Lampu
Seorang perempuan berambut hitam berparas oriental membungkan mulutnya. Matanya nanar menatap lampu bohlam. Tak ada lagi yang bisa dilihatnya selain lampu. Lampu yang diciptakan manusia (laki laki) untuk dilihat perempuan dalam kesengsaraan. Bulatan cahaya itu adalah satu satunya saksi yang menyaksikan ekspresi jujur perempuan itu. Bila lampu bisa berbicara, mungkin ia akan minta untuk tidak diciptakan. Sama seperti perempaun itu; digunakan, dinikmati lalu diganti sampai �terang�nya mati.
Pernah suatu kali perempuan itu dibungkam. Ia tidak melihat lampu yang sering ia saksikan. Yang dilihatnya hanya kegelapan seperti orang buta. Ia diikat oleh nafsu, dijambak oleh birahi, diperkosa yang setan sendiri tidak menyadarinya. Mereka berpesta pora menyantap tubuh perempuan itu. Sebuah eksperimen yang lahir dari kebosanan sang pelanggan dan cerita para kawan. Ia disiksa dengan kata kata, dihina dengan tamparan, dan dipaksa menelan larva larva belatung, yang kata mereka:
�Nikmat �
�Bergizi �
�Tetesan Surga �
Sejak kecil perempuan itu dibiasakan mendengar jeritan ibunya di malam hari. Ia sadar betul ketika ia menatap lampu petromax di atas meja usang, sang ibu disiksa. Ingin perempuan itu membunuh setiap laki laki berbau masam yang datang tiap malam. Perempuan itu beranggapan:
�Mereka tak ubahnya seperti mahluk jadi jadian yang bersembunyi di bukit puncak puncak tertingggi. Dan turun ke bumi untuk menakuti dan menyerap jeritan manusia.�
Tak ada yang menyadari memang. Anggapan perempuan itu tentang sosok laki laki besar, hitam dan menyeramkan mirip Gundoruwo; sirna oleh janji janji indah sang lelaki. Sang ibu tidak percaya bagaimana mudahnya cinta merengut jiwa perempuan itu. Perempuan itu meninggalkan kampung halamannya.
Meninggalkan desiran ombak yang menggelitik pesisir pantai. Meninggalkan angin yang berhembus dari Utara, Timur, Selatan yang senang bersenda gurau dengan pohon kelapa.
Meninggalkan tempat ia pertama kali menghirup udara asin. Meninggalkan jeritan keras ibunya selama 13 tahun lebih. Meninggalkan harapan ibunya yang kelak nantinya ia mampu menjerit seperti yang disenangi kaum lelaki.
Ia pergi dan dibuatkan pilihan atas nama cinta dan kebebasan.
Perempuan itu jatuh cinta pada laki laki yang salah.
Sesampainya di kota bernama Jakarta. Ia dikagumkan dengan pohon pohon kokoh dan besar. Yang didalamnya terdapat manusia, tidak hanya manis kelapa dan intisarinya. Ia bertanya pada sang lelaki,
�Kenapa pohon pohon itu tidak berbuah?� tanya perempuan itu membuat bingung sang lelaki ketika ia menunjuk nunjuk gedung pencakar langit.
�
Mencari uang tidak semudah melempar jala ke lautan. Sang lelaki luntang lantung mencari pekerjaan tak kunjung dapat. Pintu tertutup untuk orang rendahan. Tak jarang ia ditolak dengan makian dan hinaan. Sang lelaki membawa pulang kemarahan yang terpendam. Sang perempuan menjadi sasaran.
Dipukuli, disiksa, dijadikan hewan percobaan, dan dinikmati senista nistanya binatang haram.
Sang perempuan lari mencari kebebasan. Ia mulai menduga, dimana pun ia berada, ia akan terus terkungkung. Setelah ibunya, kini pasangannya. Dan dugaannya pun tak meleset ketika ia berjumpa manusia paling sempurna, menurutnya. Namanya Shinta.
Tidak hanya Shinta memiliki dua payudara yang indah, namun juga kemaluan yang menggantung di antara kedua pahanya.
Entah Shinta atau Santo, kadang teman teman �manusia sempurna� itu memanggilnya. Perempuan itu mulai terbiasa dengan lingkungan barunya. Yang membuatnya betah adalah ketakjubannya akan dua pribadi �laki laki dan perempuan� yang Shinta dan kawan kawannya miliki adalah; ia menikmati kelembutan seorang ibu sejati dan rasa aman yang laki laki miliki. Kasih sayang yang tidak pernah ia rasakan ini, menjadi keinginan tak pasti. Tapi satu hal yang pasti, persahabatan mereka berjalan baik.
Shinta mengajarkan perempuan itu membaca ayat ayat kitab kota Jakarta. Dari puncak tertinggi, tempat tinggal para pejabat dan orang orang tinggi; sampai bawah di dasar tanah, tempat tinggal orang orang rendah seperti �manusia sempurna� mencari nafkah. Hambatan hantaman kenyataan membuatnya pasrah pada kehidupan. Ia dibiarkan dirinya dibawa fantasi para pelanggan pelanggannya :
Dipukuli, disiksa, dijadikan hewan percobaan, dan dinikmati senista nistanya binatang haram.
Kini perempuan itu menutup mata. Lampu bohlam yang ditatapnya berubah menjadi bulatan cahaya buram di kegelapan. Terdengar suara air di kamar mandi. Dulu perempuan itu sering membayangkan apa yang para pelanggannya lakukan setelah berhubungan badan. Tapi hal tersebut tidaklah menarik lagi baginya. Setelah pernah ia jatuh cinta pada salah satu pelanggannya, dan dalam satu ritual di malam sabtu, perempuan itu sengaja meninggalkan bekas bekas di tubuh dan dadanya.
Di malam sabtu depannya, pelanggan itu menamparnya melarang perempuan itu meninggalkan jejak di tubuhnya. Ketika perempuan itu bertanya, ia menjawab,
�Kamu tahu aku hampir diceraikan istriku, gara gara ini. Untung saja istriku pecaya kalau ini memar yang kuperoleh saat kujatuh dari tangga kantor.�
�
�Dina,� perempuan itu membuka mata lalu melihat lampu bohlam 25 watt.
Pelanggan itu berdiri di samping tempat tidur dimana Dina berbaring lelah. Nafas Dina yang perlahan lahan berangsur stabil. Kembali berpacu tak tentu arah. Seperti terserang asma, Dina melihat mahluk hitam, besar, yang dulu ia sering bayangkan di kamar ibunya. Senyumannya lebar hingga ke mata. Sang pelanggan memberikan lembaran lembaran uang.
Perempuan itu menerima uang itu tanpa sedikit pun melirik. Sebaliknya ia malah menatap lampu bohlam 25 gtwatt yang menggantung di atas. Ia tahu bila tidak mengalihkan padangannya ke lampu, ia akan melihat mahluk hitam, besar, menakutkan dan menyeramkan; makanya perempuan itu begitu menyenangi lampu. Satu satunya saksi yang melihat ekspresi jujur perempuan itu. Mungkin bila lampu bisa berbicara, ia tidak akan minta diciptakan. Sama seperti perempuan itu; digunakan, dinikmati lalu diganti sampai � terang nya mati.
Oleh : Ferdian
13 Juni 2004
========================================
Pengirim : Ferdian
========================================