Mengapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Mengapa dalam urusan hidup dan mati kitapun masih mempergunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggauta keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?
Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggauta keluarga meninggal dunia.
Jawaban itu tentu, pertama : Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah : Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?
Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa apa lagi? Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada diri sendiri karena ditinggalkan.
Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya? Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?
Kemudian jawaban pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kita menyedihi kematiannya? Bukankah kesedihan itu muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan. Dan cinta bukan berarti belenggu ikatan batin.
Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.
Cinta membuat kita INGIN MELIHAT YANG DICINTA ITU BERBAHAGIA Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta Nah, banyak lika likunya tentang kata ?cinta? ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku ?cinta?.
========================================
Pengirim : Noya
========================================