Bulan binar menatap bumi nanar, tak jua berhasil menembus hadangan rerimbunan pohon peneduh tepi jalan raya lintas kota itu. Lampu penerang di pinggir jalan sudah lama tidak berfungsi, lantaran sering dijadikan sasaran uji kejituan oleh anak anak kecil yang sering bermain ketapel (betet). Sedikit kendaraan yang lalu lalang tatkala sebuah motor bebek mengoyak kelam dengan kecepatan sedang dari arah luar kota.
Jalan raya lintas kota yang dipagari oleh barisan pepohonan itu sebetulnya belum selesai diperbaiki. Dan, ada bekas lubang yang masih dibiarkan separuh menganga. Ya, menganga, bagaikan mulut maut yang suatu waktu siap menelan nyawa orang orang yang menyenggolnya. Seharusnya ditimbun. Seharusnya. Tapi entah kenapa dibiarkan, seolah sengaja. Juga, tidak ada rambu rambu sebagai petunjuk adanya lobang, agar dapat diketahui oleh kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.
Malam semakin tua. Motor bebek masih melaju, dikendarai oleh suami istri berusia setengah baya yang baru pulang menghadiri resepsi pernikahan di kotamadya.
Berhubung gelap membekap malam, mereka tidak bisa mengupas keadaan jalan secara jelas. Lantas, roda sepeda motor mereka terperosok ke lobang lebar itu. Memang tidak terlalu dalam. Tapi, telah mengagetkan si pengemudi yang berusia setengah baya itu. Serta merta kendaraan jadi limbung. Nasib malang, mereka pun jatuh.
Dan, paling malangnya lagi, dari arah belakang meluncurlah bis antarkota yang melaju kencang. Akhirnya ….
Beberapa orang yang kebetulan melihat kejadian tersebut pun segera mengejar sambil meneriaki bis itu. Untunglah bis dapat dihentikan, meski setelah hampir satu kilometer. Para penumpang berhamburan keluar. Lalu bisnya dibakar mentah mentah. Sopirnya dan kondektur langsung dihajar habis habisan. Babak belur. Keduanya pun ditelanjangi.
Dalam keadaan kedua awak bis yang sekarat, kendaraan patroli polisi lewat.
Dor Dor Dor Tiga tembakan peringatan dicurahkan ke udara. Serta merta membuyarkan tindak kekerasan mereka beserta kegiatan lain di sekitarnya.
Mereka menghentikan aksi brutal mereka sebelum terlanjur mencabut nyawa sopir dan kondektur bis tadi. Mereka memberi kesempatan polisi untuk menindaklanjuti proses selanjutnya. Tiga orang dari mereka diinterogasi, termasuk pria bernama Paijo.
“Mereka melakukan tabrak lari, Pak ” kata Paijo dengan sangat emosional. Dia juga melintasi jalan tersebut, setelah pulang dari acara keluarga. Ternyata pasutri setengah baya itu adalah saudara orang tuanya.
“Di mana?”
“Di jalan Timur. Kira kira satu kilometer dari sini,” jawab massa lainnya.
“Bud, hubungi kantor, minta bala bantuan menuju tempat kejadian kecelakaan itu. Dan, kalian bertiga ini silakan ikut kami,” perintah komandan dalam patroli tersebut.
“Siap, Pak ”
Seorang polisi lainnya menemukan dompet kedua korban amuk massa itu. Tak ada isinya. Cuma ada KTP, SIM dan kertas kertas. Ternyata milik sopir bis dan rekannya.
Sementara mobil kijang warna hijau tua lainnya bergerak menuju tempat kejadian kecelekaan tragis tadi. Di tempat itu pun polisi menemukan dompet menganga, KTP, SIM dan beberapa uang receh berceceran. Ternyata milik kedua korban kecelakaan.
Kata kata penyokong tabah dan penghibur lara dikumandangkan dari pengeras suara yang ditumpangkan di atas pohon mangga. Rumah duka itu dikerubungi banyak pelayat. Ada yang menangis. Ada yang terisak. Ada yang duduk duduk seraya mengobrol. Ada yang bersenda gurau. Semua melakonkan peran masing masing.
“Dik, aku pulang dulu, ya,” kata Paijo seraya menunjukkan perutnya, yang artinya dia tengah kebelet ke belakang.
“Mas Jo sudah makan?” tanya istrinya yang sejak pagi ikut membantu masak di dapur untuk memasak penganan bagi para pelayat yang nanti tidak kebagian nasi kotak.
“Sudah. Malah dua kotak, sampai sampai aku kekenyangan.”
“Mas, tolong bawain nasi, sayur dan lauknya ini, ya, Mas, untuk makannya Antok
kalau ia pulang sekolah nanti,” pinta istrinya sambil menyodorkan rantang bersusun tiga. “Tadi pagi aku ndak sempet masak, karena aku buru buru disuruh bantu bantu di sini.”
Laki laki itu menyambut titipan istrinya itu, lalu berjalan ke samping rumah duka. Di situ ia berpapasan dengan dua tetangganya.
“Jo, nanti malam kita ngumpul di sini saja.”
“Iya. Seperti biasa lho, Rin,” sahut Paijo.
“Oh, iya, Mun,” kata Ngadirin kepada kawannya di sebelahnya, “kamu ajak si Parlan, Kancil dan Tejo. Nanti aku ajak Pentul, Gogon dan Tukiman.”
“Kira kira ada berapa orang?” tanya Paijo.
“Satu, dua, tiga,…,” Sarmun menghitung. “Kira kira delapan orang. Belum dari pemuda sini.”
“Bener, bener. Tiga meja aja, cukup, Rin.”
“Kartunya kamu siapin, ya, Jo?”
“Gampang,” sahut Paijo sembari bergegas pulang.
Seorang pria berpakaian rompi yang digelayuti saku saku besar memasuki perkampungan tanggung yang tengah berselubung duka itu. Vespa birunya berhenti sejenak dekat sebuah tong yang ditancapkan sebatang bambu dengan bendera putih.
Rumah duka itu gampang ditebak, lantaran tamu tamu diantara kursi pelayat tampak memenggal jalan sempit kampung itu. Selain itu, ketika masih sekolah menengah beberapa tahun silam, dia pernah datang ke situ, ke rumah itu, karena diajak oleh teman sekolahnya yang masih punya hubungan keluarga dengan pemilik rumah itu.
“Sini, Mas,” panggil seorang pemuda. Ternyata petugas parkir dadakan.
Pria berompi ini melaju perlahan ke arah petugas parkir itu. Tepat di depan si petugas, ia mematikan mesin vespa birunya. Petugas parkir dadakan segera menggiring alur kendaraan pria tadi ke arah tempat parkir. Di sana ia segera memarkirkan kendaraannya, diantara kendaraan yang lain. Kebetulan ia bisa menempatkan kendaraannya di bawah pohon jambu yang rindang.
“Langsung bayar aja, Mas, lima ratus.”
“Oh iya,” sahut pria berompi seraya merogoh sakunya. Dia sedikit kaget, sebab ongkos parkir per motor biasanya cuma tiga ratus perak. Apa daya, ini masalah peraturan kampung yang tidak terdaftar. Suka suka mereka. Setelah membayar ongkos parkir, ia bergegas menuju halaman samping rumah itu. Beberapa pasang matanya melihatnya.
“Permisi, Mas,” katanya sewaktu berpapasan dengan seorang pemuda, “Mas Paijo ada di sini, nggak, ya?”
“O, ada. Ada, Mas. Mas ini siapa?” tanya pemuda itu.
“Saya temannya Paijo.”
“Mmm…, tunggu sebentar, ya, Mas.”
Pemuda itu berbalik, kembali ke dalam rumah. Tak lama kemudian tampak seorang pria berkumis dengan muka kuyu bagai bunga layu. Ia kurang tidur.
“Oo, kamu, Noy,” sapanya.
“Adik iparmu bilang, kamu di sini, Jo. Langsung aja aku ke sini,” ujarnya sewaktu bertemu dengan kawannya, Paijo.
“Tadi aku sempat pulang sebentar. Tapi, bener dia ada di rumah, Noy?”
“Ya. Kelihatannya baru pulang dari bepergian.”
“Ooo…syukurlah. Soalnya dia dapat tugas membeli perlengkapan pemakaman serta mencari orang orang untuk menggali lobang kubur. Nggak tahu juga, apakah biayanya sudah naik atau belum. Soalnya sudah sering terjadi perubahan harga.”
“Oh iya, sorry, Jo, tolong antarkan aku melihat jenazahnya dulu,” potong Onoy.
“Ayo, ke dalam,” ajak Paijo.
Keduanya bangkit dan melihat ke ruang dalam. Di sana ada dua peti mati. Dan, di dalamnya masing masing terbungkus sekujur tubuh. Onoy terkejut, namun dia diam saja. Lalu mereka kembali ke tempat duduknya semula.
“Pakcik dan makcikmu sekaligus?” tanya Onoy.
“Ya, paklik dan bulikku. Korban kecelakaan tadi malam. Untung penabraknya dapat dikejar orang. Aku juga ikut menghajar sopir bis itu sampai remuk, dan urusannya belum selesai nih.”
“Di mana?”
“Di jalan raya menuju kota,” jawabnya sembari menceritakan kembali sekelumit musibah malam tadi.
Jalan raya menuju kota. Tiap hari Onoy melintasi daerah itu. Memang sedang diperbaiki. Sayangnya, rambu rambu nggak ada. Tidak terpikirkan bakal terjadi kecelakaan. Peralatan pemulusan jalan pun ditinggalkan teronggok di pinggir jalan. Tak khawatir kalau kalau dicuri atau dirusak oleh tangan tangan jahil. Para pekerja perbaikan jalan itu seakan tak peduli dengan barang barang itu. Padahal harganya tidaklah murah. Pembeliannya pun mungkin masih dengan mengemis ngemis bantuan utang luar negeri.
“Wah, kalian harus menggugat DPU nih,” komentar Onoy. “DPU itu harus bertanggung jawab. Pasalnya, itu ‘kan hasil pekerjaan mereka, proyek mereka.”
“Iya, ya, bener, Mas,” celetuk seorang pria di sebelah mereka. “Kemarin kemarinnya sering terjadi kecelakaan gara gara tergelincir di lobang itu.”
“Nah Masak mereka makan gaji buta tanpa peduli tugas sudah selesai atau belum. Masak mereka bisa tertawa menikmati gaji, bonus dan bermimpi pesangon pensiun kelak, padahal lebih dua orang telah memakan buah keteledoran mereka ” gerundel Onoy.
“Yo, Waluyo,” panggil Paijo ke arah seorang pemuda yang tengah asyik bergerombol dengan kawan kawannya.
Pemuda itu langsung bangkit dari duduk dan ngobrol bersama kawan kawannya.
“Ada apa, Mas?” tanya pemuda bernama Waluyo, adik sepupunya Paijo.
“Nanti kamu dan beberapa pemuda sini berembuk. Lalu pergilah ke kantor DPU, minta pertanggungjawaban mereka atas kejadian semalam di proyek mereka.”
“Baik, Mas,” jawab Waluyo sembari kembali ke duduk dan ngobrolnya.
“Mas,” tegur seorang gadis manis beserta seorang pemuda yang membawa baki dan setumpuk nasi kotak, “silakan makan dulu.”
“Ya, ya, terima kasih,” sambut Onoy. Ia menerima kotak putih berisi nasi dan lauk pauknya. Ia bersyukur sekali, sebab dari tadi malam ia belum makan gara gara mengejar deadline artikel yang tak jua diperolehnya.
Kebetulan sekali, pikir Onoy diantara sendok plastik yang keluar masuk mulutnya. Mending ‘ntar malem aku ikut begadang di sini aja ah. Siapa tahu aku bakal dapet inspirasi untuk bahan tulisan.
“Kok diam saja, Noy?” tegur Paijo setelah Onoy mengelap mulutnya.
“Nggak ada apa apa, Jo. Aku tiba tiba ingat kerjaanku kok,” jawab Onoy. Padahal ia pun tadi sedang merasakan bagaimana perutnya bisa menikmati makanan yang masuk.
“Eh, kamu kerja di mana sekarang?”
“Bekerja freelance di tabloid budaya. Magang dulu. Jadi penulis, editor dan ilustrator lepas. Sesekali bikin cerpen, cerita horor atau sajak. Baru jalan dua bulan ini.”
“Ooo…”
Sembari menikmati nasi kotak itu, Onoy teringat cerita istrinya tadi pagi sewaktu istrinya pulang dari warung mbak Retno. Kemungkinan sopir dan kondektur bis malam itu adalah tetangga Onoy sendiri.
Sementara itu Paijo memberi kesempatan Onoy menyantap nasi kotak berlauk ayam goreng serta secuil lalapan. Paijo mengingat ingat uang yang diperoleh semalam dari dompet sopir dan kondektur bis itu. Ada kira kira enam ratus ribu rupiah. Lebih dari cukup untuk begadang sambil bermain kartu semalam suntuk, bahkan bisa sampai besok malam jika ia menang. Kalau pun kalah, bukan masalah.
Di bawah rajaman mentari tengah hari kedua jenazah dianggung dengan keranda beramai ramai menuju pemakaman kampung pinggir kota. Beberapa orang melempar lemparkan uang receh ke pinggir jalan. Anak anak berebutan memunguti keping demi keping yang tercecer.
babarsarijokja, april 2002
========================================
Pengirim : Agustinus Wahyono
========================================