang, kemudian membacanya di dekat Alice. Beberapa saat kemudian,
“Apakah pekerjaanmu itu bisa dilakukan sambil ngobrol?” Pertanyaan itu diajukan
Rupert dengan nada seorang anak yang bertanya kepada ibunya namun khawatir si
ibu akan terganggu.
“Tentu saja bisa, Sayang. Aku kan perajut terampil? Jangankan merajut sambil
ngobrol. Sambil baca, sambil nonton televisi, atau bahkan merajut di ruang
gelap,” Alice menatap Rupert dengan penuh rasa kasih, sementara jari jari kedua
tangannya bergerak lincah seperti tangkai piston mesin.
Rupert tidak menanggapi omongan Alice. Ia kembali membaca koran, dan sepanjang
sore tak banyak lagi bicara, sampai saat keduanya pergi untuk makan malam.
Keesokan harinya, ketika Alice merajut lagi, Rupert melihat lagi dengan
saksama. Sesaat kemudian ia menyalakan rokok, batang pertama dalam beberapa
minggu. Ia pergi tanpa sepatah kata pun. Ketika waktu tiba bagi Alice untuk
menyiapkan makan malam, ia mendapati Rupert duduk di kursi dapur sambil membaca
buku kenangan perang.
Waktu berjalan terus dengan rutinitas yang sama. Alice selalu asyik merajut,
namun selalu bersikap manis dan tak pernah lalai akan tanggung jawab sebagai
istri.
“Manis,” kata Rupert suatu sore, “sebetulnya kita tidak terlalu perlu membuat
baju sendiri. Kita bukan orang miskin. Setiap saat kamu ingin membeli baju,
rok, atau apa pun, kamu tinggal bilang.”
“Ini bukan untukku, Sayang, tapi untukmu. Bukankah kamu bilang ingin memakai
baju hangat seperti yang dikenakan laki laki di pantai tempo hari?”
“Oh, ya? Rasanya aku tidak bilang ingin baju seperti itu. Lagi pula, kalau
memang ingin, aku toh bisa membelinya. Percuma susah payah membuat sesuatu yang
bisa kita dapatkan dalam sepuluh menit.”
“Tapi aku suka merajut, Yang. Aku cinta hobi ini. Lagi pula, pakaian buatan
sendiri jauh lebih enak dipakai daripada keluaran toko.”
“Tapi membikinnya capek dan membahayakan tanganmu.”
“Ah, kamu berlebihan. Tanganku, jari jariku, baik baik saja. Perasaanku tetap
senang. Justru yang membuatku sedih, kamu mulai merokok lagi.”
Rupert menghabiskan lima batang rokok sepanjang hari itu. Keesokan harinya dua
kali lipat, dan seterusnya sampai beberapa hari. Datanglah pasangan Pamela dan
Guy bertamu untuk liburan.
Hentikan kebiasaan itu, Sayang
Pamela tak pernah lagi merajut sejak putri sulungnya yang kini di sekolah dasar
berumur dua tahun. Maka ia sangat senang melihat Alice asyik dengan
kegiatannya. Ketika membuka laci lemari tempat penyimpanan benang dan alat alat
rajut, keinginan untuk membuat baju pun timbul. Penghematan yang cukup berarti,
pikirnya. Tapi niat itu tak kesampaian, karena seluruh waktu kunjungannya penuh
oleh kegiatan di luar rumah.
Guy, suami Pamela, ternyata cukup menyenangkan. Ia berbeda dari penulis lain
yang rata rata pendiam. Ia penuh semangat menjelaskan kisah kisah misteri
karangannya, termasuk menceritakan berbagai metode pembunuhan, kematian, serta
penggunaan alat alat rumah tangga sebagai sarana pembunuhan. Rupanya Alice
tertarik. Bahkan bersama Guy mengembangkan gagasan dan penemuan mengenai benda
yang bisa jadi alat pembunuhan.
“Ada satu zat kimia yang bisa menghambat proses pembekuan darah. Orang telah
menguji dengan menyuntikkannya kepada tikus. Ketika tikus tikus diadu, segores
luka, biarpun kecil, bisa menyebabkan kematian karena darah terus keluar,” kata
Guy.
“Saya jadi ingat pengalaman di rumah sakit,” balas Alice. “Paramedis juga
menggunakan zat itu, atau sesuatu yang proses kerjanya mirip itu. Upaya
menghambat pembekuan darah berguna bagi penderita trombosis.”
“Oh, ya?” kata Guy. “Wah, metode pembunuhan yang menarik. Mungkin di buku
mendatang saya akan menerapkannya. Akan lebih bagus kalau ditambahi unsur
perangsang, lantas ada goresan kecil, misalnya di pergelangan tangan ….”
Dalam beberapa hari, tema pembicaraan antara Alice dan Guy berkisar pada
cerita cerita misteri, modus operandi pembunuhan, serta metode kematian. Alice
mengusulkan agar Guy menggali kemungkinan lain dari kasus mabuk biasa menjadi
pembunuhan yang sulit dilacak.
“Tidak perlu dengan anggur,” balas Guy. “Ada sejenis kol yang mengandung
kalsium oksalat, yakni semacam kristal yang menimbulkan rasa pedih. Kulit yang
tergores tanaman ini bisa bengkak. Bayangkan kalau tanaman ini masuk ke dalam
mulut. Rongga mulut jadi bengkak, menyebabkan orang tak bisa bernapas. Nah,
kalau ada kasus semacam ini, ahli patologi yang kalibernya biasa saja pasti
akan menyimpulkan korban mati karena tercekik sendiri. Ia tak akan menemukan
zat yang mematikan lysichiton symplocarpus yang terkandung dalam kol itu. Satu
lagi metode pembunuhan yang sulit dilacak.”
Berpingpong gagasan dengan Guy adalah pengalaman menyenangkan buat Alice. Ia
sama dengan Pamela waktu pertama tama kenal dengan Guy dulu. Sedangkan buat
Rupert, yang punya pengalaman berdampingan dengan kematian, pembicaraan itu
memuakkan. Maka ia bersyukur ketika waktu dua minggu telah lewat, saat bagi
Pamela dan Guy untuk pamit.
Ada sesuatu yang dirasakan Alice sepeninggal pasangan sahabatnya. Tanpa sadar,
sifat sadis yang lama terpendam muncul dan terpupuk kembali, meski hanya karena
imajinasi. Betapa bersyukurnya dia karena hal itu tak berkepanjangan, sehingga
ia bisa kembali pada rajutannya yang tertunda.
Rupert menyalakan rokok.
“Kupikir pikir, kenapa aku tidak membelikanmu mesin rajut ya?” katanya.
“Aku nggak mau mesin rajut, Yang.”
“Minggu lalu, saat jalan jalan dengan Guy, ada satu mesin rajut di toko. Memang
agak mahal, tapi nggak masalah. Yang penting bisa membuatmu senang dan kerja
lebih cepat.”
“Aku bilang, aku nggak mau mesin,” suara Alice meninggi. “Intinya adalah, aku
suka merajut dengan tangan. Lagi pula aku sudah pernah bilang, merajut adalah
hobiku, minatku paling besar. Kedua tanganku bisa melakukannya, tidak perlu
sebuah mesin yang makan tempat, tidak praktis, berisik, lagi.”
Rupert terdiam. Ia hanya memperhatikan jari jari tangan Alice bergerak gerak
memainkan sepasang jarum dan benang.
“Sebenarnya, aku tak suka suara itu,” kata Rupert sambil menunjuk jari Alice.
“Suara apa?” Alice gusar.
“Itu, bunyi klak klik klak klik.”
“Ah, mana mungkin? Dari ruang sebelah tak terdengar apa apa.”
“Tapi aku dengar.”
“Kamu akan terbiasa.”
Tapi Rupert tak kunjung terbiasa. Ketika Alice melanjutkan akitivitas pada hari
berikutnya, Rupert bilang, “Ternyata bukan karena bunyi klak klik klak klik,
Manis, tapi karena jari jarimu yang menyentak nyentak naik turun itu. Rasanya
miris melihatnya.”
“Ya jangan lihat, dong.”
“Nggak bisa, Manis. Entah kenapa, aku selalu terpancing untuk melihatnya.”
Alice jadi senewen. Sesuatu yang semula dirasanya enak, terganggu oleh
tanggapan suaminya. Rajutannya jadi lamban dan tidak cermat. Mengetahui hal
itu, Rupert mencoba mengalihkan perhatian.
“Kita pergi saja, yuk. Minum minum sebentar di pantai, kemudian ke Restoran
Queen untuk makan malam.”
“Ayo,” Alice pun setuju.
“Tapi, maukah kamu meninggalkan hobi itu demi aku? Toh itu cuma sepele. Kamu
bisa beralih ke hal lain yang lebih berguna.”
Cuma sepele dan tak berguna? Alice geram, tapi tak bisa apa apa. Bagaimanapun
Rupert adalah suaminya, dan perkawinan membutuhkan saling memberi dan menerima.
Dia harus menghentikan hobi dan kebiasaan demi suaminya, karena selama ini
suaminya telah memberinya banyak hal.
dannbsp;
“Apa? Pergi dari rumah? ”
Alice merasa sangat kehilangan. Lama menjalani hobi dalam intensitas tinggi,
tiba tiba harus berhenti tanpa persiapan. Ia yang selama ini biasa membaca atau
nonton televisi sambil merajut, merasa kagok melakukannya tanpa merajut. Dengan
tangan menganggur, dia menjadi tak tenang. Rasa gelisah tak kunjung hilang.
Sementara Rupert sepertinya tak peduli. Ia tak memberi aktivitas pengganti
kepada Alice.
Sampai suatu sore, keduanya melihat sebuah sweater tergantung di etalase toko.
Warnanya krem, di bagian depan terdapat gambar sebuah pulau dalam kombinasi
merah dan abu abu.
“Berani taruhan, kamu pasti tak bisa buat yang seperti itu. Rajutan kelas
tinggi, pasti dikerjakan dengan mesin,” kata Rupert.
Alice tersentak. Emosinya naik. Ia ingin sekali menampar muka suaminya. Ia tahu
persis, barang yang dipajang itu tidaklah terlalu istimewa. Asal diberi
kesempatan, ia pasti bisa mencontohnya, bahkan dengan hasil lebih baik.
Masalahnya, Alice tak boleh lagi merajut. Keinginan yang timbul terpaksa
diredam. Tapi, sampai kapan ia tak boleh merajut? Haruskah menunggu sampai
pisah dari Rupert? Atau, haruskah menunggu sampai Rupert mati?
Pikiran kejam semacam itu bukan sekali dua muncul. Tapi tak apa apa. Menurut
Alice, pemikiran itu sama kejamnya dengan perlakuan Rupert terhadap dirinya. Ia
sering menyesali, kenapa mau menikah dengan pria yang hanya tiga bulan
dikenalnya. Ingin rasanya memukul Rupert dari belakang, menyiksanya hingga
mengiba, memohon ampun, kemudian membebaskannya kembali merajut.
Rupert menangkap ada perubahan dalam diri istrinya, tapi tak tahu penyebabnya
adalah kehilangan sesuatu yang berarti segala galanya. Rupert bahkan telah lupa
soal rajut merajut. Ia cuma menebak, istrinya pasti gelisah karena ia makin
banyak merokok. Bagaimanapun, Alice paling tahu kondisi kesehatan Rupert. Ia
paling paham akibat rokok pada Rupert. Maka dengan mantap ia pun memutuskan
untuk berhenti merokok (lagi). Ini kesempatan berhenti yang kedua sejak
menikah.Lima hari tanpa tembakau, badannya terasa ngilu ketagihan. Apa lagi di
dalam bar dengan aroma asap yang menggiurkannya. Maka ia pun membeli sebungkus
dan menyalakannya. Sesampai di rumah, satu batang lagi. Kerinduannya pada
nikotin begitu hebat, membuatnya tak peduli lagi pada sekitarnya. Ia bahkan tak
sadar Alice duduk sambil menatapnya di kursi depan. Rupert mengisap rokok
dalam dalam, lantas mengeluarkan sisa asap dengan penuh perasaan. Sehabis satu
batang, ia ingin menyambungnya dengan batang kedua. Seketika, satu tangan Alice
merampas bungkus rok”Dasar makhluk kejam dan egois Kamu boleh bersenang senang
dengan racun pembunuh yang baunya memuakkan perut, sementara aku kamu larang
melakukan hobi sederhana yang tak berbahaya Kamu memang babi yang tak punya
perasaan ”
Pertengkaran pun tak terelakkan. Berjam jam kemudian keduanya diam. Keesokan
harinya, Rupert pergi ke pusat kota untuk membeli berbungkus bungkus rokok,
sementara Alice mengunci diri di dalam kamar sambil merajut.
Keadaan baru membaik tiga hari kemudian. Rupert berjanji untuk menjalani terapi
penyembuhan kecanduan rokok, sementara Alice menjelaskan keinginannya untuk
menyisihkan waktu sejenak setiap hari untuk merajut. Mungkin satu jam sehari,
di salah satu sudut ruang makan, tanpa mengganggu aktivitas dan rutinitas apa
pun.
Awalnya memang satu jam. Alice betul betul melampiaskan kerinduannya pada
rajutan. Kendati tak lagi membuat sesuatu untuk Rupert, ia terlalu banyak
menyimpan keinginan merajut. Sehingga waktu yang satu jam mulur jadi satu
setengah jam. Terus jadi dua jam, dan selanjutnya. Ia baru sampai pada bagian
punggung baju wol wanita warna burgundi, yang diselesaikan secara penuh
konsentrasi selama dua setengah jam, ketika tiba tiba Rupert masuk ke dalam
ruangan dengan mulut menjepit rokok serta bau wiski yang menyengat. Dia renggut
benda dari genggaman Alice dan membuangnya. Alice berteriak histeris, menarik
baju dan mengguncang guncangnya. Tapi Rupert malah mengobrak abrik benang dan
peralatan rajut yang tersisa di atas meja. Sebagian benang yang menyangkut di
jari jari diputuskannya. Jarum besar coba dipatahkannya, sementara
kertas kertas pola dirobek robeknya. Alice mendorong muka Rupert dan memukul
badannya, tetapi Rupert membalas dengan mencampakkannya ke lantai. Alice jatuh
dan mengerang kesakitan, tetapi tak menTiga hari kemudian Alice minta cerai.
Rupert bilang, dirinyalah yang mestinya minta lebih dahulu, karena Alice adalah
pemicu percekcokan. Alice pun menjawab, jika itu kesimpulannya, mestinya Rupert
yang angkat kopor dan pergi dari rumah.
“Aku? Pergi dari rumah? Ngawur, kamu ”
“Tidak, aku tidak ngawur. Laki laki yang bermartabat, apalagi seorang perwira,
pasti akan melakukan hal itu,” kata Alice.
“Apa? Kamu ingin aku pergi dari rumah yang kubeli dari warisan orang tuaku?
Kamu bukan hanya perempuan sundal, kamu gila Kamu yang harus pergi Tak
apa apa nanti aku memberi santunan, karena hukum memang mengatur begitu ”
“Terus, aku kamu suruh apa? Kembali jadi perawat? Tinggal di flat kumuh? Lebih
baik aku mati. Aku akan tinggal di sini ”
Pertengkaran berlangsung berhari hari, sampai keadaan tak bisa membaik lagi.
Rupert gagal mengatasi ketergantungan rokok. Ia makin sering pergi dan pulang
dalam keadaan mabuk. Sementara Alice tak berani merajut selagi Rupert di rumah.
“Aku sudah berkorban tidak merajut demi kamu, tetapi kamu tak membalas dengan
memberikan rumah ini dengan sedikit perabotnya,” kata Alice.
“Gila kamu, mestinya bukan begitu cara berpikirnya.”
Lagi lagi keduanya berkelahi fisik. Alice menerjang Rupert dan memukul mukanya.
Rupert menangkap tangan itu, lantas menariknya hingga Alice terduduk di kursi.
Seketika kursi itu dia dorong hingga keluar ruangan. Setelah itu Rupert
bergegas pergi ke bar di pantai, minum dua gelas wiski sambil mulut
terus menerus mengepulkan asap rokok. Ketika pulang, ia mendapati Alice tidur
di kamar lain. Rupert yang mewujudkan penolakannya untuk pergi dari rumah
dengan tetap tidur di kamar tidurnya, langsung menenggak dua pil tidur. Ia pun
terlelap.
Keesokan harinya, Alice masuk ke dalam kamar Rupert. Pria itu masih pulas saat
Alice mengelap kulit kepalanya, serta menyisiri rambut tebalnya yang memutih.
Alice tak lupa menggganti sarung bantal, menyeka noda yang menempel pada baju
piyama suaminya, kemudian dengan tenang menelepon … dokter
Di mana jarum yang satunya?
“Ya, ia telah meninggal Tampaknya jantungnya tak kuat,” kata dokter. “Konsumsi
rokok dan alkohol berjumlah besar dalam waktu singkat menyebabkan otot jantung
tak sanggup menahannya. Kerusakan otot jantung yang parah,” lanjut dokter.
Alice mengangguk. “Sejak dia merokok lagi, saya selalu punya bayangan buruk.”
“Sebenarnya, dalam kasus ini …”
Dokter belum selesai bicara ketika Alice menyela, “Tapi bagaimanapun, saya
telah mengalami bulan bulan penuh kebahagiaan bersama dia.”
Dokter menandatangani surat keterangan kematian. Semuanya serba jelas, tak
perlu autopsi segala. Pamela dan Guy datang pada saat kremasi jenazah, kemudian
mengajak Alice tinggal sementara di rumah mereka.
Empat minggu kemudian Alice kembali ke rumah yang kini dia miliki sepenuhnya.
Ia bahkan bisa menambah perabotan dari uang tabungan Rupert, sementara jaminan
sosialnya sangat cukup untuk hidup. Belum lagi uang pensiun perwira, kendati
jumlahnya dikurangi, tetap berarti kemewahan bagi Alice.
Hari berganti, dan bulan berlalu. Pamela hampir tak mengenali Alice ketika
berjumpa lagi dengannya. Alice kelihatan lebih muda, lebih langsing, sebagian
rambutnya dicat warna merah. Yang istimewa, ia mengemudikan mobil sedan warna
putih.
“Bagus sekali bajumu,” Pamela memuji setelan warna burgundi yang dikenakan
Alice. Baju bagian atasnya berupa jaket tebal berenda renda.
“Aku membuat sendiri atasan ini,” jelas Alice.
“Wah, aku jadi tak sabar ingin merajut lagi. Rasanya kemampuanku tidak kalah
dari kamu, Alice.”
Esoknya, hari Minggu, keduanya berjanji untuk main di pantai. Pamela
mengutarakan lagi keinginannya untuk merajut. Tangannya sudah geregetan. Maka
keduanya lalu mampir ke rumah Alice. Sesampai di rumah, Alice membuka laci
penyimpanan perkakas rajut, diambilnya selembar rajutan warna biru yang pernah
dibuatnya namun tak dilanjutkan. “Kamu teruskan saja pekerjaan ini, dan ini
polanya. Mungkin bisa kamu buat jadi kaus hangat untuk Guy,” kata Alice.
Guy yang menyusul ke tempat itu menyahut dari pintu depan, “Ya, aku mau, aku
mau.”
Pamela setuju. “Tinggal meneruskannya, kok. Tetapi mana jarumnya, nomor empat
belas, Alice?”
Sekejap wajah Alice berubah. Dengan ragu ia mengambil amplop plastik tempat
penyimpanan jarum di dalam laci. Satu per satu dibukanya, tak ada ukuran yang
dimaksud. Pamela, yang sudah terbakar oleh semangat untuk merajut, tak sabar
ikut meraba raba alas laci. “Nah, ini dia. Nomor empatbelas, dua milimeter,
double O …. Tapi, cuma ada satu, Alice ”
“Oh, ya? Pasti yang satunya hilang,” Alice langsung merebut jarum dari
genggaman Pamela, lantas memasukkannya ke dalam laci.
“Tunggu, Alice. Pasti cuma terselip di suatu tempat, tidak hilang,” kata Pamela
kaget.
“Hilang. Aku yakin itu. Sayang kamu terpaksa tidak bisa mulai merajut malam
ini.”
Guy menyela, “Rasanya aneh, jarum yang mestinya selalu berpasangan, bisa hilang
salah satu.”
“Ya bisa saja. Barangkali terjatuh dalam perjalanan, dicari tidak ketemu,”
Pamela menanggapi. “Atau mungkin dipakai Alice untuk hal lain, misalnya
menyodok pipa yang tersumbat.”
“Ia jelas perlu besi yang lebih besar, bukan jarum kait. Nah, kalau dalam
novelku, jarum kait nomor empatbelas bisa jadi alat pembunuh. Sedikit diasah
ujungnya, bisa ditusukkan pada kulit kepala seseorang yang, katakanlah, mabuk
atau tak sadar. Tusukan bisa menembus tengkorak kepala sampai ke otak, dengan
hanya menimbulkan sedikit pendarahan.”
“Tapi kalau diperiksa dokter, pasti ketahuan,” Alice menanggapi.
“Belum tentu. Yang jelas, hampir semua pria setengah baya mempunyai tanda tanda
penderitaan jantung koroner meski kadarnya berbeda beda. Bagi ahli patologi
yang kualitasnya biasa saja, hal itu tidak mencurigakan. Ia tak akan mewaspadai
kemungkinan lain, apalagi untuk menemukan satu titik di kulit kepala, di balik
rambut yang tebal dan ikal ”
“Sudah Sudah Hentikan cerita seram itu ” sahut Pamela, setelah mengetahui
muka Alice berubah jadi pucat dan tangannya yang memegang benang gemetaran.
Pembicaraan terhenti. Alice memaksakan diri untuk tersenyum. “Oke, sekarang
kita cari kegiatan lain saja. Besok, setelah beli jarum nomor empatbelas, kita
akan merajut lagi. Aku pun harus memulai aktivitas baru karena terlalu lama
menganggur. Padahal dulu ibuku selalu memberi nasihat, Jangan biarkan tanganmu
menganggur, sebab setan akan memperalatnya untuk melakukan kejahatan.” (Ruth
Rendell/SL)(intisari, juli 1999)
========================================
Pengirim : Conan
========================================