Saya telpon seorang sahabat nan jauh di sana, di luar wilayah Jakarta. Saya tanya, “Mbak, bagaimana kalau aku kawin dengan seorang janda?”

Agak lama terdiam, kemudian sahabat itu bilang, “Yaaaa, ndak papa, Gus. Cuman asalahnya, kamu siap ndak? Soalnya, mungkin ini yang pertama terjadi di alumni Wikusama.”

Saya pun spontan tertawa terbahak bahak mendengarnya. Begitupun dengan sang mBak yang sudah saya anggap seperti saudara sendiri itu. Tentu saja obrolan itu hanyalah sebuah kelakar belaka. Biasa, seperti bila kita bertemu atau saling berkomunikasi. Penuh dengan canda tawa.

Dari obrolan singkat di atas, menunjukkan bahwa nasib wanita masih begitu “mengenaskan”. Wanita masih dianggap rendah. Image masyarakat juga tidak begitu banyak berubah; tidak memihaknya. Uniknya, yang bicara seperti itu dari kalangan wanita dalam hal ini sahabat saya.

Ketidakadilan pandangan terhadap perempuan dalam konteks kehidupan sosial di masyarakat, bisa kita uji kemudian dengan catatan catatan berikut ini:

Pertama, kenapa bila jejaka mengawini janda, menjadi berita heboh, sementara bila duda mengawini perawan “ting ting” itu menjadi hal yang biasa? Dan, itu justru menjadi “nilai tambah” bagi sang pria. Sang pria akan dikatakan sebagai seseorang yang “hebat”, “tokcer”

Kedua, bila di suatu lingkungan masyarakat, ada seorang lelaki yang suka “jajan” (main ke tempat tempat lokalisasi WTS) tidak diheboh atau digunjingkan, sementara bila ada mantan WTS (wanita tuna susila) yang ingin tobat dan kembali ke lingkungan masyarakat secara baik baik masih tetap saja diasingkan? Digunjingkan, dihina, dipandang rendah dan diisolir dari pergaulan?

Ketiga, kenapa bila jejaka pria kawin dengan perempuan yang lebih tua menjadi sorotan orang, sementara bila ada pria tua, umur 60 an kawin dengan anak ingusan menjadi hal yang wajar?

Gambaran gambaran di atas menunjukkan, bagaimana masih menyedihkannya nasib dan status sosial kaum perempuan di negeri kita atau bahkan di lingkaran belahan dunia yang lain. Padahal, dalam Islam banyak sekali mencontohkan bukti konkret betapa Nabi SAW sangat menghargai dan mengangkat derajat kaum perempuan.

Misalnya, ketika Nabi SAW berusia 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah yang waktu itu berusia 40 tahun. Dalam riwayat riwayat yang lain, Nabi SAW juga mengawini janda janda yang ditinggal mati syahid suaminya, yang tak mampu, miskin, melarat dsb, hingga kemudian muncul stigma yang buruk bahwa Nabi suka kawin.

Nabi SAW juga merubah posisi wanita yang begitu direndahkan pada era Jahiliyah (sebelum Islam), dimana kelahiran bayi wanita tidak diharapkan oleh suku Quraisy dan bahkan kemudian dibunuh. Wanita tak lebih hanyalah barang hadiah, barang yang bisa diperjual belikan. Dengan kedatangan Nabi SAW, lambat laun tradisi buruk kaum Jahiliyah itu bisa dirubah.

Kalau Nabi SAW saja tidak ada masalah (mengawini janda), tentu menjadi pertanyaan kritis; kenapa nilai nilai di masyarakat justru sebaliknya; tidak mendukungnya? Uniknya, pertama, kaum perempuan sendiri justru malah menikmati “kecaman” atas sesama “gender” nya sendiri.

Kedua, tidak pernah saya dengar kasus semacam ini diperjuangkan oleh LSM LSM yang selama ini mengaku berlatar belakang memperjuangkan kesetaraan gender. Yang lebih diurus adalah yang menyangkut nasib perempuan dalam relasi dengan kekuasaan. Sementara, nasib perempuan dalam status sosial masyarakat, hampir dilupakan.

Jadi, kawin dengan janda?
(Sebenarnya) siapa takut 🙂

[c] aGus John al Lamongany, 15 Jan 02

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *