Suatu malam, di awal bulan Juni. Tiga orang teman aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), datang silaturahmi ke rumah penulis. Kita ngobrol banyak hal hingga larut malam, ketika pada saat itu sahabat karib penulis, Noka Robeth juga menghubungi penulis untuk membicarakan soal masa depan IAW.

Menerima teman teman aktivis LSM dan politik di rumah adalah hal yang biasa, karena kita sering melakukan sharing informasi, kapan dan di mana saja.
Kebetulan, mereka sudah lama tidak mampir ke rumah, dan baru bisa datang malam itu.

Banyak tema yang kita bahas, tapi satu tema yang menarik adalah soal pelaksanaan Darurat Militer di Aceh. Mereka bercerita, kalau TNI sudah banyak melakukan pelanggaran HAM di Aceh. Mulai dari aksi intimidasi terhadap warga sipil, mengisolasi ruang gerak bagi aktivis LSM, hingga penyempitan akses bagi pers. Dalam perspektif mereka, tindakan yang telah dilakukan TNI di Aceh, harus segera dihentikan.

Selama beberapa saat penulis terdiam, hanya menjadi pendengar yang baik.
Saya biarkan saja mereka bicara, mengeluarkan uneg unegnya tentang TNI.
Ketika mereka selesai, barulah penulis katakan: “Saya pun tercatat sebagai anggota LSM seperti Anda. Tapi saya punya cara pandang yang berbeda dengan Anda dalam memaknai konflik bersenjata di Aceh”. Mereka sontak terdiam. Kini mereka yang ganti mendengarkan.

Penulis jelaskan, kita patut cemas dengan sikap TNI, karena memang mereka itu biadab Selama 10 tahun di era rezim Soeharto, Aceh telah dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang memakan korban hingga ada yang menyebutkan mencapai 10.000 orang. Logikanya, mana ada tentara membunuh rakyatnya sendiri sedemikian kejamnya? Tapi, membiarkan Aceh lepas merdeka di bawah ketiak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukanlah sebuah pilihan yang baik. GAM menurut penulis tak ubahnya seperti seperangkat alat yang dimainkan/dimanfaatkan oleh kekuatan asing untuk mengobok obok integritas wilayah Indonesia. Sama halnya dengan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), RMS di Ambon dsb.

Penulis kemudian jadi ingat pesan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam sebuah kesempatan, kurang lebih tiga tahun yang lalu. Cak Nun menyebutkan, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam (SDA), saat ini sedang diincar oleh kekuatan asing. Menurut Cak Nun, rencananya NKRI akan dipecah belah menjadi beberapa negara kecil (6 negara).
Cak Nun waktu itu menyebut: Papua, Maluku, Aceh, dll, yang ditandai dengan lepasnya Timor Timur dari pangkuan NKRI. Pada saat yang bersamaan, Aceh, Maluku, dan Papua mulai ikut bergolak. Unik, karena daerah daerah yang bergejolak dan mengancam akan melepaskan diri, rata rata memiliki SDA yang luar biasa. Sebut saja, Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.

Khawatir terhadap sikap TNI yang anarkhis di Aceh memang diperlukan, tapi membiarkan Aceh lepas dari NKRI jelas bukanlah sebuah pilihan yang lebih baik. Dari perspektif ini, penulis mengkritik teman teman yang aktif di LSM, yang memandang apa yang dilakukan oleh TNI selalu dengan kacamata negatif. Karena, bila GAM dibiarkan, tentu itu akan membahayakan posisi RI sebagai negara kesatuan. Yang ideal menurut penulis, menumpas GAM tetap harus diteruskan. Virus GAM harus dilenyapkan sampai ke akar akarnya, tapi juga jangan biarkan TNI melakukan kebiadaban untuk yang kesekian kalinya di bumi Aceh (dan di mana saja). Korban atas rakyat sipil harus dihindari seminimal mungkin. Jika kita ikut terbawa arus opini mencela TNI dan membiarkan GAM berkeliaran, yang menjadi pertanyaan, “Apakah kita akan membiarkan kuku kuku kolonialis imperialis modern semakin mencengkeram bangsa kita, sementara ekonomi bangsapun hingga saat ini belum tentu telah merdeka?”

Dalam mensikapi kasus Aceh, barangkali tidak ada salahnya bila kita mencermati sikap Ketua Umum PBNU, Kiai Hasyim Muzadi yang menghimbau agar Komnas HAM dan sejumlah LSM tidak membaca kasus Aceh ini dalam paradigma HAM, tapi paradigma perang. Menurut Cak asyim, “Bagaimana perang dikomentari dengan paradigma HAM , sementara perang itu sendiri sudah merupakan pelanggaran atas HAM”.

Sementara, dalam mengomentari pernyataan Kedubes AS bahwa pemerintah Indonesia kurang demokratis dalam menyikapi GAM, Kiai Hasyim dengan lantang menyebutkan, “Bagaimana AS ngomong demokrasi, jika penyerangan secara sepihak ke Irak belum lama ini justru menutup mata dan telinga (mengabaikan) atas seruan PBB. AS harusnya bisa mengaca diri dong, ” ujarnya kritis (Suara Pembaruan, 21/6/03).

Dengan melihat pernyataan Kedubes AS soal Aceh, bukankah kita patut curiga dan semakin nyata, siapa di balik GAM?
Wallaahualam bi ash showab.

(C) aGus John al Lamongany, 25/6/03 ketika aku memilih…………

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *