Setiap bentuk kejadian dalam hidup, saya yakini, selalu menghadirkan makna.
Perjalanan hidup sebagai konsultan, kerap membuat saya harus bergaul intensif
dengan sejumlah orang kaya dan berada.
Berbagai macam pengalaman telah saya
lalui bersama mereka. Ada yang menyenangkan seperti bermain golf, jet ski,
menginap di hotel berbintang sampai dibelikan barang barang mewah.
Ada juga yang menyengsarakan, seperti dimarahi istri klien tanpa tahu
sebab musababnya, digoda ikut masuk ke dalam kehidupan kehidupan menyimpang,dan
masih ada lagi yang lain.
Syukurnya, sampai sekarang saya masih bisa menjaga jarak secara seimbang
terhadap semua ini. Namun, ada satu hal yang menggoda saya untuk diulas di
sini. Orang yang kaya materi, tidak sedikit yang menyesali hidupnya.
Jarang berkata syukur kepada Tuhan. Sejumlah kekayaan yang diwariskan orang tua
mereka, kerap malah membuat kehidupan penuh perkelahian, kebencian, dan
perselisihan.
Tidak sedikit keluarga pewaris saham perusahaan besar, yang selama hidupnya
berkelahi tiada hentinya. Ditandai oleh banyaknya segi tiga kebencian.
Kecurigaan terhadap setiap anggota keluarga digabung menjadi satu, kekayaan
yang dikumpulkan secara susah payah oleh generasi pendahulu, tidak membuat
hidup lebih mudah, malah sebaliknya membuat semuanya jadi sengsara.
Memang, ada banyak sebab yang bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, satu
hal pasti, ketidakmampuan untuk hidup dan berpikir sederhana, telah membawa
mereka pada lautan kehidupan yang penuh dengan tekanan.
Saya mensyukuri sekali kehidupan yang bergerak perlahan dari tataran yang
sangat bawah. Ketika masih mengontrak dari satu rumah kecil ke rumah kecil yang
lain, rasanya bahagia sekali kalau bisa memiliki rumah BTN.
Ketika masih bergelantungan di bus kota, rasanya nikmat sekali jika bisa punya
mobil. Tatkala hidup dengan makan sangat pas pasan, selalu terbayang enaknya
makan dengan daging yang memadai. Saat anak masih sekolah di sekolah negeri
sederhana di pinggiran Jakarta, ada cita cita agar mereka bisa masuk di sekolah
terkemuka.
Sekarang, ketika semua itu sudah berlalu, tidak hanya rasa syukur yang teramat
sering saya ucapkan kepada Tuhan, tetapi kepala otomatis merunduk ketika
menemui orang orang dengan tingkatan kehidupan di bawah .
Ada godaan untuk selalu menolong, bila ada kemampuan untuk melakukannya. Dan
yang paling penting, pengalaman meniti tangga kehidupan dari bawah, membuat
saya sering ingat akan pentingnya kesederhanaan hidup.
Seperti pernah ditulis Deana Rick dan rekan di Personal Excellence edisi Mei
1999, having too much can actually be a hindrance to an attitude of gratitude
because, in reality, you can not appreciate what you have, if you have too
much.
Dengan kata lain, memiliki kekayaan yang terlalu banyak sering mengurangi rasa
syukur. Sebab, penghargaan terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan
semakin banyaknya uang yang dimiliki.
Kesederhanaan berpikir dan hidup itu penting dalam konteks ini, karena ia bisa
menjadi jembatan yang memadai antara rezeki dan keinginan.
Rezeki, sebagaimana kita tahu mengenal batas batas. Sedangkan keinginan di
pihak lain seperti langit, tidak ada batasnya.
Kesederhanaan bisa menjadi jembatan dalam hal ini, karena bisa menjadi
manajer bagi sang diri. Ia yang memilih mana yang betul betul perlu, dan mana
yang hanya pelengkap saja. Ia yang memisahkan keinginan yang diwarnai egoisme,
dengan keinginan yang perlu dipenuhi.
Kembali ke cerita awal tentang orang kaya materi yang hidupnya penuh
percekcokan. Mereka memang punya uang, tapi pengalaman hidup langsung di atas
membuat kesederhanaan menjadi barang mewah buat mereka.
Dibandingkan dengan saya yang pernah memakan sayap ayam berbulan bulan, dan
sekarang mudah sekali merasakan enaknya makan, makan Mc’Donald, Kentucky, atau
malah restoran mewah sekalipun yang bagi orang kaya tadi tidak pernah
menimbulkan selera.
Bagi saya yang pernah mengontrak sejumlah rumah kecil kumuh dan
sederhana,tinggal di rumah dengan tanah ratusan meter sudah sangat memuaskan.
Tetapi bagi mereka, ini hanyalah sesuatu yang tidak perlu dihargai dan
disyukuri.
Untuk ukuran manusia yang bertahun tahun bergelantungan di bus kota, naik sedan
menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi anak orang kaya di atas, ia
hanyalah keseharian yang biasa dan hambar.
Dengan latar belakang pendidikan SD di desa, dan anak pernah sekolah di SD
negeri pinggiran Jakarta, bisa menyekolahkan anak di sekolah khusus adalah
sebuah kebanggaan tersendiri. Namun, bagi orang kaya di atas, ini hanyalah
sebuah rutinitas tanpa rasa.
Seluruh cerita dan ilustrasi ini memperkuat argumen Deana Rick, bahwa greed and
materialism block thankfullness. Keserakahan dan materi menghalangi ketulusan
untuk bersyukur kepada Tuhan.
Sebaliknya dengan kesederhanaan, rasa syukur; terima kasih; dan penerimaan bagi
sang hidup mudah sekali muncul. Saya tidak tahu, bagaimana pengalaman Anda.
Namun, saya amat bersyukur pada Tuhan yang pernah membawa saya pada
kelokan kelokan kehidupan yang membuat saya sampai pada kesimpulan:
kesederhanaanlah awal dari kebahagiaan.
Saya mengisi prinsip ini dengan berjalan jalan mengelilingi rumah tiap sore
sambil mengucap terima kasih. Menggendong dan menciumi anak anak bila ada
kesempatan. Merayu istri seperti saat kami masih pacaran. Anda saya kira, bisa
melakukannya dengan cara Anda sendiri
Oleh: Gede Prama
========================================
Pengirim : Conan
========================================