Padepokan Tebet, 4 Agustus, 22:30, Senin malam ini tidak seperti biasa. Padepokan Tebet sore hari sudah berpersonel komplet. Wanus pulang duluan. Begitu sampai di padepokan, dia memilih tidur lesehan di balai bambu di depan kamarnya. Mungkin dia stress, komputer kantornya rusak.
Kemudian tak lama berselang, aku pulang, setelah menemani teman berbuka puasa di Kalibata. Lalu menyusul Patrang sambil membawa nasi. Lalu Cipeng dan WW. Kita sudah berkumpul lengkap sebelum jam 20:00. Berhubung stok ikan asin bawaan Cipeng dari Surabaya minggu kemarin masih banyak, kita mengadakan acara memasak bersama, seperti beberapa minggu yang lalu. Tak lupa, bikin sambal trasi. Itu tugas Patrang.
Sepuluh menit kemudian, semua makanan sudah siap sedia. Sambil makan, kita bercerita banyak hal. Disamping membahas soal PT “Wikusama” yang akan berdiri dalam minggu ini (ctt: sudah berdiri hari Selasa kemarin [5/8/03], pen), hal lain yang kita bicarakan adalah, bagaimana seyogyanya bila ada tamu, kita memperlakukan tamu itu dengan baik.
Aku tertarik dengan tema ini. Aku jadi teringat. Dulu, ketika usiaku masih belia (belum sekolah), pada suatu malam, kubermimpi ada sebuah “kekuatan” yang mencoba memisahkan diriku dengan bunda. Dan benar. Besoknya, sepulang bunda dari sawah, ia membawa seorang perempuan. Perempuan bawaan bunda itu tampangnya kumal, lusuh, ada sebersit kelelahan di raut mukanya. Perempuan itu begitu dekat sengaja mendekatkan diri dengan bersikap manja dengan bunda, ketika tetangga sekitar mengerubunginya, menjadikan aku iri, seolah olah ia merampas bunda dariku. Aku menangis sejadi jadinya. Karena bunda lebih merawat perempuan itu daripada diriku.
“Tenanglah, nak. Bunda masih milikmu. Bunda hanya ingin merawat si mbak yang tersesat ini,” jawab bunda mencoba menenangkanku. Tapi jawaban bunda itu belum juga memuaskanku. Aku masih terisak isak di sela sela kerumunan orang banyak yang menonton perempuan itu. Rumahku pun sore itu menjadi ramai.
Berita bahwa bunda membawa perempuan lusuh, tersebar ke seantero kampung. Pak RT dan pak RW sampai datang. Setelah melalui proses interogasi yang berbelit belit, akhirnya diketahui, bahwa si perempuan itu adalah seorang pekerja seks komersial. Wanita sundal, meminjam istilah novelis Pramoedya Ananta Tour dalam kumpulan cerpennya, “Cerita Dari Blora”.
Proses penemuan wanita sundal itu memang unik. Ceritanya begini: bunda menemukan wanita itu ketika hari masih pagi. Perempuan itu tergeletak, masih tertidur terlelap dengan selembar koran di atas tanah ladang kepunyaan bapak. Bunda kemudian membangunkannya. Lalu menanyainya. Perempuan itu mengaku sebagai pembantu yang diusir oleh majikannya di desa sebelah. Karena merasa iba, maka bunda mengajak perempuan itu pulang.
Tapi berbeda dengan pengakuan perempuan itu ketika diinterogasi Pak RT. Ia bilang, malam kejadian itu ketika dia beroperasi mencari mangsa (laki laki buaya), ada operasi pembersihan dari aparat kecamatan dibatu kepolisian. Merasa dirinya terancam, dia dan teman temannya kabur sekencang kencangnya. Berpencar mencari selamat masing masing, hingga sampailah ia terduduk lunglai hingga kemudian tertidur di sawah ladang punya bapak. Mungkin karena kelelahan yang teramat sangat, menyebabkan dia bangun kesiangan. Dan, akhirnya bunda memergoki di esok pagi harinya.
Setelah proses interogasi dari orang orang kampung usai. Bunda menyuruhnya mandi. Lalu diberikan juga kepadanya dua potong pakaian milik bunda. Sebelum pamitan untuk pulang ke tempat asalnya, bunda juga memberinya sedikit uang saku untuk bekal perjalanannya.
Akibat kejadian itu, keluargaku semakin dihina. Dicemooh, dicaci maki oleh hampir seluruh penduduk kampung. “Orang sundal kok dibawa pulang ” diantara umpatan mereka.
Kubertanya pada bunda, “Kenapa orang orang kampung mencemooh kita, bu?”
“Biarkan saja, nak, kita menolong orang jangan melihat pekerjaannya, tapi lihatlah apakah pada saat itu dia memerlukan pertolongan kita ataukah tidak,” bunda menjelaskan. Pikiran beliaku mencoba coba memahami perkataan bunda, yang kala itu masih berat bagiku. Bunda kemudian menambahkan, “Kita harus melayani setiap orang yang datang ke rumah kita dengan baik.”
Ajaran bunda itu masih terngiang ngiang hingga kini. Aku juga masih ingat betul, ketika suatu hari di bulan puasa ketika usiaku waktu itu juga masih belia. Ada seorang tua renta penjual kipas tangan dari anyaman bambu, dan peralatan rumah tangga lainnya, seperti ember, timba dsb. Rambutnya yang putih tertutup oleh peci hitam. Kulitnya keriput, badannya bungkuk. Seumur dia sudah sepantasnya tak layak untuk berjualan barang barang yang lumayan berat, dipikul di pundaknya.
“Ya, inilah yang bisa saya lakukan, Pak, untuk menyambung hidup saya,” katanya kepada bapak.
Dia menjual barang dagangannya di pelataran depan rumah pas adzan Maghrib tiba.
“Pak tua, silahkan masuk sini, Pak,” pinta bapak. “Mari sini, pak, buka puasa bersama kami,” timpal bunda.
“Nggih, sampun, matur suwun,” jawab pak tua itu parau, menolak dengan halus tawaran bapak dan bunda.
“Ndak papa, masuk aja, pak,” desak bunda. Akhirnya pak tua itupun masuk ke rumah. “Nyuwun sewu…,” katanya.
“Nggih, monggo monggo. Mriki, pak. Makanan kathah kok? ” jawab bunda.
Nasi, ikan asin, sambil terasi, sayur lodeh, telah menyambut kita yang ingin berbuka.
Kitapun akhirnya buka puasa bersama, diselingi percakapan antara bapak dan bunda dengan pak tua. Aku mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Pak tua pun bercerita. Dia berasal dari Sekaran, daerah pedalaman yang jaraknya kurang lebih 25 km ke arah utara dari kampungku. Tiap hari, dia berjalan beruluh puluh kilometer jauhnya, hanya demi menjajakan barang dagangannya.
Sebenarnya, anak anaknya sudah hidup cukup dan rata rata berhasil. Dan mereka juga melarang bila ia terus berdagang. Tapi ia tetap ngotot ingin terus berdagang. Dalam ingatanku, pak tua itu bilang, “Saya ingin terus dagang. Saya senang bila saya bisa makan hasil dari keringat saya sendiri”.
Selesai buka puasa, kita sholat Maghrib. Pak tua juga ikut numpang sholat. Selesai sholat, pak tua pun pamitan untuk pulang. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana rasanya berjalan 25 km di hari yang mulai petang.
Hm….spiritual…spiritual…
Aku juga masih ingat betul. Ketika kakakku masih jadi guru sukuan (belum tetap) di sebuah SMPN yang jaraknya 4 km dari rumah. Bila waktu istirahat atau liburan, kakak sering mengajak teman temannya untuk sekedar makan dan tidur di rumah. Maklum, “Umar Bakrie Umar Bakrie” muda itu masih berstatus nge kos. Mereka baru diangkat sebagai guru tambahan di sekolah itu. Jadi wajar, bila suasananya ceria (ctt: jadi ingat waktu ngekos di Malang nih…: ). Ada yang berasal dari Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, dsb. Sangat akrab
Begitupun ketika aku masih SD. Bila sehabis olahraga, sering aku mengajak teman pulang hanya untuk sekedar makan. Hampir setiap minggu. Anehnya, bunda tidak pernah marah, walaupun kita berasal dari keluarga pas pasan. Ketika aku bertanya, “Apakah ibu keberatan bila teman teman aku ajak makan di sini, bu?”
Bunda menjawab, “Tidak anakku. Ndak papa.” Bunda tipe wanita yang sabar. “Carilah barokah dari setiap tamu, anakku.” kata bunda waktu itu yang masih kuingat hingga kini.
Keluargaku bukanlah tipe keluarga yang religius amat, tapi soal memuliakan tamu, aku tak pernah meragukannya. Aku jadi teringat juga dengan layanan yang sama, yang diberikan oleh keluarganya NoviPus di Tuban dengan rajungan, plus sambalnya yang begitu menggoda. Lalu di rumah mBahnya Cipeng di Lawang dengan sajian sotonya. Dan keluarganya Huda di Kepanjen dengan pecel lelenya. Jika aku pahami, semuanya memiliki spirit yang sama; memuliakan tamu Sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi SAW, yang tertuang dalam hadis no.1966 dan 1967, “Terjemah Hadis Sahih Muslim Jilid I IV”, karya Syekh H.Abdul Syukur Rahimy, Cet: Widjaya, 1996. Dan juga dalam firman Allah yang menyatakan: “Dan mereka lebih mementingkan tamu dari diri mereka sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan……” (al Hasyar 59:9).
Hm……..lamunanku melayang pada kejadian di suatu sore menjelang malam. Jika nash saja sudah menyatakan dengan begitu tegas dan jelas perihal memuliakan tamu, masihkah kita menelantarkan tamu apalagi itu teman sendiri?
Biarkanlah nurani kita untuk menjawabnya.
Pancoran, 7 Agustus 03
© Gus John.
========================================
Pengirim : Gus John
========================================