Nasution, salah seorang aktivis gerakan mahasiswa 98, ingin bertemu dengan
Kiai Semar. Ia merasa pusing melihat peta gerakan politik di lapangan dewasa
ini yang menurutnya sangat membingungkan. Karenanya, ia kemudian
menghubungiku, meminta bantuan agar ia dan teman temannya bisa bertemu
dengan Kiai Semar secepatnya.

“Kenapa harus melalui saya?”, tanyaku.

“Karena saya tahu, anda bisa membantu kami untuk menembus Kiai Semar,”
alasan Nasution mencoba untuk meyakinkanku.

“Kenapa tidak melewati saluran yang lain?”

“Secara ideologi, tidak bisa. Kita sangat berharap anda bisa membantu kami.”

“Apa yang akan anda sampaikan?”
Aku bertanya agak rinci karena tidak ingin peranku disalahgunakan dan
disalahartikan. Nasution pun menceritakan kegundahannya bersama
rekan rekannya dalam melihat dan menganalisis keruwetan politik saat ini.
Menjelang pemilu yang sebentar lagi akan diputar, seperti biasa, gerakan
mahasiswa kembali selalu mencari momentum yang tepat untuk bergerak. Untuk
memetakan, siapa kawan dan siapa lawan. Menurutnya, saat ini kekuatan
politik Indonesia terpolarisasi ke dalam tiga kutub utama yang sangat
kelihatan bermain, yakni: kekuatan api, langit dan daun kering. Karena
kebingungan ini, ia dan teman temannya sangat ingin tahu, Kiai Semar berada
di posisi mana.

“OK. Akan saya usahakan, tapi saya tidak janji,” jawabku sendiri dengan
tidak yakin bisa menyampaikan aspirasi mereka ke Kiai Semar.

“Terima kasih, Gus.”

Kejadian seperti ini membuat pikiranku semakin ruwet. Dalam kondisi depresi
seperti saat ini karena harus memikirkan banyak hal dalam satu otak, masih
saja ada amanah yang harus kuemban. Batin pun berpolemik, “Memang aku ini
siapa?” Tapi kemudian keraguan itu buyar, bila mendengar teriakan batinku
yang lain, “Kau tak boleh mengecewakan permintaan orang lain “. Kompromi
batin itu akhirnya meluluskan permintaan Nasution, sahabatku. Dan, saluran
yang bisa menembus Kiai Semar yang paling efektif hanyalah melalui Kiai
Mujurono. Sosok kiai misterius, yang sikapnya masih membingungkanku hingga
kini.

Kuhubungi Kiai Mujurono. “Saya, Kiai. Kiai ada di mana?”

“Saya sedang rapat,” jawab suara laki laki setengah baya itu. “Ada apa?”

“Gini, Kiai. Ada teman teman gerakan ingin menyampaikan aspirasi ke Kiai
Semar. Kapan njenengan ada waktu agar kita bisa bertemu?”

“Saya lagi sibuk ngurusi pemilihan calon wakil rakyat e, mas,” ujar Kiai
Mujurono, “sampeyan hubungi saya setelah tanggal 20 saja ya?”

“Inggih, Kiai.”

Dengan sabar, kutunggu tanggal itu. 20 Januari adalah batas akhir
kelengkapan syarat syarat anggota calon legislatif yang harus sudah diterima
oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Setelah dua hari terlewat dari tanggal
itu, kuhubungi kembali Kiai Mujurono, “Gimana, Kiai? Saya ingin konfirmasi
soal pertemuan yang saya maksud kemarin.”

“Saya masih sibuk banget, mas. Sampeyan hubungi saya minggu depan ya?”

“Oh, nggih, kiai.”

Hubungan seperti ini memang butuh kesabaran yang luar biasa. Suka duka
selama ini berusaha kuarungi dengan penuh ketabahan. Dan kembali aku harus
menunggu untuk ke sekian putaran waktu. Nasution kembali menelponku.
“Gimana perkembangannya, Gus?”

“Aku belum mendapatkan kepastiannya. Anda tunggu saja ”

Jangankan detik, menit, jam ataupun pergantian hari. Bulan pun berputar
begitu cepat seperti tak memiliki arti. Kini sudah masuk di akhir Januari.
Rasanya, bulan Juni 2003 masih baru kemarin. Apalagi, Septembernya
Kuhubungi lagi Kiai Mujurono. Tidaklah mudah menghubungi orang sibuk seperti
dirinya. Sebagai orang kepercayaan Kiai Semar, agendanya terlalu padat.
Terkadang, aku sendiri merasa risih selalu mengganggunya. Tapi, bagaimana
dengan amanah yang kuemban? Hanya tugas dan kewajiban yang tetap membuatku
bertahan dan memberanikan diri untuk selalu mengusik waktunya.

“Gimana, kiai?”, tanyaku.
Ada gelagat Kiai Mujurono pura pura lupa. Terbersit keengganan di balik
perkataannya. Terus saja kudesak. Ini adalah persoalan tanggung jawab dan
tugas (baca: amanah). Dan, kalaupun gagal, paling tidak, aku sudah melalui
perjuangan yang maksimal.

“OK. Hari ini saya menemani Kiai Semar hingga jam 3 sore di Padepokan
Keramat. Saya tunggu anda dan teman teman di sana.”

“Terima kasih, Kiai”.
Langsung kuhubungi Nasution dan teman temannya. Sepakat, kita bertemu di
Padepokan sebelum jam 3 sore.

Jalanan ibukota padat merayap sore itu. Aturan “three in one” dan penerapan
sistem transportasi baru, busway, membuat kemacetan terdistribusi secara
merata di ruas ruas utama jalanan ibukota negara. Termasuk ruas jalan yang
tepat berada di depan Padepokan Keramat, tempat yang kutuju.

Padepokan itu berdiri megah di pinggir Kali Ciliwung. Beberapa mobil mewah
parkir di depan dan basement padepokan. Sebuah mobil kedutaan asing berwarna
krem dan bermata kucing, ada di antara deretan mobil yang parkir. Sekian
menit yang lalu, beberapa utusan diplomat bule masuk ke padepokan. Tak
kujumpai Grozny, Menlu Inggris. Ataupun Ralp Boyce, Menlu Amerika Serikat.
Ataupun Downer, Menlu Australia. Lalu dari manakah gerangan rombongan
diplomat tadi?

Kuabaikan saja. Aku langsung masuk padepokan. Kulihat pintu ruang Kiai Semar
tertutup. Kumenuju lantai atas, ingin sowan ke Kiai Darso, karena sudah
lama tak bertemu muka. Ruang Kiai Darso juga tertutup rapat. Gelap gulita.
Kuintip lewat kaca. Tak ada seorang pun ada dalam ruangan itu, termasuk
staf. Kutelpon Kiai Darso.
“Saya masih di rumah, mas,” jawab Kiai Darso. “Ada apa?”

“Hanya silaturahmi saja, Kiai. Kebetulan saya sekarang berada di padepokan.
Sekalian ingin mampir.”

Karena tak kutemui Kiai Darso, kuhubungi Kiai Mujurono via sms.
Saya sudah di padepokan, Kiai.
Di mana? Saya tunggu di ruang tamu Kiai Semar, ya?, Kiai Mujurono membalas
sms saya.

Nasution menelepon. “Kiai Semar sudah keluar, Gus.”

“Well, kita ketemu dengan Kiai Mujurono saja”.

Aku langsung bergegas menuju ruang khusus Kiai Semar, yang biasanya
digunakan untuk menerima tamu tamunya. Kulihat, di depan ruangan itu begitu
ramai. Banyak tamu. Kiai Semar baru saja meninggalkan ruangan. Sehabis sakit
tak mengurangi jadwal kegiatannya yang tetap padat. Di depan pintu, aku
berpapasan dengan Kiai Thoyib dan beberapa orang dekat Kiai Semar. Kiai
Thoyib adalah kiai yang memberikan review (ulasan singkat) terhadap kumpulan
tulisanku selama ini. Sedikit aku ngobrol dengan Kiai Thoyib sebelum menemui
Kiai Mujurono.

Setelah berbincang dengan Kiai Thoyib, aku masuk ke lorong dalam padepokan
itu, menuju ruang Kiai Semar. Secara tak sengaja berpapasan dengan Kiai
Mujurono. Kusalami ia. Beberapa aktivis perempuan ngerumpi di depan ruang
khusus Kiai Semar. Kuberikan salam bagi yang kukenal.

“Silahkan masuk, Gus,” kata Kiai Mujurono.
Aku masuk ke ruangan Kiai Semar. Foto kira kira berukuran panjang 1 m x 0.5
m, bergambar orang orang dari berbagai marga Tionghoa di Indonesia,
terpampang di dinding ruangan sebelah utara. Kiai Semar duduk berada di
tengah tengah komunitas Tionghoa dalam foto itu. Berbagai macam plakat
penghargaan terpajang di sebelah pojok barat selatan ruangan. Seperangkat
kursi sofa berwarna coklat yang antik terjajar memenuhi ruangan. Kupilih
duduk di sebelah pojok barat. Tepat persis di bawah foto tadi. Aku
berbincang santai dengan Kiai Mujurono. Sudah lama kita tak bertemu. Tak
lama kemudian, Nasution dan teman aktivisnya datang.
Kita berbincang hanya setengah jam, karena Kiai Mujurono harus ada acara di
tempat yang lain. Kita mapping kondisi gerakan di lapangan. Melakukan
hitungan geopolitik. Melihat pergesekan politik lokal dan peran dari
tangan tangan internasional dalam pemilu mendatang. Khususnya, dalam proses
pemilihan raja secara langsung. Dalam pertemuan inilah ada satu kesimpulan,
peluang Kiai Semar untuk menjadi raja sangat terbuka.

“Tinggal sekarang anda dan teman teman gerakan yang mendorong dan
merealisasikannya di lapangan,” pesan terakhir Kiai Mujurono.

Padepokan Tebet, 28 Januari 2004
(c) Gus John
“…….the passion ala Gandhi, meraih kesempurnaan, membentuk
peradaban……”

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *