Saya pernah ngobrol2 dengan beberapa penjaga Pintu KA,
ngobrolnya santai jadi semua uneg2 dikeluarkan, yaitu
di pintu KA Cimahi, pintu KA Sadang (dekat stasiun /
RM soto Sadang), di dekat Mapolwiltabes Bandung / jl.
Merdeka, di Cipinang dekat st. Jatinegara (pintu
Resmi) serta di pintu “setengah resmi (yang jaga
Hansip) ceritanya memang nadanya “sedih” dan “berat”
Umumnya mereka bertugas 8 jam sehari (3 shift/hari),
pekerjaannya memang sangat enteng secara fisik, tapi :
(nah ini yang seru ceritanya)
1. MEMBOSANKAN (karena harus terus waspada tapi tak
ada yang dikerjakan secara significant, kecuali
bersih2 lingkungan sekitar pintu KA, cabut rumput/
semak2 dan tak boleh jauh dari pos jaga)
2. TEGANG karena mata dan kuping harus terus waspada
ke dua jurusan, karena ADA kemungkinan GENTA pintu
perlintasan TIDAK BERBUNYI (rusak atau PPKA terlambat/
lalai memberi isyarat) Ada memang jadwal di dinding
pos jaga, tapi semua juga tahu mana ada jadwal KA pas
sampai ke menit2nya, apalagi kalau ada gangguan KA,
pembatalan KA, penyusulan, PTP dsb, akibatnya jadwal
tak terpakai lagi, dan harus pakai/percaya pada mata
dan kuping petugas) tak semua pos punya telpon lang
sung dengan PPKA terutama didesa/dekat stasiun kecil
Segala cara dilakukan termasuk melihat isyarat sinyal,
kalau kebetulan pas ada posisi sinyal di dekat pos.
3. GAJI KECIL tak perlu komentar lagi, posisi sangat
penting untuk keselamatan KA maupun pemakai jalan
raya, tapi standar gaji paling bawah
4. TAK “REDUNDANCY FACTOR” (bahasa Orang2 Management)
artinya sering terjadi ada petugas yang mendadak tak
dapat hadir karena berbagai sebab :
mendadak sakit
karena punya “kesibukan/objekan/hajat/alasan lain2”
maklum namanya juga orang kecil, selalu hidup pas2an
setiap hari pada batas marginal, segala cara dilakoni.
Sementara yang hampir pasti mereka tinggalnya tak
mungkin di dekat stasiun (rumah dinas KAI) karena yang
namanya PPKA saja tak semuanya kebagian rumah dinas di
dekat stasiun karena yang akan/sudah pensiun kadang2
tak mau segera pindah akibat tak punya uang pensiun
yang cukup untuk cari rumah baru. Jadi para penjaga
pintu ini umumnya tinggal cukup jauh dari pos, sangat
sederhana rumahnya dan TAK PUNYA TELPON (boro2 telpon,
buat hidup sehari2 saja sangat pas2an kata mereka)
Jadi setiap kali ada petugas MENDADAK tak datang,
rekannya terpaksa JAGA 2 SHIFT (16 JAM) karena petugas
cadangannya juga tak ada yang siap/stand by, kalaupun
mau kontak2 petugas yang lain, kan mereka pada tak
punya telpon rumah. Belum lagi kalau fasilitas kerja
mereka terbatas, jaga dua shift + perlu tambahan kopi
dan makanan extra, terpaksa keluar dana tambahan.
5. “RAWAN PELECEHAN FISIK maupun MENTAL”
Kalau mereka menutup pintu sesuai aturan/prosedur
bunyi genta, tapi KA tak nongol2 (karena mogok, jalan
pelan krn. gangguan teknis dsb)dantak ada komunikasi
informasi dari/dengan stasiun, yang terjadi ialah :
dimaki2 para pemakai jalan (dibilang goblok dsb)
di tempeleng oknum (pernah dengar berita tahun 90an
ada oknum di Jakarta yang menempeleng petugas pintu
karena kelamaan menutup pintu) padahal yang salah kan
bukan petuga pintu
6. “TAK ADA Petugas StandBy”, kalau mendadak sakit
dalam tugas, atau memaksakan bertugas padahal ada
gejala sakit. Cerita ini dari seorang petugas yang
sebenarnya agak demam tapi karena shift dan tanggung
jawab berharap mudah2an agak sembuh tetap kerja, toh
cuma duduk di pos, kenyataan demam semakin berat dan
karena minum obat demam menjadi ngantuk, padahal dinas
malam, tak bisa cari pengganti. Maka dia duduk pasrah
menyenderkan punggungnya pada Genta Pos karena takut
ketiduran dan tak mendengar Genta berbunyi.
Kenyataan dia tetap ketiduran, dan pada jam 3.00 pagi
KA Kontainer dari Jkt lewat di posnya, genta berbunyi
tapi karena pengaruh obat tetap dia tak mendengar.
Untungnya, saat itu lalulintas sangat sepi dan pas KA
lewat tak ada kendaraan yang pas/tepat melintas di
rel, tapi yang nyaris tertabrak ada, untung sempat
berhenti mendadak, sopir turun, petugas terbangun dan
hasil nya petugas dimaki habis2an oleh sopir.
Belum lagi pintu “setengah liar”(umumnya dijaga
hansip)
, biasanya pintu ini muncul kalau ada perumahan baru.
Developer yang ada di dekat pos/pintu SELALU MENGELAK
dari tanggung jawab membuat pintu, alasannya itu nanti
kan urusan PEMDA yang menerima PBB dan pajak2 lain
dari warga seumur hidup.
Pemda selalu “buang badan” dan buang tanggung jawab
dengan menuding balik developer yang katanya “bisanya
cuma cari untung” (namanya juga bisnis cari duit
bukan cari kerjaan) atau bahkan menuding KAI yang
katanya HARUS menyediakan pintu KA + penjaganya.
KAI juga “terperangah, heran dan geleng2 kepala” lha
wong ada orang mendadak bikin bisnis, dan PEMDA yang
menyetujui perijinannya, koq KAI yang ketiban biaya
untuk menyediakan : Pos jaga, Pintu, genta, plus
menggaji 3 orang/hari seumur hidup.
Kalau setiap bulan ada perlintasan2 baru muncul di
berbagai pelosok, darimana biayanya, apa tiket KA
dinaikkan lagi, babak belur dong lawan tiket pesawat.
Ini “pekerjaan rumah” yang besar buat KAI, Pemerintah,
business dan masyarakat Indonesia semuanya, untuk
mencari penyelesaian secara tuntas, karena taruhannya
sangat berat ” nyawa manusia”.
(Santo Tjokro)
========================================
Pengirim : Conan
========================================