Teks

Oct 15, 2003

Saya tidak terbiasa mendefinisikan suatu kata atau kalimat, dengan berangkat dari “Kamus Besar Bahasa Indonesia” karena memang belum punya. Selama ini, dalam memaknai sebuah kata atau kalimat, saya cenderung menggunakan “perasaan”. Ya, katakanlah itu sebagai “ilmu kira kira”, begitu.

Teks. Saya artikan sebagai sebuah “bacaan”. “Sesuatu yang bisa dibaca”. “Sesuatu”, saya artikan sebagai sebuah bentuk barang atau benda, baik yang berwujud [nyata] ataupun tidak [abstrak]. Tulisan [bisa berupa artikel, email, surat pos dll], buku [koran, majalah, jurnal, buletin dll], kodifikasi atas madzhab dalam beragama, atau bahkan kitab suci adalah kumpulan dari teks disamping sebagai wahyu Tuhan.

Kejadian yang kita jumpai dan alami sehari hari adalah teks dalam wujud abstrak. Karakter, pribadi, sifat seseorang adalah sebuah “teks”. Begitu juga takdir, kehendak Tuhan. Kenapa begitu? Karena ia bisa dipelajari, bisa dibaca. Bisa dipahami, bisa dimengerti, atau bahkan mungkin diyakini akan kebenarannya.

“Dibaca”, dapat saya artikan sebagai fungsionalisasi atas panca indera [mata, telinga, hidung, kulit dan mulut]. “Dibaca”, tidak terpaku pada konteks membaca tulisan semata. Tapi juga “sesuatu” itu bisa dirasakan, dilihat, diamati, didengar dsb. sesuai dengan wujudnya; nyata ataukah abstrak.

Dari pembacaan atas teks itu, tentu akan menimbulkan akibat, reaksi.
Pilihan, penolakan, tuntutan dan berbagai macam reaksi yang dilakukan oleh manusia adalah akibat dari pembacaan atas teks. Begitu juga dengan penerimaan, tanggapan dsb.

Bagi saya, orang yang “berharga” adalah ketika dia mampu membuat dan memaknai “teks” secara terbuka. Terbuka, dengan maksud membiarkan teks itu bisa dipahami secara multi interpretatif, dengan penuh dilandasi oleh semangat nalar kritis. Semua orang boleh menafsirkan, dan semua orang berhak untuk mengartikan tentu dengan batas batas yg dimiliki masing masing. Setelah itu baru kemudian memutuskan sebagai akibat dari pembacaan terhadap teks tersebut.

Berangkat dari pemikiran sederhana seperti ini, maka dengan penuh santun saya ingin mengkritik para pemikir, ahli agama jaman dahulu, sekarang, atau yang akan datang, yang berusaha untuk “menutup” atas penafsiran dari sebuah teks. Karena dengan penutupan atas teks itu, ajaran agama hanya akan menjadi sebuah dogma. Ia akan berjalan dengan statis, dan mengalami kesulitan untuk memecahkan problema.
So, biarkanlah teks itu terbuka, dan biarkan orang lain dengan bebas menginterpretasikannya.
Selebihnya, wallaahualam bi ash showab.

[c] aGus John al Lamongany, 7 Maret 2002

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *