Dinginnya pagi menyetubuhi tubuh. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kelopak mata Mbok Isah berkedip – kedip. Bulir – bulir keringat memenuhi sekujur mukanya. Muka yang telah berkerut – kerut. Tangannya sesekali menyeka peluh dengan kain yang menyelempang di pundaknya. Napas tuanya tersengal sengal. Telah dua setengah kilometer jalan dilaluinya. Jalan yang masih sepi di pagi hari.Diturunkannya bakul di punggungnya. Bakul yang dipenuhi sesak oleh pisang. Pisang yang dibelinya dari para tetangganya untuk dijualnya di pasar kota.Terlihat beberapa pisang terjatuh ke lantai teras kapel.
Kapel itu telah dibangun di sana sejak sepuluh tahun yang lalu. Bangunan yang hanya lima kali sembilan meter ini dibangun dengan swadana warga stasi Karanggedhang. Stasi yang terletak di perbatasan kabupaten. Hanya sekali misa dalam satu bulan. Itupun kalau pastor tidak berhalangan atau ada kesibukan. Prodiakonlah yang sering melayani umat di sana.
Dan patung Bunda Maria yang berdiri tegak di samping kapel telah ada sejak satu tahun setelah kapel didirikan. Patung itu merupakan sumbangan dari salah seorang pengusaha di kota. Sebagai ucapan terima kasih atas terkabulnya doa – doanya lewat perantaraan Maria.
Sejurus kemudian, Mbok Isah bersimpuh di depan patung Bunda Maria. Mengeluarkan rosario yang disimpan di balik kutangnya. Menekuk kakinya dan mengatupkan kedua tangannya. Membuat tanda salib dan mulutnya komat – kamit mendaraskan doa.
Berdoa agar dagangannya laku dan cucunya, Reta, tidak sakit – sakitan lagi. Memang semenjak ditinggal kedua orang tuanya ke Jakarta satu tahun lalu, mencari kerja, Reta sering sakit. Kadang dua hari, kadang tiga hari. Tetapi terkadang sampai satu minggu ia terbaring lemas. Reta yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar, sampai – sampai harus tinggal kelas lantaran sakitnya.
Usai berdoa, Mbok Isah kembali menggendong bakulnya dipunggung. Menganyunkan langkah menuju ke pasar. Kembali peluh memenuhi permukaan wajahnya. Baju yang dikenakannya basah oleh keringat. Jarak pasar dari kapel tidak jauh lagi. Satu kilometer. Cepat langkahnya, keburu pasar ramai.
Nampak beberapa pedagang telah menggelar aneka ragam dagangannya di tepi jalan. Berteriak – teriak menawarkan barang pada pembeli. Kios – kios telah mulai dibuka. Orang ke sana – kemari. “ Minggir… “, teriak seorang tukang becak yang mengangkut penuh sayuran. Kendaraan berlalu – lalang. Becak, sepeda, gerobak sayur, sepeda motor atau angkutan umum. Riuh – rendah. Ramai.
Segera, Mbok Isah menurunkan barang dagangannya dari bakul. Menggelar karung plastik yang dibawanya. Dan menata rapi pisang pisangnya di tepi jalan dekat pertigaan. Tempatnya biasa melayani para pembeli. Ibu – ibu segera menghampirinya. Dalam waktu singkat, beberapa sisir pisang telah terbeli. Mereka adalah pelanggan Mbok Isah.
Demikianlah Mbok Isah sehari – hari. Sampai matahari terik, ia berjualan di pasar. Setelah semua dagangannya habis, seperti biasa ia masuk ke dalam pasar. Membeli jajanan pasar untuk oleh – oleh Reta yang pasti telah menunggunya di rumah.
Hari itu, ia pulang naik angkutan pedesaan agar cepat sampai. Dalam angkutan yang berdesak – desakan dengan anak – anak yang baru pulang sekolah dan beberapa warga desa lainnya. Hanya ada tiga angkutan yang dapat sampai ke desanya. Sesampainya di rumah, Mbok Isah masuk ke rumah dan mencari Reta. “ Ret…Reta , Mbok bawa oleh – oleh nih… “, panggilnya.
Tapi malang, Reta ditemuinya tengah terbaring lemas sambil mengaduh di tempat tidur. “ Mbok…dingin …mbok …”, erangnya sambil menarik selimut. Reta menangis. Ia demam. Tubuhnya panas dan menggigil kedinginan. Mbok Isah memegang kepala Reta dan mengusap air matanya. Mbok Isah segera lari ke belakang rumah. Mengambil air dari sumur dan mewadahi dengan baskom. Dikompresnya kepala Reta menggunakan sehelai kain basah.
Malam harinya Mbok Isah tidak dapat tidur. Menunggui cucunya yang masih saja mengerang kedinginan. Tergolek tak berdaya. Mbok Isah duduk di samping cucunya yang terbaring. Sebentar – sebentar, Mbok Isah mengusapkan kain basah ke kepala Reta. Panasnya belum juga turun. Padahal sudah minum obat penurun panas yang di belinya di warung sebelah rumah.
Gelap semakin larut. Mbok Isah belum juga merasa mengantuk. Ia sudah lupa nikmatnya tidur. Dipijat – pijat sekujur tubuh Reta. Dielus – elus kepala cucunya. Setelah cucunya tertidur, Mbok Isah mengeluarkan rosario dari tempatnya. Mendaraskan doa hingga pagi menjelang.
Mentari telah memendarkan sinar silaunya. Hari itu, Mbok Isah tidak pergi berjualan ke pasar. Ia keluar rumah dan pergi ke rumah Bu Tari. Bu Tari sering didatangi para tetangganya yang membutuhkan bantuan uang. Hutang dengan Bu Tari sebenarnya sangat memberatkan, karena bunga yang diberikan sangat tinggi. Sampai lima puluh persen.Tapi bagaimana lagi, jika kebutuhan mendesak. Apa boleh buat.
“ Ada apa, Mbok ? “, sapa Bu Tari ramah.
“ Anu…anu Bu,…saya mau pinjam uang lagi “, jawab Mbok Isah.
“ Yang kemarin sudah lunas belum ? “, tanya Bu Tari sekali lagi sembari mengeluarkan buku cacatan berwarna merah dari laci mejanya. Daftar orang – orang yang berhutang padanya.
“ Sudah to ..Bu “, jawab Mbok Isah singkat.
Mbok Isah berhutang Rp. 150.000, pada Bu Tari. Dan ia akan mencicilnya setiap hari. Seribu setiap hari ditambah bunganya. Selama dua ratus dua puluh lima hari.
“ Saya akan mencicilnya tiap hari, Bu ”, janji Mbok Isah pada Bu Tari. Mbok Isah pulang. Ia berkehendak membawa Reta ke rumah sakit. Dengan dua ojek yang disewanya, Mbok Isah membawa Reta ke rumah sakit. Setelah Reta diperiksa dan diberi obat, mereka berdua pulang dengan angkutan.
Berangsur – angsur kondisi Reta pulih. Setelah tiga hari meminum obat yang diberikan dokter padanya.Reta pun sudah dapat masuk sekolah. Bermain dengan teman – temannya seperti biasa. Mbok Isah telah kembali berjualan. Pun demikian, ia selalu pulang lebih awal. Takut jika terjadi apa – apa pada diri cucunya. Dan kini ia tidak lagi membelikan Reta jajanan pasar seperti biasanya. Karena pendapatannya harus disisihkan seribu untuk mencicil hutangnya.
Seperti biasanya, setiap pagi ia terlihat bersimpuh khusuk di depan patung Bunda Maria samping kapel. Melambungkan doa – doanya. Mendoakan cucunya agar selalu sehat dan agar dagangannya laku, sehingga ia dapat cepat melunasi hutangnya.
Hari ini ia berdoa Salam Maria sebanyak dua ratus dua puluh kali. Ia mendaraskan Salam Maria sejumlah sisa hari di mana ia harus mencicil hutang pada Bu Tari.
Y. PRAYOGO
========================================
Pengirim : yohanes prayogo
========================================