Teman, hari sudah malam saat kutulis surat ini. Bulan tiada juga bintang bintang di langit sana. Tak ada gairah apapun. Entah aku harus berbuat
apa selain malas malasan dan iseng belaka.
Aku matikan pesawat televisi yang
cuma diisi orang asing berkelahi dan menggosok birahi. Buku buku cuma jadi tumpukan kertas tebal membosankan berjajar di rak yang bertahun tahun setia menamaniku saat aku sendiri dan kesepian seperti malam ini.
Selarut ini rasanya tak sopan meneleponmu sekadar mencurahkan gundah hatiku meski aku sangat membutuhkan. Aku tak ingin mengganggu hidup orang lain malam ini. Biar hidupku yang hampa dan menyiksa malam ini aku sendiri yang menanggung. Biar kujalani hidupku malam ini tanpa membenani atau merepotkan siapa pun selain hanya aku sendiri.
Kebahagiaan entah minggat ke mana malam ini. Teman, rasanya enak sekali bunuh diri malam ini. Malam bulan Maret yang kurasa nikmat untuk mati meninggalkan dunia dengan seluruh isinya serta segala kenangan hidupku. Kenangan pertemanan
kita. Kenangan cinta pertamaku yang batal. Juga mumpung malam ini aku sedang tak
ada rasa cinta dunia.
Tak ada orang lain tahu aku akhiri hidupku malam ini. Aku bisa mati bahagia di kesunyian malam ini. Orang orang sedang tidur malam ini.
Esok pagi mereka menemukan bangkaiku yang beku. Mereka sedih dan meneteskan air mata. Barangkali ada yang bilang dalam hati, “Tolol kau Banyak orang berjuang untuk panjang umur. Kau justru begitu hina memendekkan umurmu ”
Teman, bunuh diri pasti sakit sekali ya. Pernahkah kau rasakan sebilah golok tajam kau gorokkan ke pangkal lehermu sendiri. Golok itu menyayat inci demi inci kulit, urat, dan daging lehermu sampai tulang pipa tenggorokanmu koyak dan putus
sampai batang golok mentok di tulang lehermu?
Bila membayangkan aku jadi ngeri dan bodoh bila bunuh diri malam ini. Apalagi saat kulihat anakku tidur pulas di sebelah bundanya dengan wajah bersih penuh harapan menyenangkan.
Kubayangkan dia kelak memanggilku “Ayah” sambil berlari dan bergegas memelukku hangat. Tegakah aku pada mereka dengan menghabisi hidupku malam ini? Golok kusarungkan kembali
dan kuselipkan di bawah bantal. Teman, apa aku harus batal mampus malam ini?
Aku ingat van Gogh mengakhiri sendiri hidupnya yang menderita dengan cara bunuh diri. Mungkin itu pilihannyta agar penderitaan dunia yang dialami dan dirasakan minggat selamanya dari hidupnya yang sering dihina dan diremehkan orang.
Kebesaran namanya sekarang ini tak ada guna bagi dirinya. Dia sudah jadi tanah. Kebesaran namanya datang sangat terlambat. Buat apa nama besarnya setelah dia masih hidup usianya mungkin bisa lebih panjang.
Aku juga terkenang Hemingway yang juga bunuh diri. Sejumlah karyanya ditmukan isterinya teronggok di tong sampah setelah dia bunuh diri. Bilang Hemingway puas dengan karangannya mungkin dia juga bisa berumur lebih panjang lagi dan menikmati kebesaran namanya.
Teman, kenapa banyak nama besar justru mati bunuh diri? Aku percaya bunuh diri bukan pekerjaan iseng. Aku tak percaya orang besar macam van Gogh dan Hemingway bunuh diri demi keisengan belaka. Mereka bukan orang bodoh.
Bunuh diri itu pilihan besar dalam kehidupan mereka. Kau boleh benci orang bunuh diri tapi kau tak boleh benci keberaniannya. Bukankah hidup dan mati di dunia ini hak setiap manusia? Teman, kau pun jangan benci padaku hanya karena
aku tak bahagia dengan hidupku sendiri malam ini.
Sebuah malam yang membosankan dan terasa sangat panjang mengurungku dalam kotak kehampaan. Aku yakin malam ini tak akan berakhir berganti waktu lain menuju pagi yang benderang dan membahagiakan dan tanpa persoalan sehingga aku bisa mengusir sejauh jauhnya keinginan bunuh diri yang mendesak desak malam ini.
Bunuh diri pasti sakit sekali ya. Tapi tidak akan lama, teman. Aku cuma kesakitan dan kejang kejang sebentar meregang sakratul maut lalu selesai semuanya. Teman, aku benci diriku sendiri yang dirundung ragu memilih hidup atau harus mati malam ini. Teman, jika aku mati malam ini, anggap surat ini tanda perpisahan kita ya.
Selamanya.
Aku ambil kembali golok di balik bantal. Aku menimang nimang golok itu seperti menimang nimang takdirku sendiri. Pelan pelan aku genggam gagang golok dan aku tarik keluar dari sarungnya. Bilah golok itu berkilau ditimpa cahaya bohlam. Aku
lihat bayangan wajahku di bilah golok yang pipih mengkilat. Darahku berdesir.
Aku duduk di depan cermin besar. Tangan kananku kuat memegang gagang golok. Aku sentuh leherku yang hangat berkeringat dan kuusap dari atas ke bawah, naik turun berkali kali. Aku rasakan tulang jakunku naik turun di tapak tanganku yang basah
keringat.
Teman, aku mendadak terkenang dulu disuruh ibu menyembelih ayam ketika ayah tak di rumah. Aku menolak. Ibu terus memaksa. “Laki laki harus berani. Jangan takut darah ” kata ibu sambil menyerahkan padaku pisau dapur yang baru diasah. Ibu sigap memegangi kedua kaki dan sayap ayam itu di sudut halaman belakang dekat
galian sampah. Ayam berkaok kaok tanpa daya.
Aku pegangi kepala dan pangkal lehernya yang berbulu. “Ayo, lakukan Jangan takut darah ” Tangan kiriku menjepit kulit pangkal leher dan batang pipa tenggorokan ayam itu. Bilah pisau
dapur yang tajam aku letakkan di atas pangkal leher ayam. “Lakukan ” bentak ibu dengan wajah merah. Tangan kananku menegang. Ayam itu meronta ronta menatap kelebat bayang maut.
Darah menyembur dari sayatan luka di pangkal leher itu. Mataku terpejam. Luka di leher ayam itu pasti sangat sakit ya. Tanganku berlepot percik darah ayam. “Ibu, ini kejam. Besok besok beli sajalah ayam potong di pasar yang sudah disembelih. Lebih praktis.” Ibu tajam menatap mataku. “Kamu laki laki. HarIbu salah menilaiku, teman.
Malam ini sebilah golok sudah menempel di pangkal leherku. Bukan leher ayam. Aku akan jagal diriku sendiri. Cukup satu gerakan pasti akan bereslah hidupku di dunia ini. Luka di pangkal leherku pasti menganga merah dan basah darah. Golok itu gemetar di genggaman tanganku yang
mengerjat macam ayam baru disembelih.
Golok itu lalu jatuh ke lantai. Suara benturan logam dan semen memecah hening. Berdentang…
Teman, bunuh diri malam ini saat yang paling tepat. Hidupku tak ada guna diharapkan lagi. Kau tahu perih perjalanan hidupku selama ini. Keperihan yang belum berakhir sampai saat ini. Malam ini puncak keperihanku, teman. Kau mungkin bilang aku bodoh bila aku sampai bunuh diri. Tak apa.
Setiap orang punya pilihan masing masing. Kau boleh benci aku tapi jangan benci keberanianku memilih bunuh diri malam ini ketimbang meneruskan hidupku yang brengsek. Sebelum besok pagi sebuah keputusan memalukan dituduhkan padaku di depan mata banyak orang di ruang pengadilan dan aku dijebloskan ke penjara sampai aku tua dan tak bisa apa apa.
Mungkin aku sudah lebih dulu mampus di penjara sebagai koruptor Maling kantor.
Coba bayangkan kau jadi aku malam ini. Apa yang akan kau putuskan bagi hidupmu? Mestinya dengan uang korupsi itu aku hidup mewah dan bahagia. Tak harus kerja keras lagi siang malam dan bertahun tahun. Anak isteriku hidup enak dan
terpenuhi segala kebutuhannya. Anakku tak usah sekolah di sini. Kurang bagus. Di luar negeri banyak sekolah bagus untuk anakku. Pasti mahal.
Aku kaya jadi tak soal. Bila libidoku besar aku bisa pelihara perempuan simpanan yang bisa
melayani secara profesional setiap saat aku butuh. Perempuan simpanan yang cantik dan muda. Ah, mereka pasti selalu bergairah melayani karena uangku.
Percayalah, teman, gairah bisa dibeli meski harganya mahal. Aku tak ingin anak dari perempuan simpanan. Mereka hanya alat pemuas nafsu. Aku ingin punya keturunan dari perempuan baik baik supaya kelak menjaga harga diri keturunanku.
Karena itu aku tak ingin menikahi pelacur. Teman, kecerdasan dan kelicikanku mencuri uang kantor kali ini tak bisa ditutupi lagi. Orang lain makin pintar. Malam ini pun aku tak kunjung menemukan cara mengelak walau aku berbohong berkali kali. Bukti bukti bisa membuatku semakin malu bila ku bohong. Uang, harta, rumahku akan disita. Jerih payah perjuanganku hangus sekejap. Di mana anak isteriku akan tinggal dan hidup? Para wartawan akan memajang berita dan gambarku di halaman pertama.
Coba bayangkan, teman, aku tiba tiba menjadi pecundang hina. Ah, sungguh tak adil. Banyak yang lebih maling ketimbang aku dan sekarang masih bisa hidup tenang ongkang ongkang kaki ditemani isteri simpanan atau pelacur di sebuah vila mewah.
Aku rela rela saja kejahatanku terungkap bila ku sudah mati supaya aku tak perlu menanggung hukum dunia yang memalukan dan juga ketika isteriku sudah mati dan anakku sudah jadi
orang di luar negeri supaya tak harus menanggung malu di tanah airnya sendiri.
Aku haru mati malam ini sebelum besok pagi orang orang berseragam menjemputku dengan borgol. Aku masih duduk di depan cermin besar. Aku letakkan bilah golok di pangkal leherku. Aku tekan bilah golok itu ke kulit pangkal leherku. Di cermin kulihat bayangan anak isteriku tidur dengan wajah sangat tenang. Maafkan. Sebenarnya
hanya dengan satu gerakan cepat pangkal leherku akan sobek danm terbuka.
Teman, jika itu aku lakukan detik ini kita tak pernah lagi bertemu di dunia ini. Aku
gemetar melihat bayangan leherku sendiri dan bilah golok di cermin. Tidak, aku tak mau menghadapi kehinaan dunia ini besok pagi. Aku harus bunuh diri malam ini juga.
Tak ada waktu lain. Tak ada pilihan yang lebih praktis. Bilah golok semakin kutekan ke pangkal leherku. Aku rasakan logam tajam itu siap
menyayat leherku. “Bila kau mati malam ini, itu bukan karena kau lelaki berani, anakku,” suara ibu tiba tiba memasuki telingaku.
Aku lihat bayangan ibu menempel di cermin. “Ibu jangan lagi menasehati. Setiap orang punya pilihan sendiri.”
“Tidak. Itu bukan pilihanmu, anakku. Kau hanya terdesak.” Bilah golok semakin kutekan di pangkal leherku. Aku sudah menyiapkan tenagaku untuk menarik bilah golok itu ke samping kiri sekuat kuatnya.
Aku sudah letih tanganku setiap pagi dengan barbel besar supaya berotot kuat. Tapi tanganku kini dingin dan kaku. Tanganku tak bisa bergerak juga bagian tubuhku yang lain. Aku seperti patung.
Aku lihat bayangan ibu di cermin sedang membelai bayangan kepalaku di cermin.
“Pilihlah pilihanmu sendiri yang sesungguhnya, anakku.” Ibu pergi.
Keesokan pagi aku temukan diriku terbangun di depan cermin besar dan sebilah golok terkulai di lantai. Kuraba leherku. Aku belum mati pagi ini.
Lalu kudengar suara mobil di halaman disusul suara keras ketukan pintu. Aku gemetar pucat. Aku
belum sempat menceritakan persoalanku pada anak isteriku serta sekalian pamit pada mereka.
Teman, haruskah aku mengambil kembali golok di lantai itu?
Jakarta, 2002
========================================
Pengirim : desain
========================================