MALAM membenamkan Jogja dalam lembah gelapnya. Seorang lelaki berada pada puncak kreasi manusia. Memandang ke bawah. Memandang malam yang tak ada hentinya, yang semakin malam semakin memperlihatkan semaraknya. Rembulan utuh mengawasi dari atas. Cahaya terangnya sedikit memutihkan kulit legam malam. Perlahan sinarnya menyapu wajahnya memperlihatkan semburat kemurungan. Ia tengah kebingungan kawan. Sesekali ia memandang ke langit berharap muncul jawaban untuk gundahnya. Hanya jutaan titik gemerlap yang menghiasi cakrawala malam.
Ia kembali memandang ke bawah. Memandang malam yang mendekap penuh nafsu tubuh Jogja. Juluran lidah waktu terus menjilat tanpa lelah. Hanya itu yang dilakukanya. Beberapa kali hal sama terulang. Lelaki itu tetap terjebak dalam tanya. Berdebat dengan hati. Ia tengah mencari arti cinta. Hah, cinta? Hari gini menanyakan cinta. Basi. Kuno. Bodoh. Sia sia. Cinta bukanlah matematika yang sukar rumusnya. Cinta bukanlah penyakit kronis yang tak ada obatnya. Cinta adalah embun pagi yang hilang ditelan mentari dan esok pagi akan muncul kembali. Cinta akan selalu datang dan pergi. Cinta itu tak berarti. Jadi tak perlu mengartikannya. Cinta telah hilang ditelan raksasa zaman. Cinta telah terjepit di antara bongkahan kebebasan. Cinta telah lepas dari ikatan tali norma. Cinta telah terinjak oleh langkah modernisasi. Cinta telah tenggelam dalam lautan nafsu. Love was die. Apakah arti masih bermakna?
�Kau bodoh kawan.�
�Kau sedang memaknai cinta yang mana?�
�Cinta sama saja.�
�Tidak, Tidak. Dia tidak sama. Kau terlalu picik memaknai cinta.�
�Maksudmu cinta pada diri manusia?�
�Wanita?�
�Ya.�
�Puih, apalagi itu.�
�Stop, hentikan kawan.�
�Apakah kau tidak tahu bahwa cinta itu buta, tuli, dan bisu. Cinta tidak akan melihat sebuah pengorbanan. Cinta tidak akan mendengar pertanyaan apapun untuknya. Dan cinta tidak akan memberikan jawaban apapun.�
Diteguknya sisa minuman yang tersisa. Menyulut sebatang rokok. Kembali membenamkan diri dalam lamunan. Bintang timur di sudut langit kelam dengan satu sinar terang menyilaukan mata lelahnya. Dibuangnya pandangan ke bawah. Jatuh membentur kendaraan yang sedang melintas. Hancur. Pecah tak berarah. Kendaraan terus saja melintas. Tak terusik benturan tadi. Cahaya lampunya bagaikan kumpulan kunang kunang merayap. Tak terhitung jumlahnya. Tapi kini lelaki itu tengah asyik menghitung berapa banyak wanita yang telah melintasi lorong kehidupannya. Berapa cinta yang berhenti di pelataran hatinya. Banyak juga, seakan kagum pada dirinya sendiri. Mengapa tak satupun yang dapat menjawab kebingungannya malam ini?
Angin malam menampar lembut wajahnya lalu melintas pergi. Seperti wanita yang masuk dalam kehidupannya. Setelah bertukar dekap, pergi tanpa permisi. Wanita. Ah, wanita memang menarik. Selalu saja kurang bahasa untuk membicarakan mereka. Begitu misteri. Begitu pintar. Begitu bodoh. Wanita sangat sulit dimengerti, penuh rahasia. Wanita sangat pandai memainkan perasaan pria. Jutaan pria menekuk lutut. Terkadang wanita begitu baik, ia memberikan seluruh miliknya sampai ia tak memiliki apa apa lagi. Tapi apakah ini kebaikan atau kebodohan? Entalah. Ia juga sudah lupa berapa banyak ia bertemu dengan wanita yang baik itu. Hmm, dasar wanita.
�Hey, apa lagi yang kau lamunkan?�
Eh, kalian tahu tidak. Jika ada sesuatu yang paling dibenci lelaki itu diatas bumi ini, itu adalah hatinya. Hatinya begitu jahat, begitu kotor. Jika ia ingin menghargai atau berbuat baik pada cinta, hatinya selalu saja menegur dan melarangnya. Pernah suatu ketika ia berpikir untuk mengeluarkan hatinya dari dalam dadanya kemudian membenamkannya di dasar pantai selatan. Lalu meninggalkan kota ini agar tak pernah bersatu kembali. Tapi apa daya? Kesalahan Tuhan telah menakdirkan hati untuk tinggal dalam raga manusia.
�Sudahlah kawan.� Lihat dia mulai lagi mengganggunya
�Mengapa kau siksa pikiranmu untuk menemukan maknanya?�
�Turunlah, dibawah sana jutaan cinta telah menantimu. Cinta yang begitu menggairahkan.�
�Mengapa kau begitu bodoh?� Lelaki itu diam saja tak bereaksi. Ia muak dengan ocehan hatinya
�Aku juga sudah rindu dengan hati lain dibawah sana.� Lelaki itu tetap diam. Bahkan kini ia menutup kedua telinga dengan telapak tanganya berharap tak ada lagi suara sumbang yang terdengar.
Jogja benar benar terbuai dalam timangan malam. Tapi dengkurannya tak sedikitpun menganggu telinga kehidupan malam. Tak seperti lelaki itu yang begitu terganggu dengan suara suara nakal hatinya. Bantu aku kawan, bantu aku. Hatiku begitu nakal kawan. Ia baru saja membisikkan sesuatu, ia sengaja membisikkannya agar kalian tak mendengar. Tapi aku akan mengatakan pada kalian, agar kalian tahu bahwa hatiku memang nakal. Dengarlah kawan, dengarkan dengan baik. Ini yang ia bisikan.
�Jangan bertanya lagi pada cinta. Jangan lagi menanti jawabannya. Tapi carilah apakah kebenaran masih ada dalam cinta?�
Lihatlah kawan. Racun apalagi yang ingin ia suntikan pada tubuh pikiranku?
�Ssstt� tunggu dulu kawan, mengapa aku jadi bimbang. Apakah bisikannya kali ini adalah jawaban untuk cinta?� ucapnya tertahan.
Sudut Jogja, 3 Desember 2004
Oleh: Deddy S. Tamorua
========================================
Pengirim : Deddy S. Tamorua
========================================