Sungguh menggelikan, ketika anak anak muda NU, menyandingkan foto Jenderal Ryamizard Ryacudu (KSAD) dengan foto Gajah Mada, di cover depan majalah PATRIA (Pusat Analisa Ketahanan dan Kepatriotan Indonesia) yang mereka bikin. Lucunya terletak pada dua hal; pertama, Gajah Mada tidak memiliki jiwa pemberontak ataupun pengkhianat terhadap bangsanya, walaupun pengaruh kekuasaannya lebih hebat dari rajanya, Hayam Wuruk. Sedangkan Ryamizard,
mengarahkan moncong meriamnya ke arah istana, ketika Gus Dur masih berkuasa.
Apakah itu wujud seorang prajurit sapta marga?
Kedua, Gajah Mada merupakan seorang ahli politik yang ulung dan memiliki visi geopolitik yang hebat sehingga mampu menyatukan gugusan pulau pulau
dalam satu persatuan yang disebut Nusantara. Sementara Ryamizard, hanyalah seorang jenderal lokal yang tidak lebih baik dan reformis dari (almarhum) Letjen Agus Wirahadikusumah, sosok jenderal yang jujur, bersih dan berani. Jadi, menurut saya, sangatlah tidak layak penyandingan kedua gambar tersebut.
Indonesia sebagai Negara Kelautan
Indonesia merupakan negara kepulauan; terdiri dari pulau pulau dengan dikelilingi oleh lautan yang luas. Terdiri dari sekitar 13.667 pulau, dengan
luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka
luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhan (P. Ginting dkk, IPS Geografi, hal.17).
Karena 81 % wilayah teritorial kita itu berupa perairan, maka nama nama wilayah/etnis/suku di negara kita pun bersifat (mempunyai makna) “air”.
Sebut saja misalnya, Sunda. Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda artinya air. Karena itu, semua nama di daerah Sunda itu umumnya berkaitan dengan air, seperti: Ci rebon, Ci macan, Ci liwung, Ci amis yang kesemuanya berarti “air”.
Jawa juga demikian. Ja artinya “lahir” atau “berkembang”, dan wa artinya “air”. Orang Kalimantan menyebutkan dirinya orang Galuh. Ga atau Aga artinya “lahir” dan Luh artinya “sungai”; anak yang lahir di sungai. Dan sebagainya. Jadi, semua kehidupan di kepulauan Nusantara ini berkenaan dengan air (Agus Sunyoto, Pitutur No. 1/Juli 2001, hal. 42).
Coba kita dengarkan lagu lagu etnis yang telah diakui sebagai kebudayaan nasional, seperti lagu “Ngapotek….wala jere eta ngale…..” dari
Madura, yang menceritakan kehidupan para nelayan dengan dunianya. Kemudian lagu, “Nenek moyangku orang pelaut…..” dst. Begitupun lagu lagu daerah yang berasal dari Aceh ataupun Makassar. Hampir semua menceritakan tentang
dunia kelautan. Tema lagu lagu daerah tersebut intinya tidak jauh dari kehidupan nelayan, soal kelautan kebaharian kemaritiman. Karenanya, dulu, negara kita juga pernah dikenal sebagai negara bahari, negara maritim.
Karena kondisi negara kita yang lebih dominan wilayah air, maka seharusnya visi geo politik yang dipakai juga menitikberatkan pada soal
perairan/kelautan. Geopolitik sendiri merupakan studi mengenai negara sebagai organisme geografis. Karena itu ia menekankan pentingnya letak suatu negara dalam menentukan kepentingan nasionalnya. Sebuah negara daratan, akan
mengambil visi yang berbeda dengan negara yang dikelilingi lautan luas. Geopolitik mengedepankan pentingnya perangkat perangkat politik seperti
birokrasi, tentara, dan aparat aparat penegak hukum seperti imigrasi, polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Teoriti atau wilayah adalah segala galanya (Pitutur, hal. 23). Dan, wawasan seperti ini yang harus dikuasai oleh para pemimpin kita, bila tidak ingin bangsa ini kerdil di mata dunia.
Perlunya Geopolitik
Untuk menjadi seorang tokoh yang besar, diperlukan pemahaman geopolitik yang
benar. Sejak jaman Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono hingga Indonesia kini, nyaris tidak ada tokoh bangsa dengan visi geopolitik ke nusantaraan yang hebat seperti Gajah Mada. Sebenarnya, jaman Raden Patah
(raja pertama Demak), kita mengenal nama Pati Unus (putra pertama Raden Patah) yang dengan berani menyerang Portugis di Malaka.
Tapi sejak kekalahan Pati Unus, praktis, visi geopolitik kenusantaraan kita terkunci pada persoalan darat. Parahnya, itu berlangsung hingga kini. Rezim Gus Dur lebih baik, karena dia bikin Departemen Kelautan, yang kemudian Mega
hanya melanjutkan kebijakan tersebut. Tapi kondisi ini belum bisa dianggap maksimal. Harta karun kita di laut (yang berupa ikan, dll) masih dikuasai oleh pihak asing. Sungguh, menyedihkan
Akibat Visi Geopolitik yang Diabaikan
Itu semua bisa terjadi, akibat dari keteledoran dari visi geopolitik bangsa ini. Dan itu bisa dilihat dengan beberapa bukti dan indikasi, seperti:
sering keluar masuknya kapal kapal asing ke wilayah perairan Indonesia, seperti yang pernah terjadi pada saat akan lepasnya Timor Timur. Selama tahun 2002 saja, telah tercatat sekitar 700 kapal asing ilegal yang ditangkap TNI AL. Artinya, itu baru yang tertangkap, lalu bagaimana dengan
jumlah kapal asing yang tidak terdeteksi oleh AL kita? Uniknya, pemilik kapal itu walaupun orang asing, tapi awaknya justru dari orang Indonesia
sendiri. Dan, pencurian ikan di perairan kita itu dilakukan secara terkoordinir, dan terkadang memiliki ijin lagi.
Kedua, betapa minimnya jumlah dan kualitas armada yang dimiliki oleh TNI AL, sehingga mengejar kapal nelayan Thailand pun tidak mampu. Apalagi mau melawan Australia atau melakukan konfrontasi dengan Singapura? Ketiga,
munculnya kasus pencurian pasir laut oleh kapal asing, dari Batam dibawa ke Singapura yang sudah berlangsung 20 tahun, kata Amien Rais. Keempat,
terbatasnya jumlah personel TNI AL yang tidak sebanding dengan luasnya perairan yang kita miliki, dan sebagainya.
Sudah armadanya minim, visi kemaritimannya tidak ada, mental pejabatnya pun rusak, kepastian hukumnya juga lemah. Alangkah ironisnya Nusantara ku ini?
Pancoran, 12 Agustus 2003
(c) Gus John
tulisan ini, idenya muncul tgl. 26 Des 02. Ini adalah tulisan yang gagal tayang, karena persoalan keterbatasan riset.
Referensi:
1. Pramoedya Ananta Tour, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16 (Jakarta: Hasta Mitra, 2002)
2. Meracik Wacana Melacak Indonesia (Jakarta: Jurnal Pitutur, Edisi ke 1/Juli 2001).
3. P. Ginting dkk, IPS Geografi SLTP 1 (Jakarta: Erlangga, 2000).
4. Prof. H. Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit (Jakarta: 1962).
5. Majalah PATRIA, Edisi No. 1 Tahun 1/September 2002
========================================
Pengirim : Gus John
========================================