Perawan tua, orang sering sebut aku begitu. Memang tidak langsung, tapi apa bedanya? walau hanya kasak kusuk dibelakangku atau sekedar bisik bisik ketika aku lewat tapi toh akhirnya sampai juga kan ketelingaku. Tapi aku tidak mau peduli apalagi pusing memikirkan hal hal seperti itu.
Aku pernah baca satu pepatah di sebuah tabloid wanita ” hidup itu hanya sekali, bila hidup kita benar sekali saja sudah cukup “. Aku tidak mengklaim bahwa hidupku ini paling benar, bahkan mereka menganggap hidupku ini tidak benar, tapi bukankah sesuatu yg dianggap benar oleh orang lain belum tentu benar untuk diri kita? kalau kebenaran hanya untuk satu orang saja, tentu gak akan ada matematika.
Di pasar…
” Hei.. kenal yanti kan, iyah yang dulu hamil diluar nikah, semalam suaminya ditangkap polisi, ada yang bilang perampokan, kasihan yah padahal sebentar lagi mau melahirkan “.
Di arisan…
” Bu singgih kasihan yah bu Anna, kemarin dia di hajar suaminya sampai masuk Rumah Sakit, denger denger sih masalahnya sepele, soal kepuasan, lagian kalo badan capek masa iya sih dipaksa “.
Di telepon…
” Aku gak tau kus, aku pikir dia mencintaiku, aku gak tau harus bagaimana, dia akan menceraikan aku, aku dah coba jelaskan kus tapi dia gak mau tau, dia tidak mendapatkan darah perawanku, itu sebabnya “.
Perawan tua, orang sering panggil aku begitu, memang tidak langsung tapi apa bedanya?. Hanya karena aku punya tubuh dan wajah yang membuat banyak pria tidak berkedip, orang sering menganggap aku bodoh, hanya karena aku menolak Gunadi, duda terkaya di kampungku orang menganggap aku belagu, sok, dan ketika Donny bujangan paling menjanjikan di kantor patah hati karenaku mereka marah, mereka anggap aku gak punya perasaan, pilih pilih, dan sebagainya, dan sebagainya. Aku tetap tidak peduli, menurutku hidup ini penuh dengan pilihan, jika saat beli baju di butik kita boleh milih kenapa untuk hidup tidak???.
Pagi hari…
” Sampai kapan kamu begini kus? kapan kamu menikah? cobalah tentukan pilihan…”
Siang hari…
” Maaf ya kus, aku boleh tanya sesuatu padamu? tapi jangan marah yah, kamu normal kan? maksudku hasrat seksmu…”
Malam hari…
” Mbak, Fahmi melamarku tadi pagi, orangtuanya ingin kami segera menikah tapi haruskah aku melangkahi mbak? aku bingung harus bagaimana…”
Perawan tua, mereka juluki aku begitu, memang tidak langsung tapi apa bedanya? hanya karena di ulangtahunku yang ke 32 aku masih berstatus belum kawin, mereka sering membicarakanku di arisan, dipasar dan di telepon. Dan tak pernah berhenti memprotesku pagi, siang dan malam. Mereka anggap pilihanku ini salah, prinsipku salah,cara hidupku salah, semua salah.
Padahal aku tidak pernah menganggap mereka salah karena membicarakanku, atau karena telah turut campur. Aku memang salah telah menyerahkan perawanku pada mas Pur seminggu sebelum pernikahanku, tapi aku tetap tidak pernah berfikir bahwa Tuhan salah telah mengambil mas Pur sehari sesudahnya. Tapi kenapa mereka selalu menyalahkanku, salahkah aku jika aku tidak ingin hidupku seperti Yanti, Anna atau temanku Lina?.
Tapi apapun penilaian mereka aku, Kusrini, umur 32 tahun, belum kawin dan tidak akan kawin. Bagiku pernikahan bukan sesuatu yang harus, pernikahan bukanlah jaminan kebahagiaan karena kebahagian buat aku adalah ibuku, pekerjaanku dan panti asuhan, dan akan tetap begitu meski mereka tak pernah berhenti bicara.
Pengarang
Tan Tri
========================================
Pengirim : triningsih
========================================