Sketsa telah berwaktu terbaring menunggu pelangi (baca: ketenangan hati). warna warna yang akan membuat roh nya menuju pencerahan. itu adalah fase terakhir dari mimpinya akan ketentraman dan kedamaain hidup yang bagi dirinya adalah rentetan metamorfosis jiwa sebelum dibaringkan, atau penyemaian sebelum dipanen pemilik Nya.

tapi hujan seperti fragmen kalbunya yang tak berhenti menetes sehingga setiap getar bibir yang kedinginan adalah pertanyaan, yang jawabannya ditutupi oleh bayangannya sendiri,”sampai kapan ? “, detakan yang mengatur nafasnya mengalir beku dalam tulang, menjadikan tubuh lelah itu sebagaipenyangkalan. karena roh nya yangmakin kering bukanlah saksi dari harap yang jadi nyata. seandainya masih ada haknya, ia ingin mengeluh dan putus asa.” mengapa tak kau benamkan jasadku diantara celah bebatuan, aghar cacing dan ulat bisa kubahagiakan, setidaknya aku masih punya arti ?”

tapi doa dikejauhan, kasih yang menua dan kerinduan kaki kaki kecil seperti aura hangat dari seberang lautan.kehangatan yang menyelimutinya meski tipis, keyakinan yang datang dan pergi,memberinya harap ketikaharapan lainnyamengabur, meski terkadang itu tak lebih dari rasa takut dan keterpaksaan.

peperangan demi peperangan.

pertanyaan takterjawab adalah senjata ampuh untuk membunuh, tapi sketsatidak mati. bagaimana mungkin potongan jiwa dapat menerima kematian. kematian baginya bukan jasad yang kaku, bukan tubuh dingin yang harusditangisi, tapi kematian adalah terikan tertahan dari ruh yang tersiksa dan hanya bisa menerim. kematian adalah kehampaan hatinya.

dalam keputusasaan, potongan jiwa itu mencoba berbaring dalam kehangatan doa yang selalu berceramah : ” Tuhan tidak mengabulkan apa yang kamu inginkan tapi memberikan apa yang kamu butuhkan “, ia selimuti diri dengan pesan pesan hikmah cerita orang bijakdan berbudi, tapi sang doa terdiam ketika sketsa bertanya, apa yang akaudapatkan jika yang aku inginkan adalah kebuituhanku. bagaimana pengertian akan mengalir dalam tubuh penerimaan jika hikmah tidak terlahir ?. perqang dalam keheningnnya semakin berkoba, mengeruk ketabahannya sedikit demi sedikit.

dalam hening dan pelukan lututnya, sketsa berbicaradengan dirinya sendiri : apakah ini adala penghakinman, sebuah persidangan hidupdimana semua tuduhan mengarah padaku. Aku keberatan , tapi siapa yang akan mendengar. hakim adalah nama lain dari sosok tempat membenturkan diri, meski terkadang iaadlah sandaran. apakah aku adlah pencari keheningan ? jawabnnya adlah keheningan itu sendiri, lalu apa yang akan aku dapatkan dalam keheningan,bahkan aku tidak menemukan diriku, karena semunya seperti aku yang berteriak dan aku tidak tahu harus mendengar yang mana. telingaku sakit, aku butuh bisikan lembut, pembawa kedamaian hidup. tapi siapa, dimana ?

kembali semuanya adlah pertanyaan yang tidak lain adalah belati untuk perang perangberikutnya.

kekuatan tidak mampu menahannya untuk tetap tegar, bagaimanapun, ia tidak diciptakan dari api, tapi tetesan embun yangdapat menguap setiap saat. Sketsa pun terjatuh lesu, terbaring dibawah hujan yang meresap memasuki dirinya. sebelum akhirnya ia tenggelam dan hanyut.seperti sebuah kepompong, ini sketsa terbalut dan mengkristal, sebuah keadaan yang seharusnyadilangkah awal setelah ia dilahirkan adlah ketakutan terbesar dirinya, tapi semua terabaikan, sketsa mengikuti irama aliran yang menyeretnya memasuki bentuk bentukbarudalam hidupnya. bentuk yang sebenarnya lahirdari kematiannya.

adakah penjara bagi ruh yang lebih menakutkan dari neraka setelah kematian, apalagikematian itu sendiri adlah neraka yang sebenarnya. pasrahpun tak mampu menyelamatakan, karena kristal itu lebih kuat dari keyakinan saat sketsa terhanyut.

semakin jauh ia terbawa, semakin gelap, semakin hilang, dan kini antara ada dan tiada. seperti gambaran bening masa depan dalam terik matahari. Sketsa berbicarapada dirinya sendiri :

aku tidak tahu apaarti semua ini
aku berada dalam kebingungan
aku tidak tahu sampi kapan

dimanapun aku berada
dialiran manapun
aku tetap terbagi
padahal untuk hidup aku harus satu

apakah memang seperti ini aku yang satu… terbagi
inikah jalan yang mengarahkankupada hidup yang tidak berarah

aku berada dalam medan penerimaan yang aneh
penerimaan yang menumbuhkan asa menjadi penolakan ketika ia sudah dapat menggapai hatiku
kesadran yang berpilin pada poros penentangan kenyataan dan mimpi.

aku butuh keajaiaban yang lebih besar dari semua ii. aku butuh surgayangbukan berarti kenikmatan, atu hidup, tapi kehidupan.

terseret arusdan hanyut memang tidak memberi pilihan. dan sketsa tidak memiliki keinginan untuk memilih atau memutuskan akan menjadi apa, walaupun ada yang terketuk, keinginan itu adalahmenjadi aliran itu sendiri, yang menggiring dan membalut sang jiwa. dan…….

bersambung………………

========================================
Pengirim : Heri as Sket_Sa2k
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *