Jika satu pertanyaan yang berbunyi � Apa yang bisa membuatmu sangat bahagia?� akan kujawab, menghabiskan tiap detik waktu bersama Ibu, walau ku tahu waktu tak kan henti berdetak. Lalu mengapa Ayah tak turut serta?

Ibuku pelacur, wanita yang sanggup membiarkan tiap jengkal tubuhnya dijilati oleh laki laki, entah sudah berapa ratus ekor, maaf walau ku tahu laki laki tak punya ekor (karena aku juga laki laki), sekedar tulang ekor mungkin , atau � masih pantaskah disebut orang?

Namun jika satu pertanyaan lagi yang akan terlontar � Lalu siapa ayahmu? Disebut suamikah dia yang membiarkan istrinya basah kuyub dijilat jilati? Dan aku akan menjawab � Ayah tak sempat memperkenalkan dirinya padaku�, karena hanya itu yang bisa kujawab. Namun ayah adalah laki laki yang menjilati tubuh ibuku, jauh sebelum ibu dijilat jilati oleh ratusan ekor laki laki lain, lalu pergi meninggalkan ibu dalam perih, luka yang tak terkira sakitnya, hingga Pilu�nama yang dianugerahkan ibu untukku. Pilu. Aku.

Aku menyayangi Ibu sekaligus terpaksa membencinya, sayang karena bersama dialah aku melewati masa hidup dan mati, ketika teriakan pertamaku ( walau tak sedikitpun suara yang keluar ) yang seolah berkata � hai dunia� lihat� ini lelaki telah lahir � setelah sembilan bulan lebih ketika telah lelah bermain di rahim ibu.

Membencinya karena ibu menganggap kenistaan yang ada pada dirinya adalah kebahagian. Sungguh, aku ingin Ibu kembali, tidak lagi memakai kehinaan sebagai gaun, tidak lagi membiarkan tubuhnya dijilat jilati oleh seekor laki laki pun. Tapi kepada Ibu, tak pernah aku berkata kata, juga tidak pada orang lain. Aku. Pilu. Bisu. Tak mampu berkata kata. Maka aku ingin bunuh Ibuku, dengan sejuta cambuk rayu, agar ia kembali, untukku, anaknya.

Tadi subuh, bilal masih tetap bersenandung azan, lagu basi bagi penikmat dosa, hanya tinggal beberapa nyawa saja yang menikmatinya. Jago sahut menyahut dari selatan hingga utara, dari timur hingga barat bagai menyenandungkan Forever in one milik group musik Hallowen ( mungkin� sebagai pembuktian mereka juga memiliki rasa persatuan dan kesatuan, walau terkadang harus adu tempur di arena sabung ).

Ibu masih terlena dalam mimpinya, entah berapa ekor laki laki yang menjilati tubuhnya tadi malam. Secangkir kopi yang kusajikan baru dijamahnya pukul delapan. Ibu duduk diserambi belakang rumah seraya menyulut sebatang rokok lalu menghisapnya dalam dalam, sedalam pikirannya yang entah mendarat dimana. Kuhampiri ibu, setelah nuri benar benar menuntaskan tembang pagi, lewat kicau merdu dengan harapan tak menjadi sendu. Lalu aku duduk dihadapannya, memandang setiap raut wajahnya, menatap sedalam mungkin kedalam matanya. Demikian juga yang dilakukan ibu kepadaku, hingga kamipun saling tatap, saling mencoba menterjemahkan pikiran masing masing, lalu bersualah jiwa kami, dan kamipun bercakap cakap melalui hati, saling berharap dapat menyingkap sunyi, walau hanya kami yang mengerti.

� Ibu, aku ingin bicara � hatiku memulai percakapan
� Bicaralah nak, katakan apa yang ingin kau katakan, tanyakan apa yang ingin kau tanyakan � sahut ibu, lewat hatinya yang dingin beku.
� aku merindukanmu ibu � kata hatiku yang tak mampu menipu.
Terasa hatinya berdenyut keras, tambah dingin, tambah beku. Ibu sanggup menahan tangis, tapi hatinya tak mampu.
� Maafkan aku nak, kuturutsertakan engkau dalam derita, namun aku tak ingin hatimu turut beku � hatinya terisak sendu.
� Maafkan aku juga ibu, tapi aku sungguh merindukanmu � ini hatiku benar benar tak mampu menipu.
� Begitu juga aku nak, aku tahu kau enggan dinafkahi olehku dengan kenistaan, sungguh� aku tahu itu �
� Maka tanggalkanlah kenistaan itu ibu, untukku� kembali seperti dulu, disaat kau rela menyisihkan ruang dirahimmu untukku, disaat kasih sayang benar benar kurasakan �
� aku sayang padamu nak, hingga detik inipun. Tapi� aku hanya tidak ingin membunuhmu �
Dan hati kamipun berpisah, matanya berpaling dari mataku, simbolik dari akhir dialog anak dan ibu. Hingga ibupun berlalu, namun dari matanya yang sayu kutahu hatinya di isak tangis sendu.

Senja kelabu, langit muram durja dan mentari enggan beri senyum. Bumi tertangisi, walau hanya rintik rintik. Aku berdiri di ambang pintu, menatap ibu berkemas untuk memulai aktifitas, aktifitas yang entah kapan akan tuntas.
� Jangan pergi ibu, kumohon � sia sia, hati kami tak bertemu. Ibu beranjak dari kamarnya, kami bersitatap tak sepatah kata mampu terucap. Sepucuk surat kuulurkan ke tangannya, � kalau kau sempat ibu, bacalah � Ibupun berlalu. Brak Pintu tertutup rapat. Kutatap Ibu dari balik jendela, langkahnya terhenti pada sorot lampu jalan, kulihat dia membacanya�

Ibu,
maaf jika ku buat kau terluka
seandainya hatimu mau berbicara pada hatiku, surat ini tak kan pernah ada
Harap ku Ibu, kau rela membalikkan langkahmu untukku.
Tapi jika kau tak mampu, untuk terakhir kalinya aku terpaksa melukaimu, karena akan ada yang mengadilimu selain aku.
Karena aku menyayangimu, Ibu.
Teramat menyayangimu.

Beribu maaf
Pilu.

Ibu meremukkan surat itu, digenggamnya keras. Permohonan jiwaku jatuh ketanah basah, makin kuyub diterpa rintik hujan. Ibu melangkah pergi, hilang dalam gelap yang mulai pekat.

Hati ini menggelepar, mendesak desak, menusuk nusuk, ini pedih, ini luka, ini sesal baur jadi satu. Namun tangan tak mampu terkepal, kalau saja bisa ingin kutinju mukaku sendiri. Tak mampu juga kubuka lebar, agar kulayangkan menjadi sebuah tampar, lalu ini tubuh jatuh terkulai, menatap tiap sudut langit yang teramat asing walau mengaku sebagai kawan. Dan kutatap bumi, dengan penuh harap mengizinkanku untuk berbaring, jika perlu.. hisap saja aku, telan hinga keperutmu Tapi, mengapa kau juga teramat asing bumi? Aku tertunduk malu, menangis pada kelemahanku sendiri. Hingga anginpun datang, begitu cepat, menampar tiap sisi jiwaku, membisikkan kata laksana sihir bagi hatiku � Pengecut , tak sepantasnya kau disini Penuhi janji hatimu Jangan biarkan hati Ibumu tambah beku jadi batu �

Langit kembali menangis, ketika aku mulai berdiri menantang segala kelemahanku. Aku mulai berlari, berlari secepat yang aku mampu, dalam tangis biduan langit, dan gulita yang bersimarajalela. Aku tak punya banyak waktu, harus kujemput Ibu. Aku terus berlari, berpacu dengan tiap detak denyut nadi. Berlari dalam harap. Harus kujemput Ibu, wanita yang mempertaruhkan nyawa untukku, yang dulu melantunkan tembang buaian penghantar tidurku.

Langkahku terhenti pada sebuah hotel kelas ekonomi menengah disalah satu sudut kota, empat buah mobil polisi berbaris dihadapannya, hingar bingar orkes dangdut mati dalam hiruk pikuk operasi pembersihan oleh pasukan penertiban dan oknum polisi. Penggeledahan dilakukan disetiap kamar, 20 pengunjung tanpa kartu identitas, 4 orang tertangkap basah membawa narkoba, dan 15 PSK ( Ibuku salah satu ) berhasil dijaring oleh petugas. Mereka digiring untuk mendapatkan hukuman yang dianggap layak untuk dicicipi. Tapi� Ibuku salah satu. Dan aku pun terisak dalam sedu. Ibu, terlambat aku menjemputmu�

Seorang petugas berbadan besar datang menghampiriku, dengan bahasa tangan dia berkata � Terima kasih Bung, berkat informasi anda tadi siang, kami dapat melaksanakan tugas kami dengan baik, mereka semua akan diadili sesuai dengan Undang undang yang berlaku � Tak mampu kuseka air mata, dan aku berkata dalam hati � lakukan tugasmu Pak, hanya saja � jangan sakiti ibuku � Iring iringan mobil polisi hilang dalam malam yang mulai tergelinjir menuju fajar, kini hatiku beku, aku akan teramat merindukan Ibu.
Ibu, terpaksa aku membunuhmu�

Pintu terali itu terbuka, dan seorang opsir mempersilahkan aku untuk mengikutinya, melewati sebuah lorong menuju kamar tahanan sementara. Kutemui Ibu yang sedang duduk termenung, Dia menghampiriku. Tak kulihat benci menyelimuti wajahnya. Kami bersitatap, kupandangi setiap raut wajahnya, mencoba menatap kedalam matanya, demikian juga Ibu. Saling mencoba menterjemahkan pikiran masing masing, hati kami pun bertemu. Aku menangis, juga Ibu, menyadari bahwa kasih sayang teramat erat mengikat kami. Bahwa tak ada kebahagian yang bisa melebihi itu. Dan dari balik terali kami berpelukan.

Kunang kunang, jogja 2003

========================================
Pengirim : kunang�kunang
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *