Satu langkah simpatik dan menarik yang dilakukan oleh Hamzah Haz, begitu
terpilih menjadi Wakil Presiden (2001). Ketua Umum DPP PPP itu mengajak agar
semua kekuatan dan komponen bangsa segera melakukan islah. Alasannya,
menurut Hamzah, agar muncul suasana kondusif untuk dapat membantu dalam
menyelesaikan persoalan bangsa secepatnya.
Untuk mendukung kebijakannya tersebut, Hamzah sampai harus bersilaturahmi ke
kantor PBNU ataupun Muhammadiyah, dua organisasi kemasyarakatan (ormas)
Islam terbesar di Indonesia. Dia juga berencana untuk “berislah” ke
pesantren pesantren di Jawa Timur, meskipun ada banyak penolakan.
Islah. Menjadi kata yang manis karena artinya memang mengajak damai. Istilah
lainnya, rekonsiliasi. Dalam kondisi politik yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia seperti yang terjadi dewasa ini, islah memang sangat diperlukan.
Sangat mustahil, pemerintah bisa membangun bila ada pihak lain
menghambatnya. Pengalaman yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur menunjukkan
islah kurang menjadi perhatian utama. Pemerintah jalan ke kanan, DPR
mintanya ke kiri. Misalnya, DPR meminta pemerintah bersikap tegas pada
koruptor. Begitu presiden akan menangkap Akbar Tanjung, Ginanjar
Kartasasmita, Arifin Panigoro dan gembong gembong koruptor di DPR, Gus Dur
malah terguling. Begitulah seterusnya. Rezim reformasi pasca kejatuhan
Soeharto seperti tak pernah memiliki kesamaan dalam satu visi untuk
membangun bangsa. Masing masing berpikir untuk kepentingan kelompoknya
sendiri sendiri. Eker ekeran karepe dhewe.
Dalam konteks demikian itulah, islah yang ditawarkan Hamzah sangat relevan.
Tapi, pengertian islah itu kemudian menjadi rancu tatkala Hamzah menggunakan
istilah “islah” untuk memaafkan dan melupakan segala dosa yang telah
dilakukan Orde Baru. Dengan menawarkan konsep islah, maka Hamzah
mengharapkan agar kita melupakan dosa dosa lama Orde Baru, yang sebenarnya
tak kalah kejam dibandingkan dengan “hantu komunisme” yang didengungkan
rezim Soeharto untuk melibas kekuatan pro Soekarno di era akhir 60 an.
Islah ini kemudian hanya akan menjadi salah kaprah dalam pemahaman Hamzah.
Islah hanya akan dijadikan tameng bagi Hamzah Haz untuk melindungi
kepentingan Orde Baru. Dengan demikian, islah yang sebenarnya sangat
diperlukan, menjadi tidak efektif dan salah arah.
Islah ala Hamzah terbukti menjadi tidak efektif lagi tatkala Ketua Umum
Muhammadiyah, Syafii Maarif menawarkan orang orangnya untuk mengisi
kabinet terutama di bidang pendidikan ketika Hamzah Haz berkunjung ke kantor
Pusat Dakwah Muhammadiyah. Begitupun dengan NU.
Di level permukaan, banyak orang Muhammadiyah dan NU mengajak islah;
perdamaian. Tapi, pada sisi “dalam” nya, sebenarnya perseteruan di antara
keduanya tidaklah hilang sama sekali. Perseteruan ideologi, politik,
kepentingan ekonomi, hegemoni kultur, dan sebagainya masih terus berjalan.
Walaupun, kini lambat laun hubungan keduanya berkembang menuju ke arah yang
lebih baik.
Dengan sangat sederhana, kecenderungan adanya “perebutan” jatah kabinet, di
mana bidang pendidikan dikavling oleh Muhammadiyah dan wilayah agama
diminta oleh NU dengan mudah bisa dibaca. Islah kemudian mengalami
pengalihan makna. Dari makna perdamaian menjadi bagi bagi kursi. Dari makna
rekonsiliasi menjadi pengalihan isu korupsi (Orde Baru).
Jika islah hanya diartikan sebagai “bagi bagi” jatah kursi, sangatlah bisa
dipahami, kenapa Gus Dur begitu singkat menjadi presiden.
Inilah realita politik Tak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan
abadi.
Wallaahualam bi ash showab.
Pancoran, 4 Des 03 diolah dari sketsa coretan 15/8/01.
(c) GJ.
“………putih seputih kapas……”
========================================
Pengirim : Gus John
========================================