Aku bertemu dia disana
Diantara onggokan mayat, tumpukan sampah, genangan lumpur
Kedua tangannya bersedekap memegang senjata
Di pinggangnya terselip rencong
Di lehernya mengepit selembar bender merah, bintang sabit
Aku bertemu dia disana
Tepat ketika air bah naik setinggi rumah
Menghanyutkan rumah rumah, mobil mobil, masjid masjid, kantor gubernur, orang jompo, kanak kanak, pohon, kayu, kasur, celana dalam, landai pantai.
Dari singkap wajahnya yang terbungkus jilbab hitam
Aku tatap saga matanya
Dari dalam saga matanya
Terpancar api yang luar biasa panasnya
Perempuan itu, inong
Aku ingat matanya
3 tahun lalu dia naik gunung, masuk hutan, merayap dibibir ngarai
seperti sekarang, dengan kedua tangan menggenggam dendam
“Ayah dan adik lelakiku suatu hari dijemput dari rumah,
2 hari kemudian mereka ditemukan di bawah tangga meunasah, meringkuk sepi didalam kematian”
Perempuan itu, inong
Matanya yang nyalang jalang
Sedang memaguti tumpukan mayat, reruntuhan kampung halaman
“tidak ada lagi kenangan lebaran yang menempel disetiap kisi kisi rumah kami’
semua hanyut dibawa tsunami
Sementara dia terus memeriksa tumpukan mayat mayat
Disepanjang jalan, sejauh mata memandang
Cuma mayat…mayat berserakan
“Kampungku sudah menjadi kampung mayat ternyata. Walau sudah lama agaknya kampungku menjadi kampung mayat, tapi baru ini, citra itu membekas di ujung mata”
Perempuan itu, inong
Aku bertemu dia disana
Diantara onggokan mayat, tumpukan sampah, genangan lumpur
Kedua tangannya bersedekap memegang senjata
Disana dia menyesali nasibnya
dengan senjata yang tak tahu kemana diarahkan
“Hari ini dimana aku harus mengejar tsunami?”
Aku bertemu dia disana
Dengan keputus asaan yang dalam
Sampai kapan ini terus menggerus lebar luka didalam dada?
Darah mengalir disadap mengalir, dikerok mengalir, dihapus mengalir, ditepis mengalir
Terus mengalir, mengalir hingga lautku dialiri darah
Hingga tanahku berwarna merah.
Disana dia mencoba memendam sakit dan menambal luka
Hatinya koyak, darahnya menyeruak
Dari balik jilbab hitamnya yang melambai ditiup angin kematian
Mata yang sama
Sepasang mata saga
Ibuku, acheh
Orang bilang, adalah sebuah kutukan bagi orang orang yang lahir dari rahimnya
Tanah yang celaka, laut yang tak bersahabat.
Perempuan itu inong
Perempuan yang telah melahirkan aku
Perempuan yang diatas ratapannya tetap berdiri
Semangat perkasa
Perempuan yang setiap malam menyanyikan dodaidi untukku
Sambil merentang asa atas kepulangan saudara saudaraku dari kamp kamp interogasian
Dari ladang ladang pembantaian
Aku bertemu ibu disana
Diantara onggokan mayat, tumpukan sampah, genangan lumpur
Kedua tangannya bersedekap memegang senjata
17 Jan 05
========================================
Pengirim : T. Arif
========================================