30 Mei 2003. Jumat sore, di Jakarta Hall Convention Center (JHCC). Saya berada di sebuah stand khusus printer warna, sedang bertanya sama sang gadis penjaga stand, mengenai spesifikasi berikut harga dari printer tersebut. Di sela sela obrolan, tiba tiba seseorang datang menghampiri, dan kemudian menyapa:
“Hello, Gus. Apa kabar?”
Saya agak tertegun sebentar. Siapakah gerangan orang ramah yang menyapa sahaya?
Setelah lama mengamati, “Masya Allah, P Anung? Apa kabar juga, Pak?”
Karena saking gugupnya, saya mengucapkannya pakai bahasa Jawa Kromo Inggil. Beliau pun membalasnya dengan bahasa yang sama. Seingat saya, orang yang murah senyum ini memang berasal dari Jawa. Lulusan ITS, kalau tidak salah.
Biar lebih nyantai, saya minta maaf sebentar pada si mBak penjaga stand, “maaf, mBak. Saya tinggal ngobrol dulu dengan dosen saya”.
Dosen? Iya, Pak Anung memang mantan dosen saya di Perbanas. Sudah setahun lebih kita tidak bertemu.
“Bapak kok masih ingat saya?”
“Keusilanmu di ruang kelas itu, yang selalu mengingatkan saya,” jawabnya berdiplomatis sambil tersenyum. Padahal, rambut sudah saya papras habis. Tapi, dosen yang menjadi favorit saya karena selalu berpenampilan bersahaja itu, masih ingat juga.
Kita kemudian berbicara, saling bertanya kabar masing masing. Tampaknya, Pak Anung masih seperti yang dulu. Bertubuh agak gemuk, berbaju koko, dan jenggot hitam klimis sebagai ciri khas. Kalau mengajar, biasanya sering pakai baju koko warna coklat cerah, dan itupun seperti menjadi pakaian resmi waktu mengajar. Salah satu kebiasaan Pak Anung yang masih saya ingat, bila habis mengajar, pas waktu sholat Maghrib, beliau langsung menuju ke musholla kampus. Habis sholat, mampir dulu di koperasi. Beli kue, sebuah dua buah plus aqua gelas, dan tanpa rasa malu ataupun sungkan, dimakan di tempat itu juga bersama sama dengan mahasiswa yang lain. Moment seperti itu, biasanya yang sering saya gunakan untuk ngobrol dengannya, dulu, ketika masih kuliah.
Anung Pamungkas, nama lengkap dosen yang sederhana dan sangat egaliter itu.
Tiga tahun yang lalu, di sebuah kedai cafe orang sering menyebut kedai ini sebagai “kedai politik” di Komplek Majalah Tempo, Utan Kayu. Saya sedang ngobrol santai dengan mas Ulil Abshar Abdalla, yang kini dikenal menjadi salah seorang tokoh Islam Liberal. Kita bicara banyak hal. Tentang Islam, NU, dan politik. Saya merasa senang bila bertemu dengannya, karena disamping ilmu saya selalu ter upgrade, tokoh muda Islam yang satu ini selalu mengingatkan pada sosok kakak saya. Orangnya cerdas, tangkas, tanggap dan memiliki karisma.
Dengan mas Ulil, saya menimba tidak hanya ilmunya, tapi juga cara bicaranya ketika menjadi pembicara, tutur katanya, kemoderatannya dan keluasannya dalam beragama, dan sebagainya. Beliau telah cukup banyak memberikan warna dalam proses hidup yang saya lalui.
Di tengah tengah suasana ngobrol, ketika saya sedang minta saran, perihal akan membuat sebuah buletin lokal yang terdistribusi secara nasional, terdengarlah salam dari seseorang yang baru saja datang.
“Assalamualaikum…,” ucap seorang laki laki berambut putih.
Usia orang ini sepertinya sudah memasuki paruh baya. Sekitar 50 an tahun lebih. Berbadan tambun, pakai baju koko dipadu dengan celana jeans warna biru, merk “Cardinal”. Sandalnya bertuliskan “Carvil”, seperti yang tidak jauh beda dipakai oleh anak anak kampung ketika merayakan lebaran.
“Waalaikumsalam wr wb,” jawab saya serentak dengan mas Ulil.
“Sederhana sekali orang ini,” pikir saya.
Saya pun kemudian dikenalkan oleh mas Ulil dengan sang tamu.
“Beliau ini mas Danarto, Gus. Seorang budayawan terkenal,” ujar mas Ulil.
Saya mengangguk, sambil menyambut perkenalan dengan orang yang baru datang tadi.
Danarto. Seingat saya, dia seorang penulis novel yang hebat. Karya karyanya sudah banyak yang dibukukan. Dia adalah salah satu novelis brilian yang dimiliki Indonesia, yang karya karyanya begitu saya suka, di samping sederatan novelis handal lain, seperti: Pramoedya Ananta Tour, Umar Kayam, Putu Wijaya, Koentowijoyo, dll.
Sambil mengikuti obrolan mas Ulil dan Danarto, saya masih belum percaya betul, apakah benar, orang tua berbadan tambun, dengan pakaian yang sederhana, di depan saya ini adalah sang novelis hebat, Danarto?
“Hm, sungguh bersahaja ” gumam saya.
Baik P Anung, Ulil, ataupun Danarto, adalah orang orang yang pernah saya jumpai. Yang pernah saya kenali dan kagumi, yang memiliki kesahajaan, kesederhanaan dalam menyikapi persoalan hidup.
Berpanutan pada sikap dan akhlak Rasulullah adalah sebuah keharusan, tapi belajar memahami sikap moral yang baik dari orang lain untuk kemudian kita jadikan sebagai sebuah suri tauladan, tidak pula menjadi sebuah persoalan.
P Anung, Ulil, dan Danarto. Sangat yakin, sebenarnya mereka mampu untuk hidup layaknya jet set, seperti para selebritis. Berpenampilan borju, parlente, dan mengumbar kekayaan di depan khalayak ramai, seperti halnya kebanyakan orang sekarang yang sudah terlarut gaya hedonisme akibat virus virus kapitalisme.
Tapi tidak Tidak mereka lakukan. Meraka tidak menampakkan itu semuanya.
Barangkali, ide ide, gagasan dan pemikiran yang mereka miliki adalah harta paling berharga bagi mereka. Bukan terletak di pakaian, bukan pula di sandang pangan dan papan yang serba glamour. Karena penulis sendiri yakin, eksplorasi dan eksploitasi akal merupakan bagian dari sebuah karunia Tuhan, yang tak kalah lebih berharganya. Selebihnya, wallaahualam bi ash showab.
tatkala badai mulai beranjak pergi………………………
(C) aGus John al Lamongany, 15/6/03
========================================
Pengirim : Gus John
========================================