Rabu, 25/6/03 jam 20:00. Salah satu stasiun televisi swasta menayangkan film Indonesia berjudul “Damarwulan”. Dikisahkan dalam film tersebut, ada seorang pemuda gunung bernama Damarwulan, ingin mengabdikan diri pada Kerajaan Majapahit. Untuk menuai maksudnya, dalam perjalanannya dia selalu ditemani oleh dua orang cantriknya, Sabda Palon dan Naralaya (?). Maka, pergilah mereka bertiga menuju Majapahit.
Ketika memasuki fragmen yang mengetengahkan cinta, penulis jadi semakin tertarik. Rencana pergi ke KSBD 26 pun jadi batal. Diceritakan, setelah berjalan cukup lama, sampailah Damarwulan di pelataran istana kerajaan.
Tanpa diduga, Sang Patih telah memergoki mereka. Patih pun menanyakan maksud dan tujuan mereka bertiga. Karena sikap dan tingkah laku Damarwulan sangat sopan, maka diterimalah ia sebagai kepala prajurit di kerajaan. Selama menjadi kepala prajurit itulah, Damarwulan berjumpa dengan Anjasmara, putri Sang Patih.
Tanpa diketahui Sang Patih, keduanya kemudian menjalin hubungan cinta. Karena kepergok oleh kedua kakak sang putri, Layang Seto dan Layang Kumitir, Damarwulan harus menerima kenyataan untuk mendapatkan hukuman pindah tugas sebagai tukang rumput dan memelihara kuda istana. Setiap hari, hinaan, cercaan dan makian akibat rasa iri dari kedua kakak sang putri, selalu ia terima. Profesi baru sebagai tukang rumput, dia jalani dengan sabar dan tabah. Ketika kedua cantriknya mengajak untuk pergi meninggalkan segala kesengsaraan itu, Damarwulan menolak dengan halus. Dia mengatakan, tentu ada hikmah di balik itu semua.
Begitulah. Dengan kesabaran dan ketabahan, Damarwulan mampu menjalani segala hinaan dengan tanggung jawab terhadap profesi secara mulia. Yang pada akhirnya mengantarkan Damarwulan bisa memperistri putri sang Patih, Anjasmara, setelah mampu membuktikan bahwa dirinya berada di pihak yang benar.
Soal kisah cinta para raja, penulis jadi ingat cerita cinta raja yang lain, yakni antara Joko Tingkir dengan Putri Kambang. Kisahnya pun hampir sama dengan Damarwulan. Penuh liku liku, harus menghadapi hinaan, cercaan, fitnah, iri dengki, intrik politik dari orang orang yang merasa terancam jabatannya, dsb. Joko Tingkir sempat terusir dari lingkungan istana, setelah kepergok menjalin hubungan asmara dengan putri Sultan Trenggono tersebut.
Joko Tingkir hampir putus asa. Dalam keputusasaan itulah, dia kemudian berguru ke guru guru spiritualnya, diantaranya kepada Ki Buyut Banyu Biru.
Akhir cerita, Joko Tingkir mampu memenangkan perseteruan, dan mengawini Putri Kambang, untuk kemudian jumeneng di Kerajaan Pajang, sebagai pewaris Kerajaan Demak yang saat itu mulai mengalami kemunduran.
Di era berikutnya, kisah cinta Ki Ageng Mangir dengan putri Panembahan Senopati, Putri Pambayun, juga sangat mengesankan, walaupun berakhir dengan memilukan. Alkisah, ketika Kerajaan Mataram Baru belum lama berdiri. Untuk mengembangkan kekuasaannya, Panembahan Senopati, raja pertama Mataram, sangat menginginkan agar kerajaannya bisa solid. Karenanya, semua wilayah/negara di sekitarnya harus takluk pada Mataram dengan bukti harus mau menyetorkan upeti.
Ketika itu, di daerah Mangir berada di sebelah barat Mataram juga sedang mengalami kemajuan. Di bawah kekuasaan Ki Ageng Mangir, wilayah Mangir perekonomiannya mulai menggeliat. Mataram merasa terancam. Karena takut akan pengaruh dan kesaktian Ki Ageng Mangir, maka Panembahan Senopati melakukan tipu muslihat untuk bisa menjebak Mangir agar mau takluk pada Mataram. Karena kesaktian Ki Ageng Mangir cukup disegani, satu satunya cara yang ditempuh oleh Mataram adalah dengan mengorbankan Putri Pambayun sebagai umpan, untuk menaklukkan Ki Ageng Mangir.
Bukannya menaklukkan, tapi malah takluk.
Pambayun benar benar jatuh cinta dan menjadi istri Ki Ageng Mangir. Meskipun demikian, dia tetap menjalankan misinya dengan melumpuhkan senjata ampuh yang dimiliki penguasa Mangir itu.
Inilah sebuah fragmen dari proses cinta sejati yang justru menghinggapi di antara dua belah pihak yang bermusuhan. Lama kelamaan, rahasia Pambayun terbongkar. Nyaris saja ia dibunuh oleh suaminya yang telah kalap karena merasa dijebak. Tapi karena cinta, Ki Ageng Mangir membatalkan niatnya dan mengampuni istrinya. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan sowan ke mertuanya yang sebenarnya juga musuhnya, Panembahan Senopati di Mataram.
Selama dalam perjalanan itulah, segala intrik politik terjadi. Di tengah perjalanan, atas permintaan raja, senjata ampuh Ki Ageng Mangir yang berupa tombak, dilucuti oleh utusan resmi kerajaan Mataram. Sebelum sampai di istana, rombongan Ki Ageng Mangir juga diserang oleh pasukan seorang Tumenggung Mataram, yang merasa cemburu karena calon idamannya kini telah menjadi istri Ki Ageng Mangir. Dada Ki Ageng Mangir robek tertembus ujung panah, tapi dia tetap terus memburu senopati Mataram yang melarikan diri ke bangsal istana. Di depan raja, keduanya bertarung. Ki Ageng Mangir akhirnya berhasil membunuh senopati Mataram yang telah melakukan pengkhianatan itu.
Dengan terhuyung huyung, Ki Ageng Mangir menghampiri singgasana yang terbuat agak rendah, yang diduduki oleh raja. Dia bermaksud sungkem pada mertuanya.
Namun yang terjadi justru, Panembahan Senopati memegang kepala Ki Ageng Mangir, kemudian membenturkannya pada singgasana yang didudukinya. Ki Ageng Mangir tewas di depan istri dan mertuanya. Sebuah kisah cinta yang agung, mengesankan, tapi juga memilukan.
Menelusuri kisah cinta para raja memang mengasyikkan, tapi menghayati kisah cinta kaum miskin papa juga bukanlah sebuah keburukan. Baik Damarwulan, Joko Tingkir, Ki Ageng Mangir, ataupun kisah cinta sejati pemuda tani dari daerah pesisir Tuban bernama Wiranggaleng seperti yang diceritakan Pramoedya Ananta Tour dalam novel sejarahnya yang berjudul “Arus Balik”, semuanya memiliki makna filsafat cinta sesuai dengan takarannya. Tantangan, harapan, keputusasaan, intrik politik, cinta sejati, semua menjadi satu dalam balutan proses cinta itu sendiri.
Dari sudut pandang ini, penulis jadi ingat dan sekaligus membenarkan signature yang sering dipakai oleh dik Andies Aryana adik kelas penulis di kampus Perbanas yang menyatakan, “Cinta adalah energi kehidupan”. Menyitir sebuah pesan dari seorang Brahmana Tuban bernama Rama Cluring di awal abad 16 ketika Majapahit mengalami kemunduran secara moral dan struktural negara, “Ketahuilah anakku, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati, dan dunia tinggal jadi padang pasir.”
Itulah Cinta.
(C) aGus John al Lamongany, 26/6/03.
“…………………aku adalah elang, yang bebas untuk menentukan harus ke mana aku pergi……………….”
========================================
Pengirim : Gus John
========================================