Inul

Oct 15, 2003

Sebenarnya, saya sedang asyik mempelajari teks teks sejarah Nusantara klasik. Khususnya sejarah Jawa (History of Java, meminjam istilahnya Thomas Stamford Raffles). Tapi, fenomena munculnya Inul di media massa akhir akhir ini benar benar cukup mengganggu pikiran dan nalar, membuat saya tidak bisa diam untuk ikut memberikan komentar soalnya.

Barangkali, coretan saya ini sungguh tak terstruktur. Maklum, karena bicara soal Inul; orang yang sekarang menjadi “besar” dengan latar belakang yang sangat tidak “terstruktur” pula. Tapi, ketidakstrukturan ini, hanya semata ingin melihat, mengamati fenomena Inul secara lebih komperehensif, dari berbagai sisi, biar lebih adil.

Inul. Siapa sekarang yang tidak kenal dengan penyanyi dangdut dengan julukan si “goyang ngebor” itu. Bahkan, Mr. President, Taufik Kiemas pun tidak mampu menahan syahwatnya untuk memeluknya di sebuah acara di TV 7.

Bila goyangan Inul menggoncangkan “etika sopan santun” masyarakat Jakarta baru saat ini, di kampung kampung, khususnya di Jawa Timur, justru sudah sejak setahun yang lalu VCD Inul telah beredar. Mulai dari kakek kakek yang mengalami puber kedua, orang orang setengah baya yang istrinya sudah memberikannya selusin anak, hingga anak anak kecil belum cukup umur, mereka sudah familiar dengan Inul. Maklum, Inul adalah simbol hiburan masyarakat lapisan bawah.

Inul, seorang gadis desa yang lugu, tiba tiba kini menjadi sosok yang dielu elukan masyarakat pada saat rakyat sedang mengalami krisis figur.
Inul muncul ketika rakyat sudah jenuh dan muak dengan dagelan dagelan politik yang sering dipertontonkan para elite.

Inul, menjadi simbol hiburan. Sebagai “artis kampung”, kini ia telah naik daun menjadi “artis terkenal”. Bahkan, menurut pengakuannya, berkat goyangan khasnya itu, dia pernah diundang hingga ke mancanegara (Jepang dan Amerika). Padahal, suara Inul sungguh tak layak masuk di musik dangdut. Dia lebih cocok dengan aliran rock, aliran musik yang memang ia sukai sejak awal, sebelum menjadi artis terkenal.

Falsafah yang mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang ia diterpa badai. Begitulah sekarang yang dialami Inul. Goyangannya pun kini mulai dipermasalahkan. Sampai majelis ulama selevel MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga ikut ikutan ngurusin Inul. Sebuah bentuk kerendahan dari peran ulama. Logikanya, etika masyarakat tergantung pada ulama lokal. Jika ulama “bukan lokal” (selevel) MUI turun ngurusi Inul, itu pertanda ulama lokal tidak punya peran di masyarakat.

Pernah TransTV dengan acara “Kupas Tuntas” menyandingkan Inul dengan seorang ulama dari Pasuruan. Sang kiai memberikan himbauan agar Inul menjaga dan mengurangi goyangannya serta mengindahkan etika ketika di depan masyarakat. Si Inul pun waktu itu manggut manggut di depan pak kiai.
“Terima kasih, pak kiai, atas himbauannya,” kata Inul. Tapi, besoknya di stasiun TV yang berbeda, Inul kembali diundang. Baru saja, malam ini, SCTV menyiarkan siaran langsung 1 jam bersama Inul. Lagi lagi, Inul, sang “wanita liar” itu bergoyang ngebor. Inul barangkali sudah lupa dengan janjinya di depan pak kiai.

Apa hendak dikata. Ulama mencegah, media massa justru memberi harga.
Antara ulama dan kecemasan masyarakat, tidak nyambung dengan kepentingan media massa yang lebih mementingkan sisi komersial, profit. Sama halnya dengan kontroversi soal Valentines Day. Banyak kecaman datang, tapi media massa seakan berlomba lomba memberikan acara yang terbaik, acara spesial menyambut hari yang tidak jelas dan cenderung merusak moral itu.
Semua stasiun televisi dominan warna pink menjelang tanggal 14 Februari kemarin.

Inul. Sungguh sangat kasihan. Bila saya lihat pada saat dia bergoyang, dia seperti dalam kondisi yang “tidak sadar”. Entah apa yang ada dalam benak Inul ketika sedang bergoyang. Barangkali, ia kini menjadi figur kontroversial karena ia berada di posisi yang sungguh tidak mengenakkan.
Di satu sisi, dia menjadi simbol hiburan bagi masyarakat kampung di berbagai penjuru tanah air. Yang namanya hiburan, berkaitan erat dengan budaya.
Semakin religius suatu lingkungan masyarakat, maka budaya (hiburan) yang berkembang juga akan bernilai religi yang amat tinggi. Sebaliknya, bila nilai religiusitas di sebuah kawasan itu rendah, maka budaya yang berkembang di daerah itu juga tidak akan mencerminkan nilai religi yang baik. Sangat mungkin, Inul berkembang di sebuah lingkungan yang sangat longgar etika dan nilai religiusnya.

Di sisi yang berbeda, Inul sedang menuai hujatan dari masyarakat yang “konon katanya” mengerti agama (agamis). Dia dicaci maki, dicap sebagai “perempuan liar”. Artis seprofesinya, Liza Natalia misalnya, mengatakan Inul sangat kampungan dan tidak mutu. Tapi uniknya, pada saat yang lain, Liza sendiri juga tampil dengan goyangan yang begitu seronok di acara “Laris Manis”, SCTV. Ya, bagi saya itu sama saja. Keduanya jelas bukan “perempuan normal”. Sangat jelas, orang normal tidak akan mau dan pasti malu melakukan, mempertontonkan “goyangan cabul” seperti itu. Bedanya barangkali, Inul “liar” nya level kampung, tapi si Liza level ibukota.
Wilayah dan cara bermainnya tentu berbeda.

Menariknya, di sisi yang lain lagi, media massa membutuhkan orang seperti Inul dengan iming iming uang yang menggiurkannya karena alasan komersial.
Media massa tidak pernah berpikir etis atau tidak etis, yang penting acaranya laku. Mendatangkan banyak iklan, yang tentu saja mendatangkan pula keuntungan, profit buat si media. Selama belum ada tindakan yang nyata dari ulama dan masyarakat, maka media akan terus membayar Inul.

Jadi, persoalan Inul ini tidak bisa hanya dibebankan pada si Inul semata, tapi harus dilihat dari berbagai faktor, diantaranya: pertama, lingkungan sekitar Inul yang mendukungnya, sehingga membuat Inul bisa menjadi artis tenar seperti sekarang, dan mereka mengganggap goyangan Inul sebagai bagian dari budaya. Kedua, longgarnya nilai religiusitas di tingkat masyarakat di sekitar tempat Inul dibesarkan, sekaligus mempertanyakan peran ulama di tempat Inul tersebut. Ketiga, pada saat yang berbeda, hiburan “kampungan” yang dipertontonkan Inul, menjadi konsumsi masyarakat luas yang masih mentabukan (atau munafik?) hal hal seperti itu dibawa ke wilayah publik (via media massa), sehingga ia menuai kecaman. Keempat, peran media massa (terutama televisi) yang sangat efektif sebagai media pembawa pesan perusak moral masyarakat disamping memberikan wawasan pengetahuan, walaupun faktor ketiga menentang habis habisan.

Alasan media pasti sangat sederhana; Inul mendatangkan profit Masa bodoh dengan etika, sopan santun dan sebagainya. Meskipun ulama menghimbau dan masyarakat mengecam, tapi bila media massa terus “memberi harga” Inul, maka fenomena Inul dipastikan tidak akan berhenti, walaupun MUI harus menurunkan harga diri; dari level ulama tingkat pusat mengurusi hanya goyangan seorang Inul. Padahal, tempat tempat maksiat yang mempertontonkan tarian gadis telanjang bukan hal yang aneh lagi di ibukota. Jadi, sebenarnya siapa yang munafik?

Sekali lagi, ini hanya tulisan soal Inul. Jadi tak perlu saya mengungkapkannya secara terstruktur.

(c) aGus John al Lamongany, 21 Feb 03

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *