sebuah catatan kritis terhadap analisa Majalah Gatra
Entah, habis ketemu malaikat darimana, malam itu, sepulang dari kerja, Kanjeng Sunan Cipeng memberiku sebuah majalah yang sangat berguna; Gatra, Edisi Khusus Lebaran (No. 2 3 Th. X), 6 Desember 2003. Menarik Judulnya, “Beragam Jalan Islam Pinggiran”.
Isinya, menceritakan tentang ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Syekh Ahmad Mutamakkin, KH. Ahmad Rifai, Kiai Saleh Darat, Hamzah Fansuri, dan KH. A Hamid Abulung. Mereka adalah tokoh tokoh yang dianggap sebagai profil gerakan Islam yang terpinggirkan di masa lalu.
Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, hidup di jaman Wali Songo dan Kerajaan Demak (akhir abad 15 dan awal abad 16). Mbah Mutamakkin merupakan ulama kontroversial yang hidup di jaman Mataram Kartosuro era Sunan Amangkurat IV dan Pakubuwono II di abad 18. Kiai Ahmad Rifai hidup di abad 18. Ia disingkirkan oleh kolonial Belanda karena bersikap non kooperatif dan dianggap membahayakan kepentingan kolonial. Begitupun Kiai Saleh Darat yang hidup di pertengahan abad 19. Tokoh Hamzah Fansuri hidup di abad 17 di Kerajaan Aceh. Ia dianggap sesat oleh rezim Sultan Iskandar Tsani, karenanya kitab kitabnya dibumihanguskan. Sedangkan KH Hamid Abulungan dihukum pancung oleh rezim Kesultanan Banjar di bawah kekuasaan Sultan Tahlilullah (1710 1802). Kesemua ulama itu dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dicap sesat, zindiq, murtad, sehingga beberapa diantaranya dijatuhi hukuman mati oleh penguasa. Oleh Gatra, mereka dikategorikan sebagai “Islam pinggiran”.
Cerita agung para kiai itu kemudian dilengkapi dengan profil komunitas komunitas Islam Indonesia yang dianggap “nyleneh”, seperti: Ahmadiyah, al Zaytun, Darul Hadis, Inkar Sunnah, Isa Bugis, Islam Kajang, Islam Wetu Telu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Rufaqa, Salamullah, Syiah Indonesia.
Menurut catatan redaksi, tema ini sengaja diambil sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya vonis sesat, murtad, bahkan hukuman mati terhadap kelompok Islam tertentu yang dianggap kontroversial di tengah masyarakat. Karenanya, Gatra mencoba menampilkan kehidupan keseharian, ritual, dan paham spiritual mereka sebagaimana mereka ingin menuturkan dirinya. Dengan ulasan ini, Gatra menginginkan bisa membangun saling pengertian dan toleransi di tengah keberagaman itu.
Cerita Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Hamzah Fansuri, mungkin aku punya bukunya. Tapi, cerita Mbah Mutamakkin, Kiai Saleh Darat, itu yang penting Dari sinilah bermanfaatnya ulasan Gatra tersebut. Tapi, begitu jatuh pada profil JIL, ketertarikan saya jadi aneh. Bila Darul Hadis, al Zaytun, Salamullah dll itu posisinya sudah jelas di mata umat; MUI pernah memberikan fatwa: sesat Tapi tidak dengan JIL. Hanya sebagian komunitas Islam yang memang musuh JIL saja yang kebakaran jenggot.
Menurut saya, label “Islam pinggiran” yang ditasbihkan kepada JIL, kemudian mereka disejajarkan dengan paham Syekh Siti Jenar dkk yang terpinggirkan di masa lalu, terlalu menyederhanakan dalam pemetaan masalah. Berikut ini, sedikitnya ada empat catatan mendasar dari saya untuk ketidaktepatan Gatra tentang label itu, diantaranya: pertama, historis Islam pinggiran di masa lalu sangat berkaitan erat dengan kepentingan politik penguasa. Jika menengok sejarahnya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Hamzah Fansuri dkk, Islam pinggiran ketika itu dianggap sebagai sebuah paham keagamaan yang berbeda dari mainstream paham keagamaan yang dianut oleh masyarakat dan kerajaan/pemerintahan. Mereka dianggap berbahaya oleh penguasa, karenanya harus dipinggirkan. Sementara JIL saat ini, secara politik pun tidak ada yang memusuhi. Bahkan mungkin, pemerintah dan militer sangat diuntungkan dengan keberadaan mereka untuk mengontrol gerakan Islam radikal yang sudah dicap “teroris” oleh Barat. Artinya, posisi JIL sekarang justru berada di atas angin.
Kedua, bila mengamati tokoh tokoh Islam pinggiran di masa lalu, sanad keilmuannya sangat jelas; ke Timur Tengah. Sedangkan tokoh tokoh JIL sekarang bebas bisa memilih studi ke Amerika, Australia, Inggris, dan negara Barat lainnya. Kelahiran JIL juga sangat bertepatan waktunya ketika Barat dengan kepentingan globalnya mengusung satu tema utama dunia: memerangi terorisme. Melihat hal ini, JIL sangatlah tidak tepat bila disebut kaum pinggiran, karena kepentingan mereka sudah bersinggungan dengan kepentingan global.
Ketiga, yang namanya kaum pinggiran, itu asumsinya kaum minoritas. Bisa minoritas secara kuantitas (jumlah) ataupun kualitas (opini). Menurut jumlah, pengikut JIL memang tidak signifikan. Mereka bukan gerakan massa basis. Tapi lihatlah dari sisi wacana? Mereka sangat menguasai opini di berbagai media massa. Tentu itu membutuhkan biaya yang tidak murah. Jaringannya pun para intelektual. Tidak harus dari kalangan santri, yang abangan pun bisa masuk dalam lingkaran mereka. Cendekiawan, pengamat politik, ekonom, pengurus partai, bisa relatif dengan mudah bergabung dengan ajaran JIL.
Keempat, ini yang paling penting Jika menggolongkan JIL yang sangat terbuka itu sebagai Islam pinggiran, asumsinya, pihak di luar JIL disebut pihak yang meminggirkan. Yang dipinggirkan diasumsikan sebagai minoritas, sebaliknya yang meminggirkan disebut kaum mayoritas. Selama ini, pertempuran wacana dan gerakan Islam kontemporer di Indonesia: Liberal, lawannya radikal/fundamentalis. Bila minoritas itu JIL (karena disebut sebagai Islam pinggiran), maka mayoritas itu diasumsikan sebagai penganut paham radikal. Padahal, bicara representasi Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan NU Muhammadiyah. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang justru berpikiran moderat. Mereka pun tidak memusuhi JIL. Baik secara politik ataupun paham keagamaan. Sebagai mayoritas, mereka tidak mengisolir JIL seperti halnya yang pernah dilakukan oleh paham Islam mayoritas jaman dulu terhadap aliran Syekh Siti Jenar dkk yang dianggap minoritas dan “nyleneh”. Justru, NU Muhammadiyah dengan sangat nyata memerangi dan mengecam aksi penyampaian Islam yang dilakukan secara radikal seperti yang dilakukan oleh Amrozi dkk, karena hal itu dianggap sebagai merusak citra Islam.
Lalu dalam konteks apakah JIL merasa dipinggirkan? Dari perspektif mana JIL disebut sebagai Islam pinggiran, yang kemudian disejajarkan dengan posisi Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Ki Ageng Pengging, Mbah Mutamakkin dll yang terpojok itu?
Justru, dalam amatan saya, pihak Islam radikal lah saat ini yang patut dimasukkan ke dalam bingkai Islam pinggiran. Karena mereka tidak hanya dimusuhi oleh JIL, tapi juga oleh pemerintah, militer dan masyarakat muslim moderat yang mayoritas. Dari sini, analisis Gatra dalam memetakan Islam pinggiran yang dimaksud, bisa dibaca sangat absurd. Selebihnya, wallaahualam bi ash showab.
Padepokan Tebet, 13 Jan 03
(c) Gus John.
“…….kehinaanku masih belum juga bisa menghilangkan kesombonganku terhadap Mu……”
========================================
Pengirim : Gus John
========================================